Sebagai pejabat di lingkungan istana Seljuk yang Suni, Khosraw yang merupakan pengikut Fatimiyah merasa tersiksa. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan segalanya dan pergi mengembara.
Michael Wolfe dalam bukunya, One Thousand Roads to Mecca, menarasikan ringkasan perjalanan Naser-e Khosraw. Berikut ini adalah penuturannya:
Buku perjalanan Naser-e Khosraw adalah teks klasik yang selama ribuan tahun telah mewarnai tulisan-tulisan tentang perjalanan orang-orang Persia. Dalam buku harian yang bergaya santai ini, seorang pengembara yang berpengalaman merekam berbagai pemandangan indah dan memikul beban yang begitu berat. Dia mungkin tidak menyajikan dirinya sebagai narator yang terbuka, namun bukunya dimulai dengan sebuah pengakuan: bahwa perjalanannya adalah akibat dari krisis paruh baya.
Naser-e Khosraw lahir pada tahun 1003 di provinsi Khurasan di timur Persia. Sampai dia berangkat ke Makkah pada usia empat puluh dua, dia menduduki pos administrasi di Marv (sekarang Mary) dan Balkh, dan kadang-kadang mengurus kebutuhan para pangeran. Puisi satirnya “Penggaruk yang Menua” tampaknya didasarkan pada informasi primer tentang kehidupan di dalam istana yang keji.[1]
Berdasarkan penuturannya sendiri, dia sangat menikmati suatu tindakan yang sangat tidak Islami, yaitu mengonsumsi alkohol. Hingga pada musim gugur tahun 1045 dia bermimpi. Dia telah bepergian selama sekitar satu bulan, katanya, dan minum (alkohol) terus menerus, lalu suatu malam seorang sosok hadir dalam tidurnya dan menasihatinya untuk mencari kebijaksanaan. Ketika Khosraw bertanya di mana kebijaksanaan tersebut berada, tamunya itu menunjuk ke arah Makkah dan menghilang.
Di Persia pada abad ke-11, mimpi seperti ini dapat dimaknai sebagai titik balik perjalanan spiritual bagi penganut mazhab esoteris di dalam Syiah, yakni Ismailiyah. Secara intelektual, mereka adalah para cendekiawan yang berdedikasi, dengan hasrat terhadap sains dan makna-makna tersembunyi.
Secara politis, mereka terkucilkan di Khurasan yang diperintah oleh Suni karena kesetiaan mereka kepada penguasa Fatimiyah di Kairo (Mesir) dan karena keyakinan mereka dalam milenium yang akan datang, dengan janji tentang revolusi dan keadilan sosial.
Apakah Khosraw sudah menjadi Ismailiyah (ketika menerima mimpi tersebut) atau apakah dia menjadi salah satunya pada kemudian hari masih belum jelas. Kita tahu, bagaimanapun, bahwa pada masa-masa ini, penganut Ismailiyah mengalami penganiayaan yang meningkat oleh penguasa yang baru dan agresif, yakni Dinasti Seljuk (1037–1194) yang beraliran Suni.
Bagi tentara bayaran ini (Seljuk), Ismailiyah (dan Syiah secara umumnya) merupakan ancaman karena bersikukuh terhadap kesetiaan mereka kepada kepemimpinan yang khusus, yang mana bukan khalifah, dan juga karena menghormati tradisi-tradisi rahasia di dalam kelompoknya. Memegang sebuah jabatan di bawah pemerintahan Seljuk, mungkin merupakan salah satu “siksaan dunia” yang dikeluhkan oleh Khosraw.
Apapun alasannya, akhirnya dia meninggalkan segalanya untuk pergi. Dia mengundurkan diri dari jabatannya pada (lembaga) bendahara negara di Marv, menyatakan bahwa dia akan pergi ke Makkah, dan sepertinya dia menghancurkan puisi-puisi yang dibuatnya pada masa awal. Berangkat dengan karavan yang datang setahun sekali, diikuti oleh seorang saudara lelaki dan seorang pelayan, Khosraw berkemas dan berada di jalan tanpa menunda-nunda.
Namun, dia tidak langsung menuju ke Baghdad, lalu turun ke selatan dengan rute umum menuju ke Makkah (lihat peta di bawah ini). Sebagai gantinya, dia mengambil jalan memutar melintasi Persia utara, bergerak melewati tikungan dan belokan melalui kota-kota dan daerah-daerah yang bersahabat dengan pengikut Ismailiyah.
(Di dalam bukunya, catatan tentang makanan, arsitektur, dan budaya dikombinasikan dengan laporan perjalanan para cendekiawan terdahulu ke tempat-tempat suci sebelum terjadinya Perang Salib di Persia, Suriah, Yordania, Palestina, dan Mesir.)
Menghindari rute karavan haji pada umumnya, dikatakan, meskipun di sana telah tersedia pengamanan, namun, di dalam situasinya pada waktu itu, Khosraw lebih memilih anonimitas ketimbang keselamatan, terutama di jalan raya yang diamankan oleh pasukan keamanan Suni.
Jika para pengikut Ismailiyah dicurigai di banyak tempat di Persia dan Mesopotamia, namun di Mesir, di mana Dinasti Fatimiyah berkuasa, mereka berada di atas takhta. Tidak mengherankan, setelah naik haji pertamanya ke Makkah, Khosraw menuju ke Mesir. Kairo saat itu sedang dalam masa kejayaannya, di bawah Sultan Fatimiyah al-Mustansir yang agung (memerintah 1036–1094), yang leluhurnya telah meletakkan pondasi kota di sekitar sungai Nil.
Di bawah kebijakan yang mencerahkan, Kairo menjadi pusat perdagangan yang kaya, mulai dari zona perdagangan yang luas dari Tunisia hingga ke Gujarat (India). Universitas Muslim pertama, al-Azhar, didirikan di sini, membuat gengsi dan nuansa keilmuan di ibukota yang dikelola dengan baik itu bertambah. Selain itu, mereka juga menjadi ternama karena memiliki dukungan yang besar terhadap seni dan teks-teks. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Puisi lengkapnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Aging Rake” dapat diakses pada tautan berikut ini: http://ismaili.net/heritage/node/31618