Saif hidup di masa peralihan dari Dinasti Umayyah ke Abbasiyah, sehingga situasi politik yang panas pada waktu itu sangat “mewarnai” riwayat-riwayatnya.
Dalam seri kali ini kita masih melanjutkan biografi Saif bin Umar yang ditulis oleh Khalid Yahya Blankinship. Ke depan, penulis akan menjelaskan mengapa biografi Saif ini penting untuk dipaparkan karena efeknya berkaitan langsung dengan konstruksi sejarah Penaklukan Islam ke Persia. Selamat menyimak:
Karena Saif hidup pada masa awal Dinasti Abbasiyah, secara logis dapat dianggap bahwa karyanya menunjukkan kecenderungan pro-Abbasiyah yang sama (dengan penulis-penulis lainnya di masa itu-pen), dan dengan demikian dia juga cenderung anti Dinasti Umayyah, sebagaimana yang umumnya terjadi pada para sejarawan periode Abbasiyah.
Hal ini (dukungan Saif kepada Abbasiyah-pen) akan lebih baik dipertimbangkan ketimbang dengan serpihan-serpihan pro-Umayyah yang ada dalam riwayat-riwayatnya yang mungkin dia kutip dari sumber-sumber dari masa sebelumnya.
Namun sesungguhnya, bukan kedua hal itu yang menjadi masalah. Meskipun ada konsesi tertentu untuk Dinasti Abbasiyah, karya Saif bin Umar utamanya didorong atas keprihatinan lain sepenuhnya: Oposisi terhadap klaim ekstrim dari Alawi[1] (yaitu mengenai hak kepemimpinan-pen) dan justifikasi seluruh Sahabat Nabi (bahwa seluruh sahabat mulia-pen).
Meskipun dia berasal dari Kufah, awal tempat terbentuknya aliran Syiah, namun Saif tergolong ke dalam kelompok arus bawah yang sepenuhnya anti-Syiah, yang mewakili faksi Kufah yang sebelumnya menentang gerakan perlawanan al-Husain bin Ali dan Zaid bin Ali.
Kelompok arus bawah ini umumnya diwakili oleh orang-orang Arab dari kabilah Mudar, yang selama ini disukai oleh Bani Umayyah. Saif adalah seorang Usayyidi dan dengan demikian dia merupakan anggota dari cabang utama Bani Tamim, yang, bersama dengan bagian Mudar lainnya, (yang pada masa sebelum Dinasti Abbasiyah-pen) berdiri mendukung Bani Umayyah di Khurasan.
Dengan bangkitnya Abbasiyah, sebuah peristiwa yang mungkin disaksikan Saif (yaitu revolusi Abbasiyah menggulingkan Dinasti Umayyah-pen), sebuah partai (yakni Abbasiyah-pen) meraih kekuasaan dengan memperoleh legitimasinya atas klaim (kepemimpinan) Alawi, meskipun kelompok Alawi sendiri menolak penguasa baru Abbasiyah ini.
Dengan tumbangnya Bani Umayyah, caci maki publik kepada Ali bin Abi Thalib dihentikan, dan sebaliknya, orang-orang Alawi dapat dengan bebas mengutuk musuh-musuh Ali, yang mana banyak dari mereka adalah Sahabat Nabi.
Namun para Alawi sendiri dikecewakan oleh perampasan kepemimpinan oleh Abbasiyah, yang mana menurut Alawi adalah hak mereka, dan para pendukung Alawi, tentu saja, tidak bisa secara terbuka mengkritik dinasti baru ini.
Oleh karena itu, untuk melampiaskan kekesalannya, para pendukung Ali menyalahkan para sahabat Nabi yang telah menggeser Ali dari posisi khalifah pada kesempatan pertama: Abu Bakar, Umar, Utsman, Bani Umayyah, dan Quraisy pada umumnya.
Dalam suasana panas seperti inilah Saif bin Umar bergegas untuk membela para sahabat yang disalahkan oleh Alawi dan menciptakan riwayat tentang penaklukan dan perang saudara pertama yang dimaksudkan untuk membenarkan mereka.
Dengan menempatkan materi baru dalam kerangka tradisi sejarah yang diterima pada masanya, dia membangun ulang kisah kekhalifahan awal untuk membuktikan ketidakbersalahan seluruh sahabat Nabi.
