Saif telah mengubah riwayat, mempercepat tanggal al-Yarmuk menjadi 13 H (634 M), dua tahun lebih awal dari yang disebutkan di semua sumber lain, untuk mengakomodasi klaimnya atas kepemimpinan Khalid bin al-Walid.
Mari kita lanjutkan kembali biografi Saif bin Umar yang disampaikan oleh Khalid Yahya Blankinship[1]:
Jelas, riwayat-riwayat dari Saif yang melebih-lebihkan (ditambah-tambahi dari riwayat yang sebenarnya-pen) tidak dapat sepenuhnya dikarang olehnya (dalam artian dia harus mencampurnya dengan riwayat-riwayat yang benar, jika tidak orang-orang akan mengetahui bahwa riwayatnya hanya sebatas karangan-pen), karena riwayat-riwayat ini dimaksudkan untuk meyakinkan pemahaman sejarah bagi publik yang yang sudah memiliki pengetahuan tertentu tentang masa lalunya sendiri.
Karena itu, Saif harus berurusan dengan subjek dan tokoh yang sudah akrab bagi para pendengarnya dengan cara yang tidak menyinggung perasaan mereka. Inilah yang membatasi kemungkinan (riwayat-riwayat itu) dikarang (sepenuhnya).
Lebih jauh, sifat riwayat dari Saif yang begitu melebih-lebihkan menunjukkan (karakter) periode sebelumnya yang berasal dari penyampaian secara lisan. Karena Saif sendiri jelas seorang penulis komposisi prosa, sangat kecil kemungkinannya bahwa karakteristik yang menyarankan transmisi lisan adalah kontribusinya sendiri; ini lebih mungkin berasal dari sumber-sumber (sejarah)nya.
Karakteristik bahasa yang dibesar-besarkan dalam penyampaian lisan oleh Saif terutama tampak dalam narasi penaklukan Irak, yang menunjukkan asal-usul dan bias kesukuan yang jelas. Narasi-narasi ini sebagian besar dapat ditelusuri ke dua kelompok yang bersaing, (Bani) Rabiah dan (Bani) Tamim, yang mana permusuhan mereka sudah berlangsung dari sejak zaman pra-Islam.
Bahwa Saif harus menyajikan riwayat tentang Rabiah, musuh dari Tamimi, kabilah asal Saif, agar tampak adil dan tidak memihak. Tetapi dia punya alasan sendiri untuk memasukkan mereka (ke dalam riwayat-riwayatnya). Kemungkinan pada masa Saif, permusuhan di antara kabilah lama itu sudah tidak terlalu besar, karena kabilah baru sudah memperoleh kekuasaan di sekitar Dinasti Abbasiyah.
Divisi militer kabilah-kabilah lama yang telah menjadi elit di bawah Dinasti Umayyah dengan cepat kehilangan pengaruhnya dan mungkin cenderung melupakan perbedaan di antara mereka, dan elit-elitnya berusaha untuk mempertahankan hak istimewa apa pun yang masih dimiliki garis keturunan mereka.
Saif dengan demikian mungkin lebih suka untuk menyatukan semua tradisi kabilah tanpa prasangka yang tidak diinginkan, untuk mendapatkan perhatian yang lebih luas.
Karakteristik lain dari karya Saif yang mungkin sebagian berasal dari tradisi kesukuan adalah favoritisme untuk Irak yang dia ungkapkan, dan khususnya untuk kota Kufah. Ini tidak mengherankan, karena Saif adalah orang Kufah dan (sumber riwayatnya) hampir sepenuhnya mengandalkan informan Kufah.
Bias pro-Irak ini tercermin, misalnya, dalam ruang yang jauh lebih besar yang dia dedikasikan dalam (riwayat) penaklukan Irak, dan terutama kepada lingkungan Kufah, dibandingkan dengan yang dikhususkan untuk Suriah.
Hal ini juga terlihat dari peranan berlebihan yang dia berikan kepada Khalid bin al-Walid dalam penaklukan Suriah, karena Khalid dan pasukan yang dibawanya digambarkan (oleh Saif) sebagai orang-orang Irak…. padahal sumber lain menunjukkan bahwa kemenangan ini (Perang al-Yarmuk) dipimpin Abu Ubaidah bin al-Jarrah….
…. Saif telah mengubah riwayat ini untuk tujuannya sendiri dan mempercepat tanggal al-Yarmuk menjadi 13 H (634 M), dua tahun lebih awal dari yang disebutkan di semua sumber lain, tepatnya untuk mengakomodasi klaimnya atas kepemimpinan Khalid…. (padahal) dia tidak bisa memegang komando selambat-lambatnya hingga 15 H (636 M) [karena ada perintah demikian dari Khalifah Umar]….
Secara umum, tradisi kesukuan yang diturunkan oleh Saif sangat tidak meyakinkan. Bahkan Fred Donner (orientalis, pakar sejarah Islam asal Amerika Serikat-pen) yang biasanya mendukung (riwayat-riwayat) Saif, tetap menolak riwayat “Perang Buwaib” dari Saif dan menyebutnya sebagai rekayasa sepenuhnya….
Lebih jauh, luas geografis dari penaklukan paling awal juga sangat dilebih-lebihkan, yang menunjukkan penetrasi yang dalam dari dataran Irak bahkan sebelum kekalahan pasukan utama Persia.
Meskipun Saif dengan jelas mengacu pada tradisi kesukuan dan mungkin sumber lain yang lebih kredibel untuk sebagian besar riwayatnya, dia tampaknya juga telah memberikan penambahan pribadi yang cukup besar pada riwayat yang dia sampaikan.
Akan sangat berguna untuk menaksir apa saja penambahan ini, karena dengan demikian kita dapat mengisolasi beberapa elemen yang telah ditambahkan ke dalam riwayat-riwayatnya nanti. Tetapi penaksiran seperti itu tidak pernah dilakukan, karena kecenderungan partisan Saif, meskipun pasti ada, tidak pernah dikemukakan, meskipun korpusnya di al-Tabari menyediakan banyak materi yang dipertanyakan.[2] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Khalid Yahya Blankinship adalah seorang profesor sejarah Islam kelahiran Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada jurusan sejarah di Universitas Washington pada tahun 1973 dia memutuskan untuk masuk Islam. Dia telah mengelana dan memperdalam Bahasa Arab di berbagai negara di Timur Tengah. Karya terbesarnya di antaranya adalah menerjemahkan Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume karya al-Tabari ke dalam bahasa Inggris. Selengkapnya lihat islamonline.net dari laman https://web.archive.org/web/20070317023855/http://www.islamonline.net/livedialogue/english/Guestcv.asp?hGuestID=z1C6GT, diakses 30 September 2020.
[2] Khalid Yahya Blankinship dalam pengantar penerjemah Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 11, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Khalid Yahya Blankinship (State University of New York Press: New York, 1993), hlm xvi-xix.