Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).”
Abdul Muthalib bersyukur kepada Allah karena telah mengaruniakan kepadanya seorang bayi laki-laki sebagai ganti atas putranya yang telah wafat, Abdullah. Sebagai pemuka Quraisy dan pemimpin Makkah, dia kini menumpahkan semua kasih sayangnya kepada cucunya yang baru lahir itu.
Pada hari ketujuh setelah kelahiran, Abdul Muthalib menyelenggarakan perayaan akikah sekaligus penabalan nama. Seekor kambing disembelih sebagai ungkapan syukur kepada Allah Swt atas kelahiran bayi yatim itu. Orang-orang Quraisy diundang dalam perayaan makan besar di pelataran Kabah.
Abdul Muthalib mengangkat cucunya ke hadapan khalayak sambil berseru, “Muhammad.” Begitulah kakek terpandang itu menamakan cucunya. Nama yang kurang populer alias tidak lazim di telinga orang-orang Arab.[1]
Umumnya anak-anak Arab kala itu diberi nama sesuai leluhur mereka seperti Abdul Uzza, Abd Syam, Harb, Shakr, dan semacamnya. Tapi, untuk bayi mendiang anaknya, Abdullah, Abdul Muthalib memberinya nama yang berbeda. “Saya berharap dia terpuji berkali-kali di langit dan di bumi,” ujar sang kakek, ketika ditanya mengapa dia memberi nama “Muhammad”.[2]
Lalu di tengah meriahnya perayaan akikah, para pembaca syair mulai membacakan qasidah tentang kelahiran anak yatim abadi itu:
Denganmu Allah memberi kabar gembira kepada langit sehingga dia berhias
Dan denganmu bumi bermandikan minyak misik
Hari, yang paginya dan sorenya terus meliputi waktu
Karena kelahiran Muhammad yang bercahaya[3]
Abdul Muthalib menyadari bahwa terjadinya sejumlah peristiwa-peristiwa besar pada waktu dan di sekitar tempat kelahiran sang cucu nantinya akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Makkah.[4]
Makkah adalah sebuah kota terbuka, yang lalu lintas ekonomi dan budayanya sangat luas, yang terhubung dengan berbagai wilayah di Timur Dekat (Near East) dan Mediterania Timur.[5] Penduduknya sangat sibuk dengan dua aktivitas utama: perdagangan dan keagamaan.[6] Hingga akhirnya menjadi objek sasaran ekspansi ambisius Abrahah.
Abdul Muthalib bersyukur setelah “Allah menghancurkan para penyerang dan menyelamatkan Kabah dari serangan mereka.”[7] Sehingga, peran ganda suku Quraisy kembali berjalan seperti sedia kala, baik sebagai pelayan atau penjaga ritual keagamaan Makkah maupun sebagai pedagang profesional bertaraf internasional. Sang kakek menyimpan keyakinan, bahwa takluknya pasukan gajah bagian dari rahasia ilahi dan tanda-tanda luar biasa dari kelahiran cucunya.
Dia menyambut kedatangan Muhammad dengan gembira dan penuh suka cita. Seorang anak lelaki yang bakal mengubah dunia, yang telah disampaikan Nabi Isa AS sebagai kabar gembira kepada Bani Israil:
“Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’.” (QS As-Shaff: 6)
Dalam tradisi Bangsa Arab, adalah hal yang lumrah bila seseorang memiliki dua nama atau julukan. Alquran menyebut dua nama ini, yakni Muhammad, dan Ahmad, sebuah nama yang lebih dikenal dalam Injil dan Taurat.
Dalam QS Ali Imran ayat 138, Muhammad ayat 2, Al-Fath ayat 29, dan Al-Ahzab 40, beliau disebut dengan Muhammad, sedangkan dalam QS As-Shaff ayat 6, beliau disebut Ahmad.[8] Di dalam catatan sejarah juga disebutkan bahwa Ibunda Nabi memberi nama Ahmad sebelum akhirnya kakeknya menamainya Muhammad.[9]
Allah Swt mengutus Muhammad bin Abdullah pada suatu masa dalam rentang waktu yang cukup lama setelah absennya kerasulan di muka bumi. Kira-kira selama 620 tahun setelah Nabi Isa AS. Pada saat yang sama, menjelang kelahirannya, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi Makkah yang pesat justru berujung pada penyimpangan dari ajaran Ibrahim dan Ismail AS yang murni.
Selain adanya penyimpangan atas agama samawi yang hanif, di Makkah juga tersebar takhayul dan kepercayaan ilusif atas nama agama, yang disalahgunakan sebagai alat untuk mendominasi harta atas manusia.[10]
Akhirnya, tugas dan misi terpenting dari hadirnya seorang Nabi di bumi Makkah adalah untuk memerangi takhayul, ilusi, dan distorsi atas agama samawi yang hanif serta menjelaskan kebenaran universal kepada seluruh umat manusia. Atau dengan kata lain, perlawanan total ajaran monoteisme samawi atas politeisme.
Hal ini persis seperti yang digambarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898), tokoh modernis Islam dari benua India, yang menuliskan syair tentang hari kelahiran (Maulid) Muhammad:
Padamlah kuil api,
Rubuhlah kuil berhala,
Tamatlah dualisme,
Sirnalah Trinitas![11] (SN)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW, Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Darul Haq, 2018), hal 65.
[2] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 203.
[3] Lihat Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Sayidah Aminah, Ibunda Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2004), hal 201.
[4] Peristiwa Gajah dianggap sebagai mukjizat pertama yang meramalkan keagungan dan peranan Muhammad Saw di Makkah dan ke seluruh masyarakat dunia. Lihat Annemarie Schmmel, Dan Muhammad adalah Utusan Allah, (Mizan, 2001) hal 23.
[5] Lihat Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman, Asal Usul Islam, (Gramedia, 2015), hal 3.
[6] Ibid, hal 4.
[7] Lihat Kamal As-Sayyid, The Greatest Stories of Al-Quran, (Zahra, 2015), hal 296.
[8] Lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2009, cetakan kedelapan), hal 102.
[9] Ibid.
[10] Lihat Muhammad Rey Syahri, Citra Ahlul Bait Nabi: Penjelasan Ayat dan Riwayat, (Nur Al-Huda, 2015), hal 79.
[11] Annemarie Schmmel, Op.Cit, hal 217.