Ketika Pakistan dan India berpisah, terjadi gelombang eksodus besar-besaran. Muslim ke Pakistan, dan Hindu ke India. Proses itu juga diwarnai pertikaian berdarah. Setelahnya, konflik berkembang ke tingkat yang lebih tinggi, kedua negara berlomba-lomba untuk membuat senjata nuklir.
–O–
Tampaknya lantaran dikandung pada suatu masa yang sangat cepat dan dilahirkan secara prematur – di menit-menit terakhir bedah caesar oleh para dokter yang merawat (Inggris), maka Pakistan pun lahir pada 15 Agustus 1947 dengan petumpahan darah yang massif. Bukan pertumpahan darah karena melawan penjajah Inggris, melainkan pertumpahan darah itu diakibatkan ‘perang saudara’, yakni Pakistan versus India – dua negara prematur di anak benua India.
Disebut negara prematur, karena dua negara itu belum siap atau belum mengalami pengkondisian yang baik untuk berdiri sendiri. Buktinya, pasca merdeka dari Inggris, alih-alih bersatu dalam satu negara atau berpisah dan berdiri sendiri sebagai negara mandiri dengan damai, Pakistan dengan India malah bertikai dengan keras.
Pertikaian yang paling dahsyat terjadi saat Pakistan menyatakan memisahkan diri, sehingga penduduk Muslim dengan Hindu berkontraksi satu sama lain. Sentimen agama di balik pembentukan Pakistan dan India bukan hanya membuat penduduk yang memilih menjadi warga negara Pakistan atau India bertikai, tetapi juga terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran dari India ke Pakistan dan dari Pakistan ke India.
Menurut Tariq Ali, pada tahun pertama pembentukannya sebagai Pakistan yang mandiri, negara baru ini telah melepas sebelah tungkainya (Kashmir) dan kehilangan ayahnya (Presiden Mohammed Ali Jinnah). Kemudian, seperti lembaran keyakinan keagamaannya yang lebih kasar dan lebih kejam, Israel, Pakistan memutuskan untuk menerima tawaran susunan permanen.[1]
Menurutnya, Pakistan menganggap bahwa satu-satunya jalan untuk bertahan hidup adalah menjadi pasien Perang Dingin di bawah supervisi permanen imperialisme Barat. Tatkala Inggris menghilang, Amerika Serikat (AS) lah yang memikul tanggung jawab untuk Pakistan.[2] Artinya, AS tampil sebagai acuan dan pembimbing bagi perkembangan Pakistan.
Tentang konflik Pakistan versus India, kemudian dunia menyaksikan tiga kali perang India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu melawan Pakistan yang mayoritas penduduknya beragama Islam, selama lebih dari lima puluh tahun terakhir. Ketika masing-masing negara melakukan penelitian dan pembuatan senjata nuklir, bukan mustahil perang berikutnya di antara mereka menyulut perang nuklir.
Konflik Kashmir telah lama menjadi benih perseteruan India dengan Pakistan. Kelompok-kelompok pembebasan Muslim Kashmir melakukan perang gerilya dalam melawan penguasa India yang mereka anggap telah melakukan penjajahan. Selain itu, kelompok-kelompok islamis garis keras yang biasanya berkaitan dengan Pakistan melakukan sejumlah operasi teroris yang berdarah di India.
Kendati begitu, baik penduduk India maupun Pakistan tidak melupakan sejarah pembagian wilayah anak benua India yang getir menjadi negara India dan Pakistan. Pembagian wilayah di antara dua negara ini dirancang oleh penjajah Inggris pada 1947. Saat itu, jutaan orang Hindu, Sikh, dan Islam tewas dalam serangan-serangan tiga arah selama eksodus orang-orang Islam dari India ke negara baru Pakistan, dan orang-orang Hindu dan Sikh dari negara baru Pakistan ke India.
Orang-orang Islam di Pakistan dan Bangladesh bukan hanya berbatasan dengan India, melainkan juga cukup besar jumlahnya yang tinggal di India selama lebih dari seribu tahun – dengan berbagai hubungan mereka yang kaya dan kompleks dengan orang-orang Hindu. Lambat-laun, orang-orang Islam memainkan peranan yang sangat beragam di panggung India.
Antara lain, para pedagang yang menyebarkan Islam secara damai di daerah selatan, para prajurit penakluk dari Asia Tengah, para pendiri dan pencipta salah satu peleburan peradaban terdahsyat dalam sejarah antara Islam dan Hindu yang menghasilkan Kerajaan Mughal, dan akhirnya minoritas Islam yang kalah, yang pada 1947 terbagi menjadi negara baru Pakistan atau minoritas Muslim India.
Di India, komunitas Muslim menjadi sasaran diskiriminasi de facto dan mendapat kewarganegaraan kelas dua. Penting pula dicatat, India juga merupakan kasus perdana komunitas Islam yang berbatasan dengan peradaban non-Kristen dalam sejarah global.
