Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (12): Falaj, Kota Para Bandit

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:12 am

Mereka mengaku sebagai al-Raqim yang disebutkan di dalam Alquran. Mereka adalah orang-orang yang lapar, telanjang, dan jahil. Setiap orang membawa pedang. Mereka menghabiskan sepanjang hari untuk berkelahi dan membunuh satu sama lain.

Foto ilustrasi: CharReed/Deviant Art

Setelah menjalani banyak kesulitan dan mengalami ketidaknyamanan yang luar biasa, pada…. (6 Juli) kami tiba di Falaj, yang berjarak 180 parasang[1] (sekitar 1.000 km-pen) dari Makkah. Falaj terletak di tengah padang pasir dan pernah menjadi wilayah penting, tetapi perselisihan internal telah menghancurkannya.

Satu-satunya bagian yang tersisa yang dihuni ketika kami tiba adalah sebuah jalur setengah parasang (sekitar 3 km-pen) dan lebar (sekitar) 1,5 km. Di dalam daerah ini ada empat belas benteng yang dihuni oleh segerombolan bandit yang dekil, jahil. Keempat belas benteng ini telah dibagi di antara dua faksi yang bersaing, yang terus-menerus terlibat dalam permusuhan.

Mereka mengaku sebagai Tuan al-Raqim yang disebutkan di dalam Alquran.[2] Mereka memiliki empat saluran irigasi untuk kebun kurma mereka, dan ladang mereka berada di tanah yang lebih tinggi dan disiram dari sumur. Mereka membajak dengan unta, bukan dengan sapi. Dan memang faktanya, aku tidak pernah melihat seekor sapi pun di sana.

Mereka menghasilkan sangat sedikit di bidang pertanian, dan setiap orang harus menjatah dirinya sendiri dengan dua seer (sekitar 1,5 ons) biji-bijian per harinya.[3] Ini dipanggang sebagai roti dan sudah mencukupi dari waktu salat maghrib sampai maghrib berikutnya, seperti pada bulan Ramadan, meskipun mereka tetap makan kurma pada siang hari. Aku melihat kurma yang baik di sana, jauh lebih baik daripada di Basra atau tempat-tempat lain.

Orang-orang ini sangat miskin dan melarat; Meskipun demikian, mereka menghabiskan sepanjang hari untuk berkelahi dan membunuh satu sama lain. Mereka memiliki semacam kurma yang disebut maydun, yang memiliki berat sepuluh dirhem[4](sekitar 20 gram-pen), berat bijinya tidak lebih dari setengah danak[5](sekitar 0,25 gram-pen).

(Bandingkan dengan berat kurma biasa yang hanya 7 gram per buahnya-pen.) [6]

Mereka mengklaim bahwa kurma khusus ini dapat disimpan selama dua puluh tahun tanpa mengalami pembusukan. Mata uang mereka adalah emas Nishapuri.

Aku tinggal selama empat bulan di Falaj dalam kondisi terburuk: tidak ada satu pun dari dunia ini yang kumiliki lagi, kecuali dua tas yang berisi buku-buku. Dan mereka adalah orang-orang yang lapar, telanjang, dan jahil. Setiap orang pergi salat dengan membawa pedang untuk melindungi dirinya, itu adalah hal yang biasa. Mereka tidak punya alasan untuk membeli buku.

Ada sebuah masjid di tempat kami tinggal. Aku memiliki sedikit cat merah dan biru yang kubawa, lalu aku menuliskan sebaris puisi di dinding dan menggambar ranting dengan dedaunan di sekitar tulisannya. Ketika mereka melihatnya, mereka terkagum-kagum, dan semua orang di pemukiman berkumpul untuk melihat apa yang telah aku buat.

Mereka mengatakan kepadaku, bahwa jika aku bersedia melukis mihrab, mereka akan memberiku seratus maund[7] (sekitar 150 kg-pen) kurma. Bagaimanapun, seratus maund kurma adalah kekayaan bagi mereka.

Suatu waktu, ketika aku berada di sana, sekelompok tentara Arab datang dan meminta lima ratus maund (sekitar 800 kg-pen) kurma. Mereka menolak untuk memberikannya dan melawan, yang mengakibatkan kematian sepuluh orang penduduk di sana. Seribu pohon kurma ditebang, tetapi mereka tidak menyerahkan, meski sepuluh maund kurma sekalipun.

Karena itulah, ketika mereka menawariku sebanyak itu, aku melukis mihrab, dan seratus maund kurma adalah jawaban untuk doa-doa kami, karena kami tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh makanan apapun.