Dalam upaya untuk menetralkan kesalahan para sahabat utama di kemudian hari, dia menggambarkan keharmonisan hubungan mereka sebelumnya dan menunjukkan bagaimana mereka telah berjuang keras melawan non-Muslim dalam penaklukan. Pada saat yang sama dia mengkambinghitamkan penentang Islam non-Arab untuk menunjukkan superioritas Muslim dan untuk menekankan persatuan mereka melawan non-Muslim.
Dengan demikian, Saif merepresentasikan penaklukan awal dalam gambaran kerjasama yang harmonis di antara semua suku Arab melawan Persia dan Romawi, tidak seperti gambaran yang beredar di kalangan yang bersimpati kepada Syiah.
Tradisi kesukuan yang menekankan perjuangan melawan non-Muslim Persia jelas cocok dengan tujuannya. Pada saat yang sama harus diingat juga bahwa kecenderungan anti-Syiah Saif tidak meluas hingga mencemooh jejak rekam Ali atau pendukungnya. Sebaliknya, Saif juga berusaha untuk membenarkan Ali dan membebaskan dia dari semua kesalahan.
Kecenderungan mengerikan dari korpus Saif terlihat paling jelas dalam jlid al-Tabari lainnya, dalam episode seperti Saqifah Bani Saidah, penguburan Utsman bin Affan, dan dongeng Abdullah bin Saba. Dalam masing-masing yang telah disebutkan ini, ada versi lainnya untuk perbandingan yang tidak mengkonfirmasi apa yang diriwayatkan oleh Saif sehingga mengungkapkan kekasaran “konstruksinya yang berani.”
Materi dalam jilid ini (al-Tabari jilid 11-pen), di sisi lain, sering kali tidak ada perbandingannya di riwayat lain sehingga lebih sulit untuk dikritik. Namun demikian, keberpihakan Saif dapat dikenali di sini juga ketika riwayat-riwayatnya diteliti dengan cermat.
Kecenderungan Saif yang paling jelas terungkap dalam jilid ini dalam riwayat-riwayat glorifikasi para sahabat Nabi. Tapi sahabat manakah yang paling banyak mendapat sorotan? Penerima manfaat pertama dari pujian-pujiannya adalah orang-orang Quraisy, tepatnya kelompok yang paling disalahkan oleh Alawi.
Untuk mengatasi perbincangan seperti demikian, Saif memberikan (riwayat tentang) kepemimpinan dan peran militer orang-orang Quraisy yang tidak terbukti dalam riwayat lain dan tampaknya tidak mungkin – demi sudut pandang tendensinya – ditujukan kepada sahabat awal ternama yang tinggal di Madinah, sebisa mungkin (pemilihan mereka sebagai pemimpin militer) sebagai akibat dari kebijakan yang disengaja.
Sementara penaklukan terus dilakukan oleh sekelompok pemimpin militer terpilih (dalam versi Saif-pen), banyak di antara mereka yang memeluk Islam hanya dalam beberapa tahun terakhir kehidupan Nabi dan beberapa di antaranya bukan orang Quraisy atau terkait dengan kabilah Quraisy yang terpinggirkan di Fihr.
Sebagian besar dari materi ini tampaknya merupakan tambahan langsung riwayat yang dibuat oleh Saif sendiri untuk kepentingan pembelaan kepada para sahabat Quraisy, terutama para sahabat awal, dari tuduhan Alawi.
Ini adalah dugaan yang sangat mungkin karena banyak peran militer Quraisy semacam itu yang tidak disebutkan di mana pun kecuali dalam riwayat Saif.[2] Saif juga menambahkan karir militer yang lebih lama pada kehidupan sahabat non-Quraisy tertentu.[3] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Definisi Alawi: Sebuah gerakan politik yang memiliki pemikiran bahwa yang paling berhak untuk memimpin umat Islam adalah para keturunan Bani Hasyim, utamanya dari jalur Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Seluruh sekte di dalam Syiah (Kaysaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Ismailiyah) bisa masuk ke dalam kategori ini. Lihat “Alids”, dari laman http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t125/e122, diakses 2 Oktober 2020.
[2] Di antara nama-nama yang disebut oleh Saif adalah Dirar bin al-Khattab al-Fihri, Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid, Habib bin Maslamah al-Fihri, Safwan bin Umayyah al-Jumahi, Abu Sufyan bin Harb al-Umawi, dan Abu Musa al-Asyari. – Khalid Yahya Blankinship
[3] Seri artikel ini sepenuhnya dikutip dari Khalid Yahya Blankinship dalam pengantar penerjemah Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 11, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Khalid Yahya Blankinship (State University of New York Press: New York, 1993), hlm xix-xxi.