Mozaik Peradaban Islam

Sa’di Shirazi (2): Bustan dan Gulistan

in Tokoh

Last updated on August 26th, 2018 01:51 pm

“Gulistan ditulis dengan gaya yang melodius dengan pembahasan yang dominan tentang cinta. Dalam prosa-prosa maupun puisi di dalamnya, mengungkapkan emosi sejati si penulis. Lebih jauh lagi, isinya sangat kaya akan penggunaan metafora yang efektif yang menampilkan mistik cinta.”

–O–

Tentang kehidupan Saʿdi, hanya sedikit yang dapat dipastikan kebenarannya. Bahkan referensi-referensi terdahulu yang menulis tentangnya menyampaikan informasi yang berbeda dalam hal-hal penting. Meskipun tulisan-tulisan Sa’di sendiri, terutama dalam Bustan (Kebun Buah) dan Gulistan (Taman Mawar), mengandung banyak otobiografi dari pengalaman hidupnya sendiri, namun konon sejumlah besar dari hal ini secara historis tidak masuk akal dan mungkin hanya fiksi, atau pemeran tokoh utama di dalamnya ditampilkan hanya sebagai efek retoris semata. Ketidakjelasan dapat dilihat mulai dari penyebutan namanya sendiri. Dalam menuliskan nama lengkapnya — terdiri dari nama pemberian orang tua, panggilan kehormatan (laqab), sapaan (kunyah), dan nama ayah — sumber-sumber sejarah tampaknya menyajikan semua susunan nama yang memungkinkan dari beberapa elemen dasar.

Terkait pengembaraan Sa’di ke berbagai tempat, dalam Gulistan dikisahkan bahwa tokoh utamanya ditangkap oleh Pasukan Salib di Suriah dan kemudian di dalam Gulistan, ketika di India dia membunuh pendeta kuil. Dari kisah-kisah yang disampaikan dalam kedua karyanya tersebut, para sejarawan mengambil kesimpulan bahwa Sa’di telah mengembara sejauh ke Irak, Suriah, Palestina, dan Jazirah Arab, tetapi tidak mungkin bahwa dia pernah melakukan perjalanan ke timur ke Khorasan, India, atau Kashgar.[1]

Ketika Saʿdi kembali ke kota kelahirannya Shiraz sekitar tahun 1256 atau 1257 setelah sekitar 30 tahun pengembaraannya, dia telah menjadi penyair yang terkenal dan sangat dihormati, ketenarannya didapatkan karena ghazal-ghazal-nya (puisi atau rima) telah menyebar luas. Saat itu Shiraz berada dalam kondisi yang relatif tenang di bawah kepemimpinan Atabak Abubakr Saad bin Zangi (1231-1260). Tidak hanya disambut oleh rakyat, tetapi dia juga sangat dihormati oleh penguasa setempat, dan dengan segera dia disejajarkan dengan tokoh-tokoh besar di kota ini. Sebagai tanggapan, Sa’di menyusun beberapa tulisan yang berisi pujian-pujian yang paling menyenangkan sebagai tanda terima kasih kepada penguasa, yang kelak akan dia masukan ke dalam bait-bait awal dalam Bustan.

Pada tahun 1257, Sa’di mencurahkan bakatnya dalam puisi dan sastra ke dalam sebuah karya yang berjudul Bustan, sebuah mahakarya yang mengandung hikmah-hikmah yang mendalam. Di dalamnya terdapat sepuluh bagian syair, masing-masingnya mengandung tesis tentang kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, pemerintahan, kebaikan, cinta dan mistik yang membumi, pengasingan, kepuasan, dan kerendahan hati. Didedikasikan untuk Abubakr Zangi, selama berabad-abad kemudian banyak dari bait-baitnya yang menjadi pepatah populer, sebuah indikasi yang menunjukkan tingkatannya yang  berkelas  bagi masyarakat.

Kurang dari setahun, pada tahun 1258 Sa’di telah selesai menuliskan satu jilid lain yang dia beri judul Gulistan. Masih didekasikan untuk Saad bin Zangi, Gulistan dibuat untuk disampaikan kepada generasi-generasi berikutnya, yang isinya merupakan esensi dari khotbah Sa’di. Gulistan terdiri dari delapan siklus prosa berirama yang diselingi dengan puisi. Tema-tema yang dibahas meliputi tata krama para raja, moral para darwis, preferensi tentang kepuasan, keuntungan dari berdiam diri, serta tentang pemuda, usia tua, dan sejenisnya.[2] Berikut ini,  beberapa bait dalam Gulistan yang diterjemahkan oleh Iraj Bashiri, seorang Professor Sejarah di Universitas Minnesota, yang menggambarkan sikap Sa’di terhadap kekayaan dan otoritas vis-a-vis kebebasan dan kenikmatan hidup yang tenang:

“Aku tidak menaiki seekor kuda, ataupun sejenis unta (untuk) membawa beban,

Aku tidak memiliki persoalan-persoalan, ataupun mengikuti aturan sultan;

Aku khawatir bukan karena apa yang ada, atau khawatir atas apa yang hilang,

Aku bernafas dengan sangat mudah, dan hidup dengan biaya yang sangat sedikit.”[3]

Salah satu miniatur dalam Gulistan yang menggambarkan percakapan Sa’di dengan sahabatnya di taman bunga. Sekarang koleksi milik Chester Beatty Library, Dublin.

Gulistan ditulis dengan gaya yang melodius dengan pembahasan yang dominan tentang cinta. Dalam prosa-prosa maupun puisi di dalamnya, mengungkapkan emosi sejati si penulis. Lebih jauh lagi, isinya sangat kaya akan penggunaan metafora yang efektif yang menampilkan mistik cinta dalam sudut pandang cinta yang membumi, dan penuh dengan cibiran terhadap otoritas keulamaan dan kekuasaan. Gulistan pertama kalinya diterjemahkan ke dalam bahasa Barat dari bahasa Persia oleh Rahatsek di Banares pada tahun 1888.

Karya-karya Sa’di yang berhasil dikumpulkan mencakup 65 syair di mana 20 di antaranya ditulis dalam bahasa Arab. Syair-syairnya didedikasikan untuk beragam tema seperti musim semi, Shiraz, soal-soal pendidikan, dan agama. Di antara seluruh karyanya, hanya 20 syair yang dikhususkan untuk menasihati para penguasa atau memuji mereka. Sa’di juga menulis 200 sajak empat baris, 7 syair ratapan, dan 737 soneta.[4] (PH)

Bersambung ke:

Sa’di Shirazi (3): Seorang yang Merdeka

Sebelumnya:

Sa’di Shirazi (1): Sang Sufi, Pengembara, dan Penyair

Catatan Kaki:

[1] Paul Losensky, “Saʿdi”, dari laman http://www.iranicaonline.org/articles/sadi-sirazi, diakses 25 Agustus 2018.

[2] Iraj Bashiri, Shaikh Muslih al-Din Sa’di Shirazi (Bashiri: University of Minnesota, 2003), hlm 5-6.

[3] Sa’di, Gulistan Sa’di (Ditulis tahun 1258), hlm 41-42, e-book dapat diunduh dari: https://archive.org/details/GulistanSaadiShirziPersianTextEnglishTranslation.

[4] Iraj Bashiri, Ibid., hlm 6.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*