Mozaik Peradaban Islam

Penaklukan Persia (21): Kontroversi Saif bin Umar (1)

in Sejarah

Last updated on September 30th, 2020 03:01 pm

Saif bin Umar adalah sejarawan Islam awal yang karyanya begitu banyak dikutip oleh al-Tabari. Namun para ahli hadis menolak riwayat darinya dan menuduhnya sebagai seorang zindik.

Foto ilustrasi: lazerhorse.org

“Pergilah ke Irak sampai engkau memasukinya. Mulailah dengan pintu gerbang ke India, yaitu al-Ubullah (sekarang di Basrah, Irak-pen). Jadikanlah orang-orang Persia (Fars) dan negara-negara yang berada di bawah pemerintahan mereka damai,” demikianlah isi surat dari Abu Bakar ash-Shiddiq ra untuk Khalid bin al-Walid ra setelah dia menuntaskan Perang Ridda di Yamamah untuk menumpas nabi palsu, Musailamah al-Kazzab.[1]

Riwayat di atas, yang mana disampaikan oleh al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, diketahui merupakan salah satu catatan sejarah tertua yang menceritakan bagaimana penaklukan Persia oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid di bawah perintah Khalifah Abu Bakar dimulai.[2]

Tanpa penjelasan lebih lanjut dan tanpa basa-basi, riwayat itulah yang ditulis oleh al-Tabari di halaman pertama jilid ke-11 kitabnya yang khusus membahas tentang penaklukan Muslim ke wilayah Irak dan Suriah.

Akan tetapi, banyak sejarawan ahli Persia kontemporer, misalnya saja Khalid Yahya Blankinship dan Parvaneh Pourshariati yang mempertanyakan keakuratan riwayat tersebut. Di antara alasannya adalah karena, ketimbang sebagai catatan sejarah, riwayat itu lebih mirip dengan simbolisasi dari peristiwa sebenarnya, demikian menurut Parvaneh Pourshariati.[3]

Lebih jauh, Khalid Yahya Blankinship malah mengatakan bahwa catatan sejarah al-Tabari tentang penaklukan Persia, ketimbang dianggap sebagai catatan sejarah yang kredibel, lebih cocok disebut sebagai roman sejarah.[4]

Alasan terbesar kedua sejarawan tersebut adalah karena al-Tabari khusus dalam pembahasan penaklukan Persia, sebagian besar sumber sejarahnya diambil dari karya Saif bin Umar (wafat antara tahun 170-193 H/786-809 M), seorang sejarawan asal Kufah yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid.[5]

Saif bin Umar adalah sosok yang kontroversial, oleh para ahli hadis abad pertengahan riwayat-riwayat darinya ditolak, narasinya tidak dipercaya, dan mereka menuduhnya sebagai seorang zindik (orang yang menyimpangkan tafsir Alquran dan hadis). Dia juga diketahui telah menuliskan tokoh-tokoh periwayat hadis fiktif.[6]

Biografi Saif bin Umar

Untuk menggambarkan bagaimana sosok ini, mari kita simak biografi singkat Saif bin Umar yang disampaikan oleh Khalid Yahya Blankinship dalam pengantarnya pada terjemahan karya al-Tabari jilid ke-11:

Abu Abdallah Saif bin Umar al-Usayyidi al-Tamimi adalah seorang sejarawan asal Kufah yang meninggal pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid (Khalifah Dinasti Abbasiyah-pen). Selain kemungkinan bahwa dia dituduh sebagai zindik dalam penyelidikan (mihnah) yang dimulai pada masa al-Mahdi tahun 166 H (783 M) dan berlanjut hingga masa al-Rasyid, tidak ada yang diketahui tentang hidupnya, kecuali apa yang bisa dilihat dari (karya) sejarahnya….

Karya Saif awalnya dicatat dalam dua kitab, Kitab al-futuh al-kabir wa-al-riddah dan Kitab al-jamal wa-masir Aisyah wa Ali, yang kini telah hilang tetapi sempat ada selama beberapa abad setelah masa hidup Saif sendiri.

Kedua karyanya ini memberikan dampak yang sangat besar dalam tradisi sejarah Islam, terutama karena al-Tabari memilih untuk sangat bergantung kepada kitab-kitab ini dalam (menuliskan) peristiwa-peristiwa yang terjadi pada 11-36 H (632-56 M), sebuah periode yang mencakup masa pemerintahan tiga khalifah pertama dan mencakup semua penaklukan awal Irak, Suriah, Mesir, dan Iran.

Meskipun al-Tabari juga mengutip sumber-sumber (sejarah) lain dalam jilid ini (yaitu Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Jilid 11 tentang penaklukan Irak [yang mana pada waktu itu bagian dari Persia] dan Suriah-pen), seperti yang telah kami tunjukkan, sebagian besar materinya untuk periode ini berasal dari Saif.

Memang, ada kemungkinan juga, meskipun tidak pasti, bahwa dia telah mereproduksi sebagian besar karya Saif. (Sebabnya) Saif jarang dikutip oleh penulis lain secara langsung selain (mengutip) dari al-Tabari.

Secara umum, deskripsi Saif tentang penaklukan yang ditransmisikan dalam jilid ini dan jilid al-Tabari lainnya menekankan kepahlawanan para pejuang Muslim, kesulitan yang mereka alami, dan ketangguhan lawan mereka, ciri-ciri yang tampaknya cukup masuk akal dan juga ditemukan dalam riwayat-riwayat penaklukan lainnya, selain dari (karya) Saif.

Namun, riwayat Saif berbeda hingga tahap dia menyampaikan riwayat-riwayat yang tidak ditemukan di tempat lain, (Saif) sering meriwayatkan dari perawi yang tidak dikenal. Riwayat-riwayat unik ini sering kali mengandung motif-motif fantastis atau legendaris yang jauh lebih megah ketimbang yang ditemukan dalam versi sejarawan lainnya.

Meskipun sifat fantastis dan tendensius dari riwayat Saif sering digarisbawahi, misalnya oleh Julius Wellhausen (orientalis asal Jerman-pen), nilai pasti dari korpusnya sebagai sumber utama tidak pernah dinilai secara detail.[7] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 11, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Khalid Yahya Blankinship (State University of New York Press: New York, 1993), hlm 1.

[2] Parvaneh Pourshariati, Decline and Fall of the Sasanian Empire: The Sasanian–Parthian Confederacy and the Arab Conquest of Iran (I.B.Tauris & Co Ltd: London, 2008), hlm 190.

[3] Ibid.

[4] Khalid Yahya Blankinship dalam pengantar penerjemah Al-Tabari, Op.Cit., hlm xxvii.

[5] Ibid., hlm xv.

[6] Parvaneh Pourshariati, Op.Cit., hlm 165.

[7] Khalid Yahya Blankinship, Op.Cit., hlm xv-xvi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*