Apabila kita membayangkan semua maujud selain Wujud Mutlak, dengan pasti kita akan menemukan bahwa semua selain Dia hanyalah pancaran dan penampakan-Nya.
Seperti telah berulang-ulang ditegaskan, Wujud bersifat tunggal dan sederhana karena semua yang kita bayangkan pasti bisa kita rujukkan kepada-Nya. Dalam filsafat Islam, ada prinsip yang disebut:
“صرف الشئ لا يتثنّى ولا يتكرّر”
(Sesuatu pada dirinya sendiri tidak berganda dan tidak berbilang).
Jelasnya, apabila Wujud itu sama dengan segala sesuatu, maka di antara keduanya terdapat hubungan identitas yang meniscayakan kesatuan yang utuh dan sempurna. Jadi, Wujud Mutlak tidak mungkin berbilang, karena di luar Wujud Mutlak adalah ketiadaan mutlak.
Dan ketiadaan mutlak adalah tiada, dan yang tiada mustahil kita bayangkan atau kita tunjuk atau kita bicarakan atau kita tuliskan. Begitu kita membayangkan, menunjuk, membicarakan atau menuliskan tiada, maka tiada itu langsung mewujud sebagai bayangan, benda, bahan pembicaraan atau huruf t-i-a-d-a.
Dengan demikian, seperti kata Alquran, kemana saja kita memalingkan muka, di sana kita akan menemukan Wajah Allah. Allah berfirman, Maka ke mana pun engkau menghadap, di situlah Wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Maha Meliputi) dan Maha Mengetahui.” (QS 2:115). Menurut ungkapan orang Arab, wajah (وجه) adalah pusat atau bagian yang paling mulia dari sesuatu.[1]
Dalam peristilahan matematika, Wujud dapat digambarkan sebagai himpunan tak berhingga {manusia, malaikat, tumbuhan, binatang, air…}. Elemen dalam himpunan Wujud secara teknis disebut dengan maujûd (موجود), sedangkan keseluruhan himpunan itu sendiri disebut dengan Wujud Mutlak atau Allah.
Seperti telah dijelaskan di muka, Wujud Mutlak atau Allah ini bersifat Tunggal dan Sederhana karena semua yang diasumsikan selain-Nya berasal dari-Nya dan Tak berhingga karena lawan-Nya adalah ketiadaan.
Ada dua sudut pandang dalam memandang Wujud atau Allah: pertama, sudut-pandang yang mengarah pada elemen-elemen himpunan Wujud. Di sini kita akan menemukan sifat keragaman, kebertingkatan dan kenisbian, mengingat setiap elemen yang mewujud berbeda-beda dalam hal tingkatan keutamaan dan kesempurnaan; kedua, sudut-pandang yang mengarah pada keseluruhan himpunan. Dari sudut ini kita akan melihat bahwa semua kemaujudan tidak lain dari bias-bias Wujud yang Tunggal dan Tak berhingga.
Kedua sudut pandang itu lahir dari dua pendekatan terhadap Wujud. Di satu sisi, kita menyaksikan ketunggalan, ketakberhinggaan, ketakterbandingan, ketersembunyian dan kemutlakan Ilahi; dan di sisi lain kita melihat keragaman, penampakan, tanda, perumpamaan, perbandingan dan kenisbian.
Maksudnya, apabila kita memandang Wujud secara mutlak, maka kita akan melakukan tanzîh atau menyatakan ketakterbandingan-Nya dengan segala sesuatu. Dalam perspektif ini, Allah adalah Wujud yang benar-benar tidak bisa dijangkau oleh semua makhluk-Nya dan berada jauh di luar pengalaman dan pemahaman mereka.
Allah berfirman Mahasuci Tuhanmu, Tuhan Keagungan, (yang tak terjangkau) oleh apa-apa yang mereka sifatkan. (QS 37: 180).Akan tetapi, ada sisi Wujud yang tampak dan dekat dengan elemen-elemen himpunan yang serba nisbi ini, yakni Wujud yang kita sembah dan kita puji, kita seru dan kita panggil di dalam doa-doa kita. Dalam kaitan ini, Allah berfirman Kami lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya sendiri. (QS 50: 54).
Wujud Mutlak dalam bahasa para ahli hikmah disebut dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Niscaya Mewujud). Yaitu, apabila kita membayangkan semua maujud selain Wujud Mutlak, dengan pasti kita akan menemukan bahwa semua selain Dia hanyalah pancaran dan penampakan-Nya. Karena, semua maujud bergantung secara esensial pada Wujud yang mandiri dan bergantung sepenuhnya pada diri sendiri. Bila tidak demikian, maka rantai kemaujudan akan menjadi ketiadaan mutlak.
Sebagai ilustrasi, bilamana ada himpunan tak berhingga {1, 2, 3, … }, lalu kita berasumsi bahwa 1 tidak akan mewujud tanpa 2, dan 2 tidak akan mewujud tanpa 3, dan demikian seterusnya tanpa akhir, maka tak satu pun elemen dalam himpunan tak berhingga itu yang bakal mewujud, kecuali apabila rangkaian kebergantungan ini berakhir pada Wujud Mutlak yang Tak-bergantung.
Dan Wujud Mutlak itulah yang di depan kita sebut dengan Wâjib al-Wujûd. Kesimpulannya, Wâjib al-Wujûd atau Wujud Mutlak sama dengan keseluruhan elemen-elemen himpunan wujud (baca: maujud), sehingga semua elemen tidak lain dari penampakan, pantulan, tanda, rahmat atau Nama-nama Maha Indah dari Wujud atau Allah. (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Abu al-Qasim al-Raghib al-Isfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Dar Al-Ma`rifah, Beirut, t.t. entri huruf wajh.
Salam.
Di bagian awal dikatakan wujud mutlak adalah himpunan yg mencakup semua maujud. Di bagian menjelang akhir dikatakan wujud mutlak/ wajib wujud adl bagian ujung dr himpunan wujud (?) Bagian dr himpunan tsb(.) Tampak seperti ketak konsistenan definisi.
Monggo!