Mozaik Peradaban Islam

Pengantar Teosofi Islam (2): Tentang Wujud dan Kemaujudan (2): Wujud dan Cahaya

in Studi Islam

Last updated on April 5th, 2020 12:32 pm

Wujud kadang-kadang digambarkan sebagai sesuatu yang tidak tampak dalam dirinya sendiri, tapi menampakkan segala sesuatu selainnya. Karena itu, wujud pada umumnya diibaratkan dengan “cahaya”.

Foto ilustrasi: Free Pic

Dalam pemikiran Islam, wujud sering dikontraskan dengan mâhiyyah (ماهيّة). Wujud adalah realitas objektif (الواقع الخارجي), sedangkan mahiyah adalah gagasan  tentang realitas objektif partikular. Semua maujud partikular pasti memiliki mahiyah, sedangkan Wujud Mutlak tidak memiliki mahiyah karena Wujud Mutlak adalah keseluruhan wujud itu sendiri.

Karena meliputi segala sesuatu, Wujud Mutlak tidak bisa diketahui dan didefinisikan. Pembatasan macam apapun hanya berlaku pada maujud partikular, dan tidak mungkin berlaku pada Wujud Mutlak. Mahiyah berasal dari definisi dan analisis terhadap sesuatu, yang hanya mungkin terjadi pada bagian tertentu dari keseluruhan wujud.

Pengetahuan tentang Wujud Mutlak ini hadir dalam diri setiap maujud secara langsung, mengingat pengetahuan ini tak lain daripada pengetahuan manusia tentang hakikat dirinya sendiri. Tentu saja yang dimaksud dengan manusia di sini adalah aku dan ego yang sadar, yang dengan penyaksian batinnya (شهود) menyadari wujud dirinya sendiri, tanpa sarana pengindraan, pengamatan, (perolehan) bentuk-bentuk ataupun konsep-konsep mental.

Jadi, sebenarnya, ini bukanlah termasuk dalam kategori pengetahuan, melainkan suatu pertemuan dan perjumpaan. Inilah yang disebut oleh para filosof Muslim sebagai pengetahuan dengan kehadiran (العلم الحضوري), yang dibedakan dengan pengetahuan perolehan (العلم الحصولي).

Dalam pengetahuan-dengan-kehadiran, subjek dan objek pengetahuan menyatu dan tidak bisa dipisah-pisahkan, sedemikian sehingga jenis pengetahuan ini meleburkan dimensi epistemologis subjek dengan dimensi ontologisnya. Di sini, mengada dan mengetahui menjadi satu. Dan karena kesatuan dan kemanunggalan ini, subjek kerap melalaikan “objek yang hadir dalam dirinya”.

Sebagai contoh, ketika Anda berkonsentrasi memandangi jerawat di wajah Anda pada sebuah cermin, Anda akan melupakan bahwa jerawat itu adalah bagian kecil dari wajah Anda. Sebaliknya, keseluruhan wajah Anda akan menghilang, hingga tinggallah jerawat yang mengisi “ruang” kesadaran Anda.

Wujud kadang-kadang digambarkan sebagai sesuatu yang tidak tampak dalam dirinya sendiri, tapi menampakkan segala sesuatu selainnya. Karena itu, wujud pada umumnya diibaratkan dengan “cahaya” yang tidak tampak dalam dirinya sendiri tetapi menampakkan dan memungkinkan kita melihat hal-hal lainnya.

Meminjam ungkapan Sachiko Murata: “Apa yang kita sebut sebagai ‘cahaya yang tampak’ tak lain hanyalah pantulan remang-remang dari cahaya sesungguhnya yang tidak tampak. Kita bisa melihatnya lantaran cahaya tersebut telah berbaur dengan kegelapan. Bahkan, pada tataran fisikal, semakin terang cahaya itu, maka semakin sulit cahaya itu untuk dilihat. Dan tidak ada batas teoretis untuk kecerlangan cahaya. Begitu pula, apa yang kita sebut wujûd (eksistensi) sesungguhnya adalah segala sesuatu yang ada, yang tak lain hanyalah pantulan remang-remang dari Wujûd (Wujud) Hakiki.”[1]

Dalam kaitan dengan ini, Mulla Shadra menyatakan:

“إنّه [اي الوجود] الاصل الثابت في كلّ موجود وهو الحقيقة، وما عداه كعكس و ظلّ وشبح ”

(“Wujud” adalah sesuatu yang secara primer nyata dalam segala sesuatu, dan itulah hakikat. Sebaliknya, semua selainnya [yakni, mahiyah] adalah seperti pantulan, bayangan, dan santiran).[2]

Wujud mustahil untuk dibeda-bedakan, dibanding-bandingkan, didefinisikan dan dianalisis, karena ia bersifat elementer dan sederhana, tidak memiliki bagian, tidak memiliki bandingan, dan tidak memiliki batasan.

Maujud (eksistensi), alam semesta dan apa yang kita saksikan hanyalah pantulan dari Cahaya Mutlak ini. Gerakan fundamental dalam kosmos dari penyamaan menuju pembedaan bisa dikembalikan pada gerakan dari Wujud, yang sama sekali tak terbedakan, menuju eksistensi (maujud), yakni sebuah nama yang diaplikasikan pada segala sesuatu yang terbedakan dan terpancar dari Wujud Mutlak.

Maujud dalam artian ini adalah sinonim bagi alam raya. Kata maujud juga menunjukkan bahwa ada sesuatu yang kita jumpai di alam raya, seperti ketika kita menjumpai seekor kucing di dapur rumah kita. Bila kita mengabaikan seluruh maujud partikular dan terdefinisikan, maka kita berhadapan dengan Wujud yang tak bisa didefinisikan dan diketahui, yaitu Hakikat Ilahiah. 

Para pemikir Muslim sepakat menyatakan bahwa Wujud adalah satu dan tunggal, sementara yang banyak adalah mahiyah. Dan mahiyah adalah objek yang kita ketahui, dan berada dalam benak kita. Karena itu, Saiduddin Al-Farghani melihat segala sesuatu diliputi oleh dua prinsip kembar: Kesatuan Wujud (wahdah al-wujûd) dan Kemajemukan Pengetahuan (katsrah al-‘ilm).[3]

Allah hadir dalam wujud sebagai kesatuan dan ketunggalan, dan hadir dalam pengetahuan sebagai kemajemukan. Para filosof sering membandingkan pengetahuan Allah dengan kesadaran manusia: Satu orang tidak mungkin menjadi banyak orang (hanya) lantaran dia mengetahui banyak hal. Demikian juga, Wujud dan Pengetahuan Allah identik, meskipun objek Pengetahuan Ilahi itu bersifat majemuk dan mencakupi bermacam-macam maujud objektif.

Wujud dalam pandangan para pemikir Muslim bukan sekadar gagasan filosofis yang kering; ia adalah suatu pengalaman transenden dalam menemukan dan menyaksikan segala sesuatu. Setiap subjek menemukan wujud dalam tingkat yang berbeda-beda.

Pada tingkat tertinggi, Wujud Mutlak menemukan segala sesuatu dalam Diri-Nya secara langsung. Tetapi, pada tingkat-tingkat di bawah-Nya, setiap maujud menemukan dirinya sebagai bayangan dan refleksi dari pancaran Wujud Mutlak, dan merasakan kehadiran-Nya dalam suasana yang remang-remang. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan 1996, hal. 100.

[2] Toshihiko Izutsu, The Concept and Reality of Existence, The Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1971, 104.

[3] Sachiko Murata, Op.Cit, , hal. 101.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*