Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (1): Pengantar

in Sejarah

Last updated on August 8th, 2020 03:07 pm

Ketika Persiapan Perang Khandaq di Madinah, Rasulullah mencangkul batu keras dan bersabda, “Allah Maha Besar. Aku diberi tanah Persi. Demi Allah, saat ini pun aku bisa melihat istana Madain yang bercat putih.”

Miniatur Perang Khandaq di Museum Dar al-Madinah. Foto: IslamicLandmarks.com

Alkisah, pada suatu hari tahun 5 Hijriyah atau 626 Masehi, umat Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad saw sedang mempersiapkan Perang Ahzab, atau juga sering disebut Perang Khandaq. Dalam kondisi kelaparan beliau saw bersama para pengikutnya menggali parit di sekitar Madinah untuk pertahanan.

Bukhari meriwayatkan dari Jabir, yang berkata:

Saat kami menggali parit, ada sebongkah tanah atau batu yang amat keras. Mereka mendatangi Nabi saw seraya berkata, “Ini ada tanah keras yang teronggok di tengah parit.”

“Kalau begitu aku akan turun ke bawah,” sabda beliau.

Setelah turun beliau berdiri tegak dan terlihat perut beliau yang diganjal batu (untuk menahan lapar). Sebelumnya kami bertiga sudah mencoba mengatasinya, namun tidak mampu. Lalu beliau mengambil cangkul dan memukul onggokan tanah yang keras itu hingga hancur berkeping-keping menjadi pasir.[1]

Al-Barra berkata:

Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw.

Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah….,” kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman.

Beliau bersabda, “Allah Maha Besar. Aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah, aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini.”

Lalu beliau menghantam untuk kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi, “Allah Maha Besar. Aku diberi tanah Persi. Demi Allah, saat ini pun aku bisa melihat istana Madain yang bercat putih.”

Kemudian beliau menghantam untuk ketiga kalinya, dan bersabda, “Bismillah….” maka hancurlah tanah atau batu yang masih menyisa.

Kemudian beliau bersabda, “Allah Maha Besar. Aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah, dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan’a.”[2]

Ibnu Ishak juga meriwayatkan riwayat di atas dengan redaksi yang serupa dari Salman al-Farisi.[3]

Demikianlah, jauh hari setelah wafatnya Rasulullah saw, hadis di atas akan benar-benar menjadi kenyataan, umat Islam akan menguasai tempat-tempat yang dimaksud. Kapan hal itu akan terjadi, atau lebih spesifiknya tanah Persia, akan menjadi subjek utama pembahasan artikel ini.

Fath Makkah

Namun, sebelum kita melanjutkan, kita akan membahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “penaklukan” di dalam Islam.

Sejarawan Barat Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul The 100: A Ranking Of The Most Influential Persons In History (100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia) menempatkan Nabi Muhammad saw dalam posisi pertama.

Salah satu indikator yang dipakai oleh Hart adalah karena kemampuan Nabi Muhammad dalam menaklukkan suatu wilayah dan meninggalkan pengaruh yang permanen, yang bahkan berlangsung hingga saat ini.

Hart berkata, “….dipersatukan oleh Muhammad (yaitu suku-suku Arab-pen) untuk pertama kalinya dalam sejarah, dan diilhami oleh keyakinan kuat mereka pada satu Tuhan yang benar, pasukan kecil Arab ini sekarang memulai salah satu rangkaian penaklukan yang paling mencengangkan dalam sejarah manusia.”[4]

Namun, apa yang luput dari Hart adalah, dia tidak menjelaskan bagaimana cara penaklukan (conquest) ini dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Untuk menggambarkannya, kita akan mengambil suatu contoh, yaitu peristiwa Fath Makkah.

Fath Makkah sendiri, dalam banyak literatur berbahasa Inggris, seringkali diartikan sebagai Conquest of Mecca (Penaklukan Makkah) atau Occupation of Mecca (Pendudukan Makkah).

Padahal, jika merujuk pada istilah fataha (فتح) dalam Bahasa Arab, itu artinya sama sekali bukanlah penaklukan, melainkan membuka, atau dalam turunannya dapat berarti pembebasan. Dengan demikian, Fath Makkah akan lebih tepat jika diartikan sebagai Pembebasan Makkah.

Dalam peristiwa Fath Makkah, Rasulullah tidak pernah menghabisi seluruh musuhnya atau merampas harta benda mereka. Inilah salah satu bukti misi rahmat dan kasih sayang Nabi yang luar biasa. Nabi benar-benar melakukan suatu pembebasan (liberation).