Kami hampir putus asa untuk bisa keluar dari gurun itu, jejak peradaban terdekat ke arah mana pun adalah dua ratus parasang (sekitar 1.000 km lebih-pen) jauhnya, melalui padang pasir yang menakutkan dan mematikan. Selama empat bulan itu, aku tidak pernah melihat lima maund (sekitar 8 kg-pen) gandum dalam satu tempat.

Akhirnya, bagaimanapun, sebuah karavan datang dari Yamama untuk mengambil kulit kambing ke Lahsa. Kulit kambing dibawa dari Yaman melalui Falaj dan dijual ke para pedagang. Seorang Arab menawarkan untuk membawaku ke Basra, tetapi aku tidak punya uang untuk membayar ongkosnya.

Jarak menuju Basra hanya dua ratus parasang dari sana, dan biaya sewa unta adalah satu dinar, sedangkan unta yang baik dapat dibeli langsung dengan dua atau tiga dinar. Karena aku tidak memiliki uang tunai, mereka membawaku dengan syarat aku berhutang dan harus membayarnya tiga puluh dinar di Basra. Aku dipaksa untuk menyetujui ketentuan-ketentuan ini, meskipun seumur hidup aku belum pernah menginjakkan kaki sekalipun di Basra!

Orang-orang Arab ini mengemas buku-bukuku dan mendudukkan saudara lelakiku di atas unta, dan dengan demikian, dengan aku berjalan kaki, kami berangkat, berjalan menuju tanjakan Pleiades. Tanahnya datar, tanpa banyak gunung atau bukit, dan di mana pun bumi (situasi alamnya) agak sulit, ada air hujan yang tersedia di kolam-kolam.

Sementara orang-orang ini melakukan perjalanan siang dan malam, tanpa sedikit pun jejak jalan yang terlihat, mereka mestilah berjalan dengan insting. Yang luar biasa adalah bahwa, tanpa tanda-tanda atau acuan, tiba-tiba mereka sampai di sebuah sumur.

Singkat cerita, dalam empat hari empat malam kami tiba di Yamama, yang di dalamnya memiliki sebuah benteng tua yang besar dan di luar kotanya memiliki pasar yang isinya adalah segala macam pengrajin dan sebuah masjid yang indah.

Amir di sana adalah seorang Alawiyin[8] yang sudah tua, dan tidak ada yang pernah bisa merebut wilayah ini dari kendali mereka, karena, pertama-tama, tidak ada, juga sebelumnya belum pernah ada, seorang sultan atau raja penakluk yang berada di dekat (wilayah ini), dan kedua, orang-orang Alawiyin ini memiliki kekuatan yang sedemikian besar sehingga mereka dapat mempersiapkan tiga hingga empat ratus pasukan berkuda.

Mereka adalah orang-orang dengan mazhab Zaidiyah, dan ketika mereka berdiri untuk salat, mereka berkata, “Muhammad dan Ali adalah yang terbaik dari umat manusia,” dan, “Lakukanlah akhlak yang paling baik!”[9]

Penduduk kota ini adalah “.s”[10], dan mereka telah menjalankan air (sistem pengairan-pen), dan banyak kebun kurma di distrik ini. Mereka mengatakan kepadaku bahwa ketika kurma sedang berlimpah, seribu maund (sekitar 1.500 kg-pen) harganya hanya satu dinar.

Adalah empat puluh parasang (sekitar 200 km-pen) dari Yamama ke Lahsa. Selama musim dingin dimungkinkan untuk bepergian, karena air hujan yang dapat diminum tertampung di kolam, tetapi tidak pada saat musim panas. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Satu parasang setara dengan 3,5 mil. (Michael Wolfe)

[2] Surat Al-Kahf Ayat 9. (Michael Wolfe). Bunyi ayat tersebut adalah, “Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (PH)

[3] Sekitar 1,5 ons. (Michael Wolfe)

[4] Satu dirhem setara dengan empat danak. (Michael Wolfe)

[5] Satu danak setara dengan delapan grain.  (Michael Wolfe)

[6] “Jangan Berlebihan! Perhatikan 3 Hal Ini sebelum Konsumsi Kurma”, dari laman https://doktersehat.com/perhatikan-3-gizi-kurma/, diakses 2 November 2019.

[7] Satu maund kira-kira setara dengan 3,5 pon. (Michael Wolfe)

[8] Dalam terminologi Naser-e Khosraw, “Alawiyin” di sini adalah mengacu kepada mazhab apapun di dalam Syiah. (Michael Wolfe)

[9] Kata-kata ini menjadi ciri azan Syiah (termasuk Zaidiyah). Azan Suni tidak memasukkan kedua frasa ini. (Michael Wolfe)

[10] Teks asli dalam buku karya Michael Wolfe yang berbahasa Inggris menuliskan “.s”, tidak diketahui apa maksudnya, bisa jadi karena kesalahan pengetikan. (PH)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*