Oleh Tabari dia digambarkan sebagai wanita tercantik di Persia. Namun karena skandal cinta, hidupnya berakhir nahas dengan wajah yang dirusak dibutakan.
Putri Persia selanjutnya yang naik takhta menjadi Ratu (Banbishnan banbishn, bahasa Persia, Ratunya para ratu) adalah Azarmidukht. Dia adalah putri Abarwiz (Kisra II) – putra Hurmuz IV – putra Anushirwan (Kisra I). Atau jika dalam tradisi Arab penyebutan namanya menjadi Azarmidukht binti Kisra II bin Hurmuz IV bin Kisra I.[1]
Secara etimologis namanya dapat diartikan sebagai “putri dari yang terhormat, yang dijunjung” (mengacu kepada Kisra II), atau bisa juga menjadi “gadis yang terhormat”, secara penerjemahan dari bahasa Persia, kedua arti itu memungkinkan.[2]
Al-Tabari menggambarkan sosoknya sebagai salah satu wanita tercantik di Persia.[3] Sementara sumber-sumber sejarah Islam lainnya juga menggambarkan Sang Ratu sebagai wanita yang cerdas dan sangat menarik.[4]
Di dalam Ketab sowar moluk Bani Sasan (Buku bergambar Sasaniyah) dia dilukiskan sedang duduk, mengenakan gaun bersulam merah dan celana panjang bertabur biru langit (mowassah), memegang kapak perang di tangan kanannya, dan bersandar pada pedang yang dipegang di tangan kirinya.
Dia juga dianggap berjasa karena telah mendirikan kuil api di Abkaz dan kastil di Asadabad. Selain itu, dia diberi gelar “Sang Adil”,[5] persis dengan gelar yang pernah disematkan kepada Raja Anushirwan (Kisra I), kakek buyutnya.[6]
Ketika dia naik takhta menjadi penguasa tertinggi Dinasti Sasaniyah dia berkata, “Cara kami berperilaku akan seperti ayah kami, Kisra Sang Agung, dan jika ada yang memberontak melawan kami, kami akan menumpahkan darahnya.”[7]
Telah diriwayatkan, bahwa negarawan besar Persia yang luar biasa pada saat itu adalah Farrukh Hurmuz, Isbahbadh (bahasa Persia, artinya adalah Panglima Militer Tertinggi) yang berasal dari Khurasan.[8]
Farrukh Hurmuz mencoba mengejar dua peruntungan dengan sekali tepuk, yaitu kekuasaan dan cinta, dengan cara menikahi Ratu baru tersebut. Dia menulis surat untuk Azarmidukht, “Hari ini aku adalah pahlawan bangsa dan pilar Kekaisaran Persia. Menikahlah denganku!”[9]
Azarmidukht membalas suratnya, “Pernikahan bagi seorang ratu tidak diperkenankan. Aku sangat menyadari bahwa niatmu dalam lamaranmu adalah untuk memenuhi kebutuhan (seksual)mu sendiri dan nafsu birahi kepada diriku, jadi datanglah kepadaku pada malam (ini dan itu yang telah ditentukan).”[10]
Begitu gembira dengan undangan dari Ratu tercantik kesukaannya, dengan berbunga-bunga Farrukh Hurmuz melakukan perjalanan ke Ctesiphon. Pada malam yang telah ditentukan dia datang dengan tenang ke istana, sama sekali tidak menyadari bahwa dia bukan akan bertemu dengan cintanya, namun dengan kematian.[11]
Azarmidukht memerintahkan komandan pengawalnya untuk mengintai dan menunggunya pada malam itu dan kemudian membunuhnya. Dan atas perintah Azarmidukht, dia kemudian menyeret mayat Farrukh Hurmuz dengan menarik kakinya lalu membuangnya ke ruang terbuka di depan istana pemerintahan.