Tidak seperti yang kerap digambarkan kaum orientalis, Nabi tidak melakukan penaklukan (conquest) militer apalagi pengadilan rakyat atas musuh-musuhnya yang paling bebuyutan. Beliau memang bertujuan melakukan suatu revolusi nilai, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan atau terpentaskan di Jazirah Arabia sebelumnya, dan bahkan di dunia.[5]

Sejarawan Pakistan, Agha Ibrahim Akram, dalam bukunya yang berjudul The Sword of Allah: Khalid Bin Al-Waleed, His Life and Campaigns bahkan menggambarkan Fath Makkah sebagai peaceful and bloodless operation (operasi yang damai dan tanpa pertumpahan darah).[6]

Di hadapan elit dan massa Quraisy, Nabi menyatakan persis sebagaimana yang dinyatakan Nabi Yusuf di hadapan saudara-saudaranya yang semula hendak membunuhnya, “Pada hari ini tiada cercaan terhadap kalian (QS 12: 92), kalian semua bebas dari segenap hukuman (thulaqa’).”

Lalu beliau menambahkan, “Siapa saja yang menahan diri dan diam di rumahnya dia akan aman.”

Dan benar Nabi memberi amnesti massal, memerdekakan para musuh dan sama sekali tidak mengambil harta mereka. Bahkan, di hari Pembebasan Makkah itu, Nabi menetapkan kaidah hukum Islam yang universal: “Islam menghapus semua yang sebelumnya (Al-Islamu yajubbu ma qablah).”[7]

Dalam rangkaian peristiwa selanjutnya, Rasulullah kemudian memerintahkan Bilal, seorang budak kulit hitam asal Ethiopia yang sudah merdeka, untuk mengumandangkan azan di atas Kabah.

“Allahuakabar, Allahuakbar…..” suara Bilal, dan ucapan yang diulang kaum Muslim sesudah mendengar setiap kalimat azan, terdengar oleh orang-orang Quraisy. Mereka sangat terganggu sehingga Shafwan bin Umayyah dan Khalid bin Usaid berkata, “Syukurlah bahwa moyang kita meninggaI tanpa mendengar suara budak Ethiopia ini.”[8]

Lukisan dari abad ke-16, Turki, yang menggambarkan Bilal sedang azan di atas Kabah sesaat setelah peristiwa Fath Makkah. Pelukis tidak diketahui.

Bilal adalah sebuah contoh, sebuah lambang kesetaraan di dalam Islam. Bilal, yang dulunya seorang budak terhina, kini oleh Islam diakui lebih mulia, lebih bernilai, lebih besar jasanya, dan diperlakukan lebih terhormat dari siapa pun di kalangan bangsawan Arab saat itu.

Bilal tegak berdiri salat di baris terdepan pada deret para bangsawan Quraisy. Dia telah menjadi salah satu tokoh yang dicintai dan cemerlang, sementara tokoh-tokoh yang paling menonjol sebelum kehadiran Islam bahkan pada zaman itu pun, berjajar salat di belakangnya.[9]

Demikianlah sedikit gambaran mengenai “penaklukan” yang dilakukan pada masa Rasulullah saw masih hidup. Ke depan, kita akan melihat bagaimana para putra Islam ini masuk ke wilayah Persia dan meninggalkan pengaruh permanen yang bahkan masih berlangsung hingga hari ini. (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 392.

[2] Al-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i: Vol 2, hlm 56; Ahmad juga meriwayatkannya dalam al-Musnad, dalam Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid.

[3] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Ibid.

[4] Michael H. Hart, The 100: A Ranking Of The Most Influential Persons In History (Carol Publishing Group Edition: New York, 1993), hlm 4-5.

[5] “Memaknai Revolusi Imam Husein (2): Oligarki Jahiliah Vs Egalitarianisme Islam”, dari laman https://ganaislamika.com/memaknai-revolusi-imam-husein-2-oligarki-jahiliah-vs-egaliterianisme-islam/, diakses 7 Agustus 2020.

[6] Agha Ibrahim Akram, The Sword of Allah: Khalid Bin Al-Waleed, His Life and Campaigns (Maktabah Classics), bab 7 hlm 4.

[7] “Memaknai Revolusi Imam Husein (2): Oligarki Jahiliah Vs Egalitarianisme Islam”, Loc.Cit.

[8] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 538-539.

[9] Ali Syariati, Panji Syahadah: Tafsir Baru Islam, Sebuah Pandangan Sosiologis, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Tofan Dwi Hardjanto dan Sayyid Umar, (Shalahuddin Press: Yogyakarta, 1986), hlm 10.

2 Comments

  1. Assalamu’alaikum wr.wb.
    saya suka dan bersyukur adanya situs ganaislamika.com ini selain membaca saya juga Mohon izin untuk ikut menyebarkan (Copy Paste) di halaman FB.
    ilmu dan informasi dari situs ini, semoga menjadi pencerah dlm membuka cakrawala sejarah bagi bangsa..dan bermanfaat dunia akhirat. amin

Leave a Reply to Admin Cancel reply

Your email address will not be published.

*