Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (3): Perampokkan

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:11 am

Khosraw memberikan pandangan suram pertama kepada kita tentang kehidupan di padang pasir Arab yang tanpa ampun, dan bagaimana suku Arab Badui menjadi predator, yang memegang kendali atas jalan-jalan yang melintasi tanah mereka.

Ilustrasi, foto keluarga Arab Badui tahun 1893. Sumber: 1893 Chicago World’s Fair, Antique & Vintage Art, FAR1, Portrait, World’s Fair & Expo Art

Sekarang mari kita lanjutkan kembali pemaparan Michael Wolfe tentang perjalanan Naser-e Khosraw dalam bukunya yang berjudul One Thousand Roads to Mecca:

Penggambaran Khosraw yang fasih tentang kemakmuran yang dia lihat (di Kairo), taman-taman di atap bangunan, beberapa ribu masjid, rumah sakit gratis, jalanan yang aman, cendekiawan yang berkualitas, dan hukum tentang sedekah, semuanya menunjukkan era keemasan dari sebuah budaya.

Tingkat pengaruh Sultan (yang digambarkan oleh Khosraw) dan keriuhan di sekitarnya mungkin tampak terlalu semarak bagi pembaca pada masa kini, tetapi itu bukanlah sesuatu yang dilebih-lebihkan. Pemerintahan al-Mustansir (Dinasti Fatimiyah) yang berlangsung selama hampir enam dekade menandai salah satu titik tertinggi dalam budaya Muslim.

Khosraw tampaknya telah tinggal secara permanen di pemondokan istana, menjadi murid dari Daud Shirazi, seorang ulama Ismailiyah ternama, dan dipersiapkan untuk menjadi dai, atau kepala juru dakwah. Selama tinggal di sana, dia juga sempat mengunjungi Makkah sebanyak tiga kali. Perjalanan terakhirnya (ke Makkah) adalah yang menjadi alur utama dalam bukunya.

Kutipan (tulisan Khosraw) yang disajikan di sini (akan disampaikan pada sambungan artikel ini-pen) merupakan ringkasan dari operasional perjalanannya. Awal perjalanan mereka dilakukan melalui  Persia dan Suriah. Mereka melanjutkan perjalanan melalui pemandangan yang membentang dari keajaiban pembangunan Dinasti Fatimiyah di Kairo, termasuk kutipan masa-masa selama dia di Makkah, dan diakhiri dengan perjalanan pulang yang cukup berat, untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa bepergian sendirian ke Arab pada masa perang adalah sesuatu yang beresiko.

Penggambaran Khosraw tentang Makkah tidak terlalu banyak — hanya beberapa halaman. Dalam hal ini, itu karena menyerupai kisah-kisah para peziarah Muslim awal lainnya. Alasan kenapa penggambaran tentang Makkah singkat, adalah sederhana: ia ditulis untuk pembaca yang sesama Muslim. Bagi pembaca, Makkah adalah kota yang paling familiar, bukan suatu tempat yang paling rahasia di muka Bumi.

Meskipun lugas, laporan Khosraw mengenai ritual wajib di dalam masjid Makkah bukan hanya akurat; ia menampilkan situasi utama seperti pada masa kini: bangunan dua lantai dengan Kabah di pusatnya, tempat para peziarah melakukan tawaf; dan Safa dan Marwah, bukit-bukit yang mereka lewati.

Di sini kita memiliki penggambaran pertama kita dalam ritual kedatangan para jemaah haji, geografi kota Makkah yang suci, dan prosesi perjalanan dari kota ke Dataran Arafah. Tema-tema ini dan lainnya (ekonomi Makkah, peziarah “pemukim” yang memperpanjang masa tinggal mereka, sistem pengairan kota) muncul di sini dalam bentuk miniatur. Di kemudian hari para peziarah akan membahas topik-topik semacam ini secara lebih mendalam. Namun Buku Khosraw lah yang mengartikulasikannya terlebih dahulu.

Setelah ziarah keempatnya, Khosraw tidak kembali ke Kairo. Dia malah pulang ke rumahnya, melalui rute yang melambung ke timur Arabia. Pilihan rute perjalanannya mendatangkan bencana. Dijarah oleh para perampok, tanpa perlindungan rombongan karavan.

Di sini Khosraw memberikan pandangan suram pertama kepada kita tentang kehidupan di padang pasir Arab yang tanpa ampun, dan bagaimana suku Arab Badui menjadi predator, yang memegang kendali atas jalan-jalan yang melintasi tanah mereka, yang menyajikan kisah-kisah mengerikan dalam buku-buku karya peziarah pada abad-abad yang akan datang.

Dalam kasus yang dialami Khosraw, gurun dengan cepat berubah menjadi jalur cepat yang diawaki oleh para pembajak yang menunggangi unta. Bayaran sebagai ganti keselamatan mereka adalah uang, kemudian pakaian-pakaian mereka.

Meski demikian, pilihan rute ini mendatangkan satu penghiburan besar bagi Khosraw — menetap secara sengaja di kota Lahsa selama sembilan bulan. Sebuah tanah legendaris yang sejahtera di Gurun Hasa timur, Lahsa berjarak satu hari perjalanan dari Bahrain.

Khosraw tampaknya merasa perlu untuk melakukan perjalanan dengan jalur memutar, untuk mendapatkan pengalaman (tidak secara kebetulan) untuk tinggal di ibukota Syiah ini, dengan keenam kerajaannya yang berbagi kekuasaan dan masyarakatnya yang adil, yang berlindung di balik tembok yang tinggi terhadap serangan-serangan dari luar.

Di sini, di sebuah tempat yang dikelilingi oleh kekacauan sosial, Khosraw menunjukkan kepada kita secara singkat, gambaran detail tentang sebuah kota yang seni dan peradabannya berkembang pesat. Mengorbankan kenyamanannya dengan tidak mengambil jalur ke arah utara bukanlah sesuatu yang mudah. Perjalanan panjang melalui padang pasir yang buas begitu melelahkan.

Delapan bulan kemudian mereka tiba di Basra (Irak) dengan tertatih-tatih. Khosraw dan dua temannya tampak begitu miskin, bahkan kepala pemandian umum menolak untuk menerima mereka.


Pemaparan Michael Wolfe berakhir sampai di sini. Pada seri kelanjutan artikel ini, penulis akan menampilkan catatan perjalanan yang ditulis oleh Naser-e Khosraw sendiri. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*