Buran adalah salah satu putri Persia yang naik takhta. Sebelumnya, selain sebagai saudara perempuan Shiruyah, dia juga berperan sebagai istrinya. Perkawinan sedarah adalah hal yang biasa dalam Dinasti Sasaniyah.
Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, ketika kekuasaan di Persia terus-menerus berganti dalam waktu yang begitu singkat, dua di antara mereka yang naik takhta adalah putri Persia, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Dinasti Sasaniyah.
Putri Persia pertama yang menjadi Ratunya para ratu (dalam bahasa Persia banbishnan banbishn, sebagai padanan dari Shahshanah [Rajanya para raja], yang mana maknanya sebenarnya menjadi sama saja, yaitu penguasa tertinggi) adalah Buran. Dialah wanita yang dimaksud dalam hadis Nabi.
Buran adalah putri Abarwiz (Kisra II) – putra Hurmuz IV – putra Anushirwan (Kisra I). Atau jika dalam tradisi Arab penyebutan namanya menjadi Buran binti Kisra II bin Hurmuz IV bin Kisra I.[1] Buran adalah saudara perempuan Shiruyah, Raja sebelumnya yang telah membunuh ayahnya sendiri (Kisra II) dan hampir semua sanak keluarganya yang laki-laki.[2]
Menurut sejarawan Persia Hamzah al-Isfahani, Buran adalah putri Kisra II dari istrinya yang bernama Maryam, dia adalah putri Bizantium, putri dari Kaisar Heraklius. Dengan statusnya sebagai keturunan raja dari dua dinasti besar pada masa itu (yaitu Sasaniyah dan Bizantium), dia menjadi ratu yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.[3]
Dalam catatan sumber sejarah lainnya, Ignazio Guidi yang menemukan catatan kronik sejarah tanpa nama (tanpa nama pengarangnya) dari abad ke-7, atau sering disebut Kronik Khuzistan, sebuah catatan sejarah yang diduga dibuat oleh seorang penganut Kristen Nestorian,[4] disebutkan di dalamnya bahwa Buran, selain sebagai saudara perempuan, juga berperan sebagai seorang istri bagi Shiruyah.[5]
Hal ini memungkinkan, sebab umum diketahui pada masa itu, bahwa Dinasti Sasaniyah kerap kali melaksanakan perkawinan sedarah (incestuous) di kalangan keluarga mereka sendiri. Namun, bukan berarti setiap perkawinan di antara keluarga kerajaan sedarah, hal ini bisa berubah tergantung kondisi, perkawinan karena aliansi politik pun tercatat di dalam sejarah mereka.[6]
Al-Tabari menuturkan, bahwa ketika Buran didaulat untuk menjadi Ratu Persia, dia berkata, “Aku akan mengejar kebenaran dan menahbiskan keadilan,” dan dia mempercayakan urusan pemerintahannya kepada Fus Farrukh dan memberinya jabatan sebagai menteri utama.
Dia berperilaku baik terhadap rakyatnya dan memberlakukan keadilan di antara mereka. Dia memberi perintah agar koin perak atas namanya dicetak, dan dia memperbaiki jembatan batu (al-qanatir) dan jembatan perahu (al-jusur).
Dia juga memutihkan kewajiban pajak tanah bagi orang-orang yang menunggak, dan dia menulis kepada rakyat surat terbuka tentang kebijakan-kebijakannya yang berpihak kepada mereka. Dan dalam surat itu dia juga menyinggung tentang anggota keluarganya yang telah binasa (karena dibunuh oleh Shiruyah).
Pada saat yang bersamaan, dia menunjukan sisi religiusitasnya, dengan mengungkapkan harapannya bahwa Tuhan akan menunjukkan kepada mereka, melalui kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyat dan kebijakan tegas yang dikeluarkan dari posisinya yang tinggi, apa yang akan membuat mereka menyadari bahwa sebuah wilayah tidak ditundukkan melalui kekuatan dan energi manusia, bahwa kekuatan militer bukan didirikan atas terenggutnya kebebasan rakyat, dan kemenangan itu tidak diperoleh melalui tipu muslihat dan kebencian manusia yang dipadamkan, tetapi semua berasal dari Tuhan, Dia Yang Dimuliakan dan Dipuja-puja.
Lebih jauh, dia menasihati rakyatnya untuk patuh dan mendorong mereka untuk setia. Surat-suratnya menyampaikan semua yang diperlukan (yaitu, untuk bimbingan dan kesejahteraan rakyat).
Berkenaan dengan perang yang telah berlangsung lama antara Sasaniyah dan Bizantium, dia menunjukkan itikad baiknya dalam perdamaian dengan mengembalikan kayu salib suci Yerusalem kepada penguasa Bizantium yang dimediasi oleh seorang Kristen Nestorian yang bernama Ishu’hab.[7]
Meski demikian, Sang Ratu, bagaimanapun, tidak memiliki kekuatan untuk memulihkan kedamaian dan ketertiban Istana Sasaniyah yang hancur dari dalam. Jenderal, abdi dalam, dan bangsawan-bangsawan kuat Persia terus bertarung di antara mereka sendiri. Saat kekacauan dan kemunduran semakin drastis, wilayah Sasaniyah juga diserang oleh orang-orang Turki dan Khazar.
Pada saat yang bersamaan, pasukan Muslim dari Jazirah Arab, yang dalam sudut pandang Persia adalah sebuah kekuatan besar yang meledak, yang muncul secara tiba-tiba, mulai melancarkan ekspansinya ke wilayah Persia.
Ratu yang tidak berdaya ini tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalikkan proses disintegrasi politik Dinasti Sasaniyah. Tidak diketahui apa sebabnya, Buran kemudian meninggal setelah satu tahun empat bulan naik takhta.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 403-404.
[2] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 7.
[3] Hamzah al-Isfahani, Tarikh sini muluk al-ard wal-anbiya, hlm 54, sebagaimana dikutip oleh C. E. Bosworth dalam catatan kaki terjemahan karya al-Tabari di atas.
[4] Sebastian P. Brock, “Guidi’s Chronicle”, dari laman https://www.iranicaonline.org/articles/guidis-chronicle, diakses 14 September 2020.
[5] Anonymus Guidi, hlm 32-33, sebagaimana dikutip oleh C. E. Bosworth dalam catatan kaki terjemahan karya al-Tabari di atas.
[6] Chase F. Robinson (ed), The New Cambridge History of Islam, Volume 1: The Formation of the Islamic World Sixth to Eleventh Centuries (Cambridge University Press, 2011), hlm 116, 119.
[7] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 404-405.
[8] Mehrdad Kia, The Persian Empire: A Historical Encyclopedia [Vol 1], E-book version (ABC-CLIO, LLC: California, 2016),chapter Kings and Queens of the Sasanian Dynasty.