Akhirnya, pecahnya kawasan bekas jajahan Inggris di anak benua India menjadi negara India dan Pakistan bukanlah hasil yang disukai Muslim. Hal itu terjadi di bawah tekanan situasi dan kecemasan orang Hindu ihwal pembatasan-pembatasan berbagai hal yang akan dimunculkan kaum Muslim atas kekuasaan terpusat negara India yang akan merdeka nanti. Maka seolah dengan tiba-tiba, disintegrasi tampak menjadi pilihan yang masuk akal bagi India maupun bagi Pakistan.
Namun, disintegrasi terebut tidak seluruhnya disukai para pemuka Islam (ulama). Banyak ulama di India tidak menyukai pemisahan di negeri itu atau pembentukan sebuah negara Islam Pakistan yang merdeka. Menurut perkiraan mereka sebelum Pakistan benar-benar didirikan, tidak semua Muslim di India akan berangkat menuju Pakistan. Kendati begitu, kaum Muslim yang tertinggal di India akan menjadi minoritas yang semakin kecil lagi di tengah mayoritas Hindu yang kian membesar.
Berbeda dengan versi lain yang menyebutkan angka tertinggi sebanyak dua belas juta jiwa, sebuah versi malah mengatakan bahwa kira-kira empat belas setengah juta orang melintasi batas-batas baru – seiring terbentuknya Pakistan, entah masuk atau keluar India. Pemandangan tersebut terjadi pada proses pembersihan etnis besar-besaran yang dilakukan Inggris pada 1947 yang disebut ‘Pemisahan’ Pakistan dari India.[3]
Kekerasan yang massif dan mengerikan berlangsung selama terjadinya pepindahan penduduk tersebut. Banyak terjadi pembantaian massal mengerikan yang dilakukan di antara tiga penganut agama: Sikh, Islam, dan Hindu. Akibatnya, imigran-imigran, baik Muslim yang pindah masuk ke Pakistan maupun Sikh dan Hindu yang masuk ke India, banyak yang mengalami trauma dan merasakan kegetiran karena proses itu. Selanjutnya, mereka pun menjadi orang-orang yang paling tidak toleran perihal agama di setiap komunitas masyarakat baru tersebut.[4]
Bagi orang-orang Islam di wilayah India yang tak pindah ke Pakistan melainkan tetap tinggal menetap di India, situasinya menjadi semakin buruk. Sebab, mereka bukan hanya kehilangan jumlah dan – dengan demikian – pengaruh politik, tetapi juga mereka pun diragukan kesetiannya terhadap negara India yang telah didominasi orang Hindu.
Dalam tiga perang besar antara Pakistan versus India pada tahun-tahun sesudah peristiwa pemisahan tersebut, kaum Muslim India tidak jarang dipandang orang Hindu sebagai pihak yang tak bisa dipercaya dan dicurigai sebagai kekuatan yang mungkin membentuk angkatan kelima (sipil bersenjata), sehingga menimbulkan instabilitas di dalam negara India.
Selain itu, situasi di Kashmir pun mudah tersulut. Kashmir merupakan sebuah provinsi di India yang penduduknya mayoritas Muslim (sekitar 77 % Muslim pada 1947) dengan karakteristik etnis dan sejarahnya sendiri yang unik. Pada 1947, Inggris menjanjikan hak referendum kepada penduduk Kashmir, apakah tetap bergabung dengan India atau dengan Pakistan. Namun, akhirnya, ternyata India menolak referendum, karena hampir dipastikan menelan kekalahan.[5]
Itu sebabnya, mayoritas Muslim Kashmir tetap murka karenanya dan masih terus bergejolak menuntut hak referendum. Parahnya lagi, pihak berwenang negara India malah memerintah Kashmir dengan tangan besi dan mengelola Kashmir secara tidak bijaksana dan tidak sensitif. Faktor-faktor itulah yang membuat Kashmir acap bergejolak.[6]
Kendati Pakistan selalu kalah dalam tiga perang besar atas India yang sebagian diantaranya karena persoalan Kashmir, akhirnya wilayah tersebut memberi lahan subur bagi terjadinya tekanan Pakistan terhadap India. Tidak dilakukan secara kasat mata, melainkan Pakistan melakukan dukungan ‘bawah tanah’ terhadap gerakan-gerakan separatis Kashmir garis keras.[7]
Tentu saja konflik jangka panjang ini meracuni hubungan baik India dengan Pakistan sampai detik ini. Selain itu, persoalan Kashmir pun merupakan sumber utama bagi munculnya terorisme regional di kawasan anak benua India tersebut.[8] Sebagian sejarawan menilai, penjajahan Inggris-lah yang paling bertanggung jawab atas munculnya persoalan yang tdak berkesudahan ini. (MDK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Tariq Ali. 2003. The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads, and Modernity. Verso. Hlm 183.
[2] Ibid.
[3] Sunil Khilnani. 1997. The Idea of India. London: Hamish Hamilton Ltd. Hlm 161.
[4] Ibid.
[5] Lawrence Ziring. 2003. Pakistan: At the Crosscurrent of History. Oxford: One Wold Publication. Hlm 173.
[6] Ibid.
[7] Ibid., hlm 174.
[8] Ibid.