Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (4): Melintasi Persia

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:11 am

Dalam mimpinya Khosraw bertemu seseorang, berkata, “Berapa lama engkau akan terus minum anggur ini, yang menghancurkan akal seseorang? Jika engkau tetap sadar, akan lebih baik bagimu.” Mimpi ini menjadi titik balik dalam hidupnya.

Lukisan tentang pesta anggur di Persia. Sumber: pikabu.ru

Pada seri kali ini dan selanjutnya, penulis akan menyajikan kutipan catatan perjalanan yang ditulis oleh Naser-e Khosraw sendiri, yang mana sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul Book of Travels. Selamat menyimak!

Mukadimah

Pekerjaanku adalah seorang juru tulis dan salah satu di antara tugasku adalah mengurus pendapatan sultan. Dalam jabatanku sebagai tenaga administratif, aku telah mengabdikan diri dalam jangka waktu tertentu dan memperoleh reputasi yang tidak kecil dibandingkan dengan rekan-rekanku.

Pada bulan Rabiul Akhir pada tahun 437 (Oktober 1045), ketika pangeran Khurasan adalah Abu Solayman Chaghri Beg Daud bin Mikail bin Seljuk, aku berangkat dari Marv untuk urusan bisnis resmi ke distrik Panjdeh di Marv Rud, di mana aku singgah….

Dari sana aku pergi ke Juzjanan, tempat di mana aku menetap hampir sebulan dan terus-menerus mabuk-mabukan anggur. (Nabi besabda, “Katakanlah yang sebenarnya, bahkan jika itu tentang dirimu sendiri.”)

Suatu malam dalam mimpi, aku melihat seseorang berkata kepadaku, “Berapa lama engkau akan terus minum anggur ini, yang menghancurkan akal seseorang? Jika engkau tetap sadar, akan lebih baik bagimu.”

Sebagai jawaban aku berkata, “Sang bijak belum mampu untuk menemukan apa pun selain ini (anggur) untuk mengurangi kenestapaan dari dunia ini.”

“Menjadi orang tidak berakal adalah ketiadaan ketenangan,” jawabnya. “Ia (mabuk-mabukan) tidak bisa disebut bijak, yang mana membawa seseorang kepada hilangnya akal. Sebaliknya, seseorang harus mencari apa yang dapat meningkatkan pemahaman dan kebijaksanaan.”

“Di mana aku bisa menemukan hal seperti itu?” aku bertanya.

“Carilah dan engkau akan menemukan,” katanya, dan kemudian dia menunjuk ke arah kiblat[1] dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Ketika aku terbangun, aku mengingat semuanya, yang mana benar-benar meninggalkan kesan yang mendalam bagiku.

“Engkau terbangun dari tidur tadi malam,” kataku pada diriku sendiri. “Kapan engkau akan terbangun dari itu (kenestapaan) selama empat puluh tahun?” Dan aku membayangkan, bahwa sampai aku mengubah semua gaya hidupku, aku tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.

Pada hari Kamis…. (19 Desember 1045)…., Aku membersihkan diri dari kepala hingga ke kaki, pergi ke masjid dan berdoa kepada Allah, meminta petunjuk apa yang harus dituntaskan, baik apa yang harus kulakukan maupun menghindari apa yang dilarang-Nya

Setelahnya aku pergi ke Shoburghan dan bermalam di sebuah desa di Faryab. Dari sana aku pergi melalui Samangan dan Talaqan ke Marv Rud dan dari sana ke Marv. Meninggalkan pekerjaanku, aku mengumumkan bahwa aku akan berangkat untuk naik haji ke Makkah, aku melunasi hutang-hutangku dan meninggalkan segala sesuatu yang duniawi, kecuali untuk beberapa keperluan.

Melintasi Persia

Pada…. (5 Maret 1046) Aku berangkat menuju Nishapur, melakukan perjalanan dari Marv ke Sarakh, yang jaraknya tiga puluh parasang (sekitar 170 km-pen).[2] Dari sana ke Nishapur adalah empat puluh parasang (sekitar 225 km-pen)….

Pada tanggal 2 Zulkaidah aku meninggalkan Nishapur dan, ditemani Khwaja Mowaffaq, utusan sultan, datang ke Qumes melalui Gavan. Di sana aku mengunjungi makam Syaikh Bayazid al-Bastami.[3]

Pada hari Jumat tanggal 8 Zulkaidah (17 Mei) aku pergi ke Damghan. Pada 1 Zulhijah 437 (9 Juni 1046) aku tiba di Semnan melalui jalan Abkhwari dan Chashtkhwaran, dan di sana aku tinggal selama beberapa waktu, mencari orang yang terpelajar.

Aku diberitahu tentang seorang yang disebut Guru Ali Nasai, yang mana aku temui. Dia adalah seorang pria muda yang berbicara bahasa Persia dengan aksen Daylam dan membiarkan rambutnya terbuka. Dia memiliki kelompok studi di bawah bimbingannya yang mempelajari tentang Euklidian,[4] sementara kelompok lain mempelajari kedokteran, dan lainnya lagi matematika.

Selama percakapan kami, dia terus berkata, “Aku membaca ini bersama Ibnu Sina,” dan “Aku mendengar ini dari Ibnu Sina.” Tujuannya adalah, tentu saja, agar aku tahu bahwa dia adalah seorang murid dari Ibnu Sina.[5]

Ketika aku terlibat dalam diskusi dengan beberapa orang ini, dia berkata, “Aku tidak tahu apa-apa tentang aritmatika (siyaq) dan ingin belajar sesuatu tentang seni aritmatika.” Aku menjadi bertanya-tanya, jika dia sendiri tidak tahu apa-apa, bagaimana dia bisa mengajar orang lain…. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Kiblat: Arah Kabah di Makkah, ke arah mana umat Islam mengorientasikan diri mereka ketika mereka salat. (Michael Wolfe)

[2] Satu parasang setara dengan 3,5 mil. (Michael Wolfe)

[3] Bayazid al-Bastami adalah seorang sufi mistik ternama asal Persia (wafat 261 H / 874 M). (PH)

[4] Diambil dari nama Eukleides (pertengahan abad ke-3 hingga ke-4 SM), ilmuwan asal Aleksandria, Mesir. Dia disebut-sebut sebagai “Bapak Geometri”.  (PH)

[5] Ibnu Sina (980-1037), seorang filsuf dan dokter ternama asal Persia. (Michael Wolfe)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*