Keesokan paginya, orang-orang menemukan Farrukh Hurmuz yang telah terbunuh, dan Azarmidukht memberi perintah agar jenazahnya dibawa pergi dan dihilangkan dari pandangan. Publik pun menyadari, bahwa orang sepenting Farrukh Hurmuz dapat dibunuh hanya jika ada alasan yang begitu kuat.[12]
Berita tentang kematian dan bagaimana jasadnya diperlakukan segera tersebar di ibukota, dan tidak lama kemudian sampai kepada telinga Rustam di Khurasan, putra Farrukh Hurmuz. Sebelum berangkat, Farrukh Hurmuz menugaskan Rustam untuk menjadi gubernur di Khurasan dan sekaligus memimpin pertempuran melawan orang-orang Turki dan Hun.
Rustam adalah seorang jenderal yang termashyur, veteran dari banyak peperangan. Dia bersumpah akan membalas dendam kepada Sang Ratu atas pembunuhan ayahnya. Dia berbaris dengan pasukannya yang besar menuju Ctesiphon.
Di ibu kota, pertempuran hanya berlangsung dengan singkat dengan pasukan Ratu yang masih setia, namun perlawanan mereka dengan mudah dapat diatasi dan jenderal pemberontak berhasil menduduki Ctesiphon, dan menangkap Sang Ratu.[13]
Atas perintahnya, wajah Azarmidukht yang cantik dibutakan, dan beberapa hari kemudian dibunuh.[14] Menurut versi sejarah lain, dia dibunuh dengan cara diracun.[15] Sang Jenderal, didukung oleh pasukannya, sekarang menjadi penguasa Persia yang sesungguhnya.[16]
Masa jabatan Azarmidukht sebagai ratu hanya berlangsung selama enam bulan.[17] Seiring waktu, raja boneka lainnya ditempatkan di atas takhta, yang sekiranya tidak akan menantang otoritas Sang Jenderal. Dan Sang Jenderal memerintah Persia sebagai kekuatan nyata di balik takhta formal dan menjadikan kekuatan militer sebagai pemimpin tertinggi Persia.[18]
Menurut sebuah versi sejarah lain, Buran, Ratu Persia sebelumnya, saat peristiwa ini terjadi masih hidup, tidak seperti yang dituturkan oleh Tabari bahwa dia sudah mati, sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya (atau lebih tepatnya Tabari tidak merinci apakah masa jabatan Buran yang berlangsung selama satu tahun empat bulan itu berkelanjutan, atau sempat ada jeda).
Rustam kemudian mendudukan Buran kembali menjadi Ratu, dengan perjanjian Persia berada di bawah kendalinya selama 10 tahun ke depan, sampai mereka menemukan kembali keturunan Kisra yang masih hidup untuk dijadikan raja atau ratu. Buran menyetujui usul ini.[19]
Di kemudian hari, Rustam akan berhadapan dengan Khalid bin al-Walid ra dan Al-Muthanna bin Haritsah ra, dua panglima perang pasukan Arab Muslim, dan memberikan kesulitan kepada mereka dalam perang penaklukan Persia. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 406.
[2] Ph. Gignoux, Noms propres sassanides en moyen-perse épigraphique, dalam M. Mayrhofer and R. Schmitt (eds.), Iranisches Personennamenbuch II/2, (Vienna, 1986, no. 167), dalam “Āzarmīgduxt”, dari laman https://iranicaonline.org/articles/azarmigduxt, diakses 15 September 2020.
[3] Al-Tabari, Loc.Cit.
[4] “Āzarmīgduxt”, Loc.Cit.
[5] Ibid.
[6] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 5.
[7] Al-Tabari, Loc.Cit.
[8] Ibid.
[9] Agha Ibrahim Akram, Op.Cit., hlm 20.
[10] Al-Tabari, Loc.Cit.
[11] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.
[12] Al-Tabari, Loc.Cit.
[13] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.
[14] Ibid.
[15] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 407.
[16] Agha Ibrahim Akram, Loc.Cit.
[17] Al-Tabari, Loc.Cit.
[18] Agha Ibrahim Akram, Op.Cit., hlm 20-21.
[19] Parvaneh Pourshariati, Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran (I.B.Tauris & Co Ltd: London, 2008), hlm 210.