Umum diketahui bahwa pasukan Islam ketika menaklukan Persia berhadapan dengan Dinasti Sasaniyah. Padahal sejatinya yang dihadapi adalah Kaum Parthian, bukan Sasan. Kaum Parthian tetap ada bahkan hingga ke masa Dinasti Abbasiyah.
Nabi Muhammad saw wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal 11 H, atau bertepatan dengan 8 Juni 632 M, pada usia 63 tahun 4 hari.[1] Segera setelah wafatnya beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq ra diangkat menjadi khalifah pertama dalam Islam di Saqifah, Madinah.[2]
Umumnya para sejarawan sepakat, bahwa serangan bangsa Arab ke Persia (disebut bangsa Arab, bukan umat Islam, karena pada masa awal serangan melibatkan suku Arab non-Muslim, hal ini akan dijelaskan kemudian) terjadi setelah wafatnya Rasulullah dan pada masa Kekhalifahan Abu Bakar.
Namun, sebagaimana telah diulas, setelah kematian Abarwiz (Kisra II) kekacauan terjadi di Persia, dengan penguasa yang silih berganti dengan waktu yang begitu cepat, kronologis jalannya sejarah pun juga menjadi membingungkan dan penuh dengan teka-teki bagi para sejarawan.
Di antara perdebatan di antara para sejarawan adalah bahwa benar pasukan Arab yang meruntuhkan Dinasti Sasaniyah, namun kapan pastinya pasukan Arab mulai menyerang Persia (atau pada saat raja Persia yang mana)?
Untuk memudahkan dan sebagai panduan urutan-urutan sejarah, kita akan mendaftar terlebih dahulu nama-nama raja Persia dari sejak kelahiran Nabi Muhammad saw hingga raja terakhir mereka menurut versi al-Tabari:[3]
(Pengguna mobile/HP dapat menggeser ke kiri atau kanan tabel di bawah ini untuk dapat melihat keterangan lain yang lebih lengkap)
Nama | Gelar Kerajaan | Garis Keturunan | Peristiwa-Peristiwa yang Berkenaan dengan Riwayat dalam Islam | Lukisan Wajah dalam Koin Persia |
Anushirwan | Kisra | Sasan | Ketika Nabi Muhammad dilahirkan, istana Persia bergetar dan 14 puncaknya runtuh. Menurut seorang peramal pada masa itu, raja Persia – termasuk dirinya – hanya akan tersisa 14 orang sampai dinasti tersebut runtuh. | |
Hurmuz | Hurmuz IV | Sasan | ||
Abarwiz | Kisra II | Sasan | Ketika Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi, atap lengkung istana Persia runtuh dan bendungan Sungai Tigris jebol. | |
Nabi Muhammad mengirim surat untuknya, mengajaknya untuk masuk Islam, namun dia malah merobek-robek surat itu, menyebut Nabi hanya seorang “budak”. | ||||
Peringatan dari malaikat menjelang akhir hayatnya untuk beriman dan menjadi pengikut Nabi. | ||||
Shiruyah | Qubadh II | Sasan | Shiruyah memberi perintah kepada gubernurnya di Yaman untuk mengawasi Nabi Muhammad, namun melarang untuk membunuh beliau. | |
Ardashir | Ardashir III | Sasan | ||
Shahrbaraz | Parthian (Pahlav)/Mihran | |||
Buran (Ratu) | Burandukht | Sasan | Ketika Buran naik takhta, Nabi mengucapkan sebuah hadis yang terkenal mengenai ketidaklayakan seorang wanita untuk memimpin negara. | |
Jushnas Dih | Sasan | – | ||
Azarmidukht (Ratu) | Sasan | |||
Putra Mihr Jushnas | Kisra III | Sasan | ||
Khurrazadh | Kisra IV | Sasan | ||
Fayruz | Fayruz II | Sasan | – | |
Farrukhzadh | Kisra V | Sasan | ||
Yazdajird | Yazdajird III | Sasan | Raja terakhir Dinasti Sasaniyah. Dia meninggal di era Kekhalifahan Utsman setelah melarikan diri karena kalah perang melawan pasukan Muslim. |
Jika Anda memperhatikan dengan detail daftar raja-raja di atas, maka Anda akan melihat seorang raja yang bukan dari garis keturunan Sasan, dia adalah Shahrbaraz yang berasal dari garis keturunan Parthian, klan Mihran.[4]
Tabari menyebut bahwa Shahrbaraz bukan berasal dari garis keturunan kerajaan,[5] padahal jika kita melihat kilas balik berdirinya Dinasti Sasaniyah, dinasti ini didirikan dengan cara mengalahkan Dinasti Parthian. Dengan kata lain, orang-orang Parthian pada masa Sasaniyah adalah keturunan dari kerajaan sebelumnya yang telah dihancurkan.[6]
Dan memang ternyata Dinasti Sasaniyah tidak membuat kebijakan bumi hangus terhadap orang-orang Parthian. Faktanya, sepanjang berdirinya Dinasti Sasaniyah, orang-orang Parthian terus mengiringi dan menempati posisi-posisi yang kuat dalam pemerintahan, utamanya dalam kemiliteran. Orang-orang Parthian menyebut diri mereka sebagai Pahlav atau Parsig.[7]
Shahrbaraz hanyalah salah satu orang Parthian yang namanya naik ke permukaan, padahal di baliknya masih sangat banyak orang Parthian yang mendominasi kekuasaan dari balik layar. Selama berabad-abad sebelumnya, orang-orang Parthian sebenarnya loyal dan patuh terhadap raja-raja Sasaniyah, mereka baru berani membelot pada masa Kisra II dan mempersiapkan kudeta untuknya, itu pun karena keluarga ini merasa diperlakukan tidak adil.[8]
Ada beberapa klan Parthian yang dominan dan menguasai struktur dalam pemerintahan, mereka adalah klan Karin, Mihran, Ispahbudhan, Suren, dan Kanarangiyan. Mereka inilah yang tergabung dalam konfederasi Sasaniyah-Parthian dari sejak abad ke-3 hingga ke-6 M.[9]
Bahkan setelah runtuhnya Dinasti Sasaniyah, orang-orang Parthian masih ada dan tetap mempertahankan identitas mereka dan terus berlanjut hingga masa Dinasti Islam Umayyah dan Abbasiyah.[10]
Sejak masa Shiruyah hingga raja terakhir Yazdajird III, meskipun secara formal yang menempati takhta Dinasti Sasaniyah adalah dari garis keturunan Sasan, namun faktanya mereka hanyalah raja-raja (atau ratu) boneka. Penguasa Persia sesungguhnya adalah orang-orang Parthian.[11]
Ke depan, kita akan melihat bagaimana para tokoh besar panglima Muslim seperti Khalid bin Walid dan al-Muthanna bin Haritsah berhadapan dengan para jenderal Parthian ini. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 619.
[2] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 77.
[3] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 5, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh C. E. Bosworth (State University of New York Press: New York, 1999), hlm 285-411.
[4] Parvaneh Pourshariati, Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran (I.B.Tauris & Co Ltd: London, 2008), hlm 102.
[5] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 402.
[6] Agha Ibrahim Akram, The Muslim Conquest of Persia (Maktabah: Birmingham, 1975), hlm 5.
[7] Parvaneh Pourshariati, Op.Cit., hlm 3.
[8] Ibid., hlm 182.
[9] Ibid., hlm 3.
[10] Ibid., hlm 451.
[11] Ibid., hlm 178.