Jika dikonversi ke Rupiah, sekali berangkat, karavan dagang Quraisy dapat membawa barang-barang senilai Rp 175 miliar. Orang Makkah, karena kaya, bahkan dapat minum dari gelas emas.
Sejak kaum Quraisy mengatur dua kali perjalanan dagang dalam setahun, ke Yaman dan Suriah, maka penduduk Makkah menjadi sangat sibuk dengan dua aktivitas: ekonomi dan keagamaan. Kota Makkah pengaruhnya mulai mengalahkan kota besar lainnya, seperti Sanaa di Yaman dan bagian utara Suriah, yang telah tunduk pada kekuasaan Romawi ataupun Persia. Para pedagang Quraisy berpartisipasi aktif dalam perdagangan internasional, bepergian dengan karavan besar ke Mesir, Suriah, Irak, Yaman, dan Abyssinia (Ethiopia).[1]
Disamping itu, sejumlah bazar-bazar musiman dan Pasar Ukaz di dekat kota Makkah, sepanjang tahun terus melakukan transaksi perdagangan. Bahkan beberapa sumber sejarah menyebutkan Pasar Ukaz adalah pusat komoditi barang-barang mahal dari Afrika Timur, India, dan Yaman, seperti barang-barang dari gading gajah, logam mulia dari hasil tambang, budak-budak, beragam jenis rempah-rempah, dan makanan pokok.[2]
Pendekatan inovatif Hasyim dalam bisnis, telah mentransformasikan pengalaman panjang suku Quraisy dalam organisasi karavan dan manajemen usaha bersama yang membentuk jaringan di sepanjang Jazirah Arab. Hasyim telah menginisiasi skema partisipasi modal bersama antar-pedagang Makkah.[3]
Dengan skema kemitraan (saham) memungkinkan banyak pedagang untuk menyatukan modal mereka dