Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW (13): Masa Kecil di Desa Bani Saad

in Sejarah

Last updated on May 1st, 2020 02:26 pm

Saat Muhammad kecil tiba, di desa tersebut sedang mengalami kemarau panjang, tapi susu domba-domba mereka menjadi penuh sehingga lebih dari yang mereka perlukan.

Foto ilustrasi: Terry Walter/Pinterest

Empat bulan setelah kelahiran Nabi, musim semi telah tiba. Sejumlah ibu-ibu penyusu dari luar kota ramai-ramai mengunjungi Makkah. Termasuk perempuan penyusu dari Bani Saad, yang wilayahnya terletak di timur laut Mekah, tepatnya di perbukitan selatan Thaif. Tahun itu merupakan periode paceklik yang parah bagi Bani Saad bin Bakar.[1]

Pedalaman Bani Saad sedang mengalami musim kemarau berkepanjangan sehingga menyebabkan kekeringan ladang pertanian dan peternakan. Sehingga mereka pergi ke Makkah untuk meminta pertolongan kepada kalangan aristokrat. 

Keluarga bangsawan Makkah, umumnya mempercayakan pengasuhan anak kepada perempuan penyusu yang tinggal di luar kota.[2] Harapannya, jika anak-anak dibesarkan di udara gurun yang segar bisa tumbuh sehat dan kuat. Selain menghindari wabah dan penyakit di kota, mereka juga dapat belajar bahasa Arab di kawasan yang masih asli tersebut.

Sebelumnya, Aminah mampu menyusui bayinya selama tiga hari. Namun, karena kesedihan atas kepergian suaminya masih belum lama, produksi air susu ibu Aminah turun drastis hingga akhirnya kering.[3]

Setelah itu, Tsuwaibah seorang budak Abu Lahab, ipar Aminah, yang menyusui Muhammad kecil selama beberapa waktu.[4] Hingga akhirnya dia bertemu dengan Harb bin Abdul Uzza dan isterinya Halimah as-Sadiyah, yang menjadi bagian dari rombongan yang mengunjungi Makkah ketika itu.

Halimah adalah putri Abi Zuwaib dari suku Saad bin Hawazan. Suku ini terkenal di Makkah karena terbiasa merawat dan membesarkan anak-anak. Saat Halimah datang ke keluarga Abdul Muthalib, bayi mungil Muhammad ternyata berkenan untuk menyusu kepadanya.

“Ketika aku meletakkannya ke atas pangkuanku, aku merasakan bahwa payudaraku penuh dengan susu. Dia menyusu sampai kenyang, dan begitu pula dengan anakku yang merupakan saudaranya. Keduanya segera tidur setelah itu, padahal kami tidak cukup tidur sebelumnya,” ujar Halimah.[5]

Namun, keluarga Harb bin Abdul Uzza masih bimbang. Keluarga ini sebenarnya menghindari anak yatim, karena minimnya imbalan material yang bakal mereka terima di tengah situasi paceklik yang berat.[6] Apa daya, Halimah gagal memperoleh bayi lain. “Aku segan pulang tanpa bayi seperti teman-temanku. Anak yatim itu baiknya kubawa pulang saja,” ujarnya kepada suaminya.[7]

Akhirnya kebimbangan Halimah dan suaminya itu sirna, ketika mereka mengetahui bahwa anak yatim itu berasal dari keluarga terpandang (Bani Hasyim). Selain itu, kakek bayi itu, Abdul Muthalib, juga dikenal sebagai pemimpin Makkah yang dermawan.

Halimah berkata, “Aku disambut oleh Abdul Muthalib, lalu dia berkata kepadaku, ‘Siapa engkau?’ Aku menjawab, ‘Aku seorang perempuan dari Bani Saad’. Abdul Muthalib bertanya, ‘Siapa namamu?’ Aku menjawab, ‘Halimah’. Kemudian dia tersenyum sambil berkata, ‘Selamat-selamat; kebahagiaan dan kelembutan adalah dua sifat yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kemuliaan abadi.’.”[8]

Berat rasanya bagi Aminah untuk melepas bayi Muhammad. Pada akhirnya Halimah membawa pulang bayi itu. Kemudian bersama rombongan lainnya berangkat kembali ke lembah pedesaan klan Bani Saad. “Semoga Tuhan memberi ganjaran,” ujar Harb menghibur Halimah.[9]

Keledai tua Halimah yang sebelumnya begitu lemah, kini berjalan sangat cepat hingga mendahului seluruh teman-temannya. “Mereka terkesima dan bertanya kepadaku apakah keledai yang aku tunggangi sama dengan keledai yang pernah aku tunggangi ke Makkah dahulu. Ketika aku benarkan bahwa itu adalah keledai yang sama, maka mereka sangat terkejut.”[10]

Setibanya di perkampungan Bani Saad, suami Halimah keheranan atas perubahan yang terjadi terhadap domba-dombanya. Padahal saat itu di desa tersebut sedang mengalami kemarau panjang, tapi susu domba-domba mereka penuh sehingga lebih dari yang mereka perlukan. Demikianlah, keluarga ini terus memperoleh berkah ilahiah hingga Muhammad tumbuh sehat dan kuat di daerah gurun. Tak disangka, kondisi ekonomi keluarga Harb membaik dan bertambah makmur.[11]

Muhammad beranjak tumbuh sehat dalam penyusuan Halimah. Bayi itu tidak rewel atau berteriak, dan jarang menangis, dan pada usia sembilan bulan sudah bisa berbicara dengan fasih.[12] Halimah berkata, “Jika di malam hari, dia gelisah, aku membawanya keluar kemah dan dia pun tenang kembali setelah memandang bintang-bintang di langit, lalu tak lama kemudian dia menutup matanya tertidur nyenyak.”[13]

Begitulah, masa kecil Muhammad tinggal di perkampungan Kabilah Bani Saad hingga berusia lima tahun.

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, (Robbani Press, 1999), hal 32.

[2] Lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah: Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2009, cetakan kedelapan), hal 103.

[3] Lihat Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Sayidah Aminah, Ibunda Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2004), hal 206.

[4] Lihat Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW, Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Darul Haq, 2018), hal 65.

[5] Lihat Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid I, (Darul Falah, 2000), terjemahan Fadhli Bahri, hal 133.

[6] Lihat Fuad Hashem, Sirah Muhammad Rasulullah, (Mizan, 1989), hal 84.

[7] Ibid.

[8] Lihat Sayid Mundzir al-Hakim, Muhammad Rasulullah Saw Sang Adiinsan,  (Al-Huda, 2009), hal 78-79.

[9] Fuad Hashem, Op.Cit, hal 85.

[10] Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam Jilid I, Op.Cit, hal 133-134.

[11] Ibid.

[12] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 217.

[13] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*