Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (17): Kekacauan di Persia

in Sejarah

Last updated on September 14th, 2020 03:19 pm

Rasulullah bersabda, “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Bukhari)

Foto ilustrasi: Shinshii Behzad/Pinterest

Sekarang alur kisah kita kembalikan ke masa Abarwiz (Kisra II) yang dibunuh oleh Shiruyah (Qubadh II), putranya sendiri yang menginginkan takhta kerajaan Dinasti Sasaniyah.

Sebagaimana telah dibahas, Shiruyah juga kemudian membunuh seluruh anggota keluarganya yang laki-laki, terkecuali putranya sendiri, Ardashir. Para anak keturunan Anushirwan yang dibunuh oleh Shiruyah diperkirakan mencapai 15 hingga 18 orang, baik dewasa maupun anak-anak.[1]

Namun, selain karena kesedihan karena telah membunuh anggota keluarganya sendiri, setelahnya Shiruyah menderita penyakit dan tidak pernah menikmati kesenangan dunia yang telah dia usahakan. Sepanjang hari-harinya dia diliputi oleh penyakit dan harus menjalani perawatan.

Dikatakan bahwa pada waktu itu Persia dilanda wabah penyakit, dan Shiruyah membunuh seluruh anggota istananya yang tertular. Wabah itu terus meluas sepanjang masa kekuasaannya dan sebagian besar orang Persia binasa.

Shiruyah sendiri dikabarkan mati karena wabah tersebut, namun sumber lain menyebutkan dia diracun oleh ibu tirinya. Masa kekuaasan Shiruyah hanya berlangsung selama delapan bulan.[2]

Sejarawan Mehrdad Kia dalam bukunya, The Persian Empire: A Historical Encyclopedia, menggambarkan tindakan Shiruyah untuk membunuh sanak keluarganya sebagai “amukan gila” dan “ceroboh”, karena dengan begitu Persia telah kehilangan kader-kader terbaik bangsa tersebut. Setelah peristiwa ini Dinasti Sasaniyah tidak pernah pulih kembali seperti sedia kala dan terus menurun.[3]

Setelah kematian Shiruyah, kekacauan di Persia semakin bertambah buruk. Selama periode ini, para sejarawan awal pun dibuat kebingungan tentang urutan berbagai raja setelah masa Shiruyah dan durasi pemerintahan mereka masing-masing, karena kekuasaan di Persia terus-menerus berganti.[4]

Al-Tabari menyebutkan, setelah Shiruyah ada sepuluh raja (atau ratu) yang silih berganti.[5] Sementara dalam versi lain, sejarawan Ja’far Subhani menyebutkan antara enam hingga empat belas raja. Lebih jauh dia memaparkan bahwa, “Pemerintahan Persia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya sekitar sepuluh kali dalam masa empat tahun. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi negara ketika kudeta dilakukan sesering itu.”[6]

Setiap orang yang memegang pemerintahan selalu menyingkirkan semua pesaingnya untuk naik takhta dan melakukan pembantaian untuk mengamankan posisinya. Ayah membunuh anak, anak membunuh ayah, dan saudara melenyapkan saudara.

Akhirnya, semua yang duduk di takhta, laki-Iaki atau perempuan, tua atau muda, membunuh sanak keluarganya, yakni para pangeran Sasaniyah, agar tak tertinggal orang yang mungkin akan mengambil alih kekuasaan.

Singkatnya, kekacauan dan anarki telah mencapai ukuran sedemikian rupa pada masa Sasaniyah sehingga anak-anak dan perempuan dinaikkan ke takhta, kemudian dibunuh setelah beberapa minggu, dan yang lainnya didudukkan lagi sebagai penggantinya.

Dengan praktik ini, Dinasti Sasaniyah, meskipun pada lahirnya nampak megah dan anggun, namun di dalamnya mereka begitu rapuh, sehingga segera mereka merosot jatuh ke dalam jurang perpecahan dan kehancuran.[7]

Mengenai kondisi ini, dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Nabi Muhammad saw pun sempat mengomentarinya. Humaid meriwayatkan, suatu waktu ketika raja di Persia digantikan, Rasulullah bersabda, “Siapa yang menggantikannya?”

Mereka menjawab, “Anak perempuannya (maksudnya adalah anak perempuan Abarwiz [Kisra II]-pen).”[8]

Kemudian dalam riwayat yang berkaitan, Abu Bakrah berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah saw bahwa orang Persia mengangkat putri Raja sebagai penggantinya, Rasulullah bersabda, “Tidak sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.” (Bukhari)[9]

Atau dalam versi lain, hadis itu berbunyi, “Sebuah bangsa tidak akan pernah makmur yang mempercayakan urusannya kepada seorang wanita.” (al-Masudi dan Ibnu Qutaibah)[10]

Ada dua orang wanita anggota keluarga kerajaan yang diangkat menjadi Ratu Persia pada masa-masa itu, mereka yaitu Buran dan Azarmidukht, keduanya adalah putri Abarwiz (Kisra II) atau saudara perempuan Shiruyah.[11]

Adapun yang dimaksud dalam hadis Nabi tersebut, menurut sejarawan Agha Ibrahim Akram, dia adalah Buran putri Kisra, karena menurutnya Buran hidup di masa yang sama ketika Nabi masih hidup.[12]

Dalam artikel selanjutnya kita akan membahas secara singkat profil dua Ratu Persia tersebut. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 7.

[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 399.

[3] Mehrdad Kia, The Persian Empire: A Historical Encyclopedia [Vol 1], E-book version (ABC-CLIO, LLC: California, 2016),chapter Kings and Queens of the Sasanian Dynasty.

[4] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.

[5] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 400-411.

[6] Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Kehidupan Rasulullah SAW, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm 43.

[7] Ibid., hlm 43-44.

[8] Tasmin Tangngareng, Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis (Jurnal Karsa, Vol 23, No 1, Juni 2015), hlm 168.

[9] Ibid., 166.

[10] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.

[11] Al-Tabari, Loc.Cit.

[12] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*