Mozaik Peradaban Islam

Sa’di Shirazi (3): Seorang yang Merdeka

in Tokoh

Last updated on August 27th, 2018 02:48 pm

“Sufi dan pedagang ibarat dua biji almond dalam cangkang yang sama.”

–O–

Meskipun karya-karya Saʿdi tidak dapat dijadikan sebagai acuan tentang bagaimana sesungguhnya kisah hidupnya, namun setidaknya, secara garis besar itu dapat memberikan informasi bagaimana cara Sa’di dalam melihat dunia.  Saʿdi hidup pada salah satu abad yang paling penting dan traumatis dalam sejarah Asia dan Timur Tengah. Ekspansi dan konsolidasi kekuatan bangsa Mongol ditandai oleh penghancuran pusat-pusat kebudayaan dan peradaban lama, pergolakan lembaga-lembaga politik yang mapan, dan migrasi besar-besaran penduduk. Hanya keberuntungan, kecerdasan, tekad, dan kepandaian praktis yang dapat membuat seseorang dapat bertahan hidup pada saat itu.

Saʿdi menghadapi berbagai tantangan dalam pertambahan usianya dengan kecakapan dan gerak yang konstan. Pada tahun-tahun awalnya, gerakan ini bersifat fisik; sebagai seorang ulama dan penyair pengembara yang semakin dihormati, penguasaan terhadap bahasa dan literatur kebudayaan memungkinkannya untuk dengan mudah berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan dia juga dapat dengan mudah keluar masuk masjid, pasar, dan bahkan istana. Kemudian dia mempertahankan mobilitas sosialnya bahkan setelah menetap di Shiraz.

Karya-karyanya menunjukkan bahwa dia secara teratur berhubungan dengan lingkaran penguasa kota, tetapi dia tampaknya tidak pernah bergabung dengan istana dalam kapasitas formal. Selain itu, berbagai laporan menyatakan bahwa dia tinggal di rumah sederhana khas seorang Sufi meskipun dia telah memiliki pengaruh, status, dan akses ke orang-orang kaya.

Situasi ini – bergaul dengan siapapun, mulai dari kelas bawah sampai kelas atas – telah membantunya untuk dapat menjelaskan keluasan dan beragamnya dunia. Dalam karyanya Sa’di menggambarkan mulai dari rumah mewah para elit sampai dengan kehidupan jalanan rakyat miskin. Lebih penting lagi, jalan hidupnya juga tampaknya telah berkontribusi pada sikapnya yang tidak menunjukkan keterikatan terhadap golongan manapun, yana mana telah menjadi ciri khas dari karya-karyanya. Penilaian tentang ironi, humor, dan belas kasihan yang sering ditemukan dalam tulisan-tulisannya dihasilkan dari kemampuannya untuk mempertahankan berbagai perspektif dan kesadaran akan kesalahannya sendiri.

Meskipun demikian, kebebasan cara berpikirnya ini tetap menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai inti tertentu: kepedulian terhadap penderitaan orang lain (terutama yang kurang beruntung); kesadaran akan kerapuhan hidup; dan keyakinan terhadap perhitungan/hari pembalasan tentang moral, baik itu dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Perhatian Saʿdi tentang kesejahteraan sosial membutuhkan dukungan dari kekuatan politik, tetapi juga dia mesti berhati-hati dan bersedia untuk menyesuaikan prinsipnya dengan situasi yang berkembang.

Satu sisi, karya-karya Sa’di mengakui perlunya otoritas keagamaan, tetapi pada sisi lain dia juga mengungkapkan tentang kemunafikan dan pembenaran diri yang sering menyertainya. Meskipun Sa’di mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya, namun dalam karyanya dia tetap menunjukkan adanya sukacita dan semangat yang tampaknya tumbuh dari partisipasi penuhnya terhadap nilai kemanusiaan, yaitu cinta dan bahasa. Karya-karyanya mengekspresikan cinta dalam berbagai bentuknya seperti solidaritas sosial, persahabatan, hasrat asmara, dan pengabdian religius.[1]

Terkait spiritualitas, Sa’di membedakannya dengan kehidupan praktis dan duniawi.  Dalam Bustan, misalnya, Sa’di menggunakan pendekatan duniawi sebagai batu loncatan untuk mendorong dirinya sendiri untuk melampaui alam duniawi. Gambar-gambar di dalam Bustan lembut dalam pembawaannya dan menenangkan. Sementara itu dalam Gulistan, di sisi lain, Sa’di menurunkan tingkat spiritualnya ke tingkatan duniawi untuk dapat menyentuh hati sesama musafir.  Di sini gambar-gambarnya bersifat grafis, dan berkat ketrampilan Sa’di, itu tetap terlihat konkret di mata pembaca.

Ilustrasi Gulistan yang dibuat oleh Mir Imad, kaligrafer asal Persia, pada tahun 1615, berjudul “Darwish Menari”.

Secara realistis, Sa’di juga tetap menyampaikan nilai-nilai kebenaran dalam hidupnya sebagai pengkhotbah. Ketika sedang berkhotbah di Khaniqah (bangunan tempat berkumpulnya para sufi), dia menjelama menjadi orang yang benar-benar berbeda dari kehidupan kesehariannya sebagai pedagang keliling yang melewati sebuah kota. Hal yang unik tentang Sa’di adalah bahwa dia dapat hidup baik sebagai Sufi maupun pedagang keliling. Mereka (sufi dan pedagang), seperti yang dia sendiri katakan, ibarat dua biji almond dalam cangkang yang sama.

Kini, meskipun nama Sa’di dikaitkan dengan banyak nama penyair terkenal di dunia Barat, namun dia telah memiliki peran tersendiri dalam pengembangan persona-nya. Sir William Jones adalah salah seorang yang memperkenalkan Sa’di ke Inggris. Dari sana, ketenaran Sa’di melintas ke wilayah Eropa lainnya yang mana disambut oleh Victor Hugo, Honore-de Balzac, dan Johann Wolfgang von Goethe yang mana menambah ketenaran Sa’di dalam dunia internasional. Dari Eropa, karya Sa’di melintasi Samudera Atlantik dan diterima di Amerika oleh transendentalis Ralph Waldo Emerson dan Henry Thoreau. Di antara para penyair besar Barat ini, akhirnya nama Sa’di menjadi dikenal sebagaimana orang-orang Barat mengenal Omar Khayyam pada hari ini.

Kembali ke Inggris, Edward Fitzgerald, penyair yang menerjemahkan dan menerbitkan Ruba’iyyat karya Omar Khayyam secara anonim pada tahun 1859, sebelumnya mempelajari karya Sa’di terlebih dahulu sebagai buku teks panduan untuk mempelajari bahasa Persia. Namun bagaimanapun, pada akhirnya Ruba’iyyat menjadi lebih terkenal dibandingkan dengan karya-karya Sa’di. Ruba’iyyat sampai saat ini dipertimbangkan sebagai karya orang Asia yang diterjemahkan ke bahasa Inggris yang paling sukses diterima oleh masyarakat Barat.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sa’di Shirazi (4): Pengakuan Dunia dan Beberapa Karyanya

Sebelumnya:

Sa’di Shirazi (2): Bustan dan Gulistan

Catatan Kaki:

[1] Paul Losensky, “Saʿdi”, dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/sadi-sirazi, diakses 26 Agustus 2018.

[2] Iraj Bashiri, Shaikh Muslih al-Din Sa’di Shirazi (Bashiri: University of Minnesota, 2003), hlm 6-7.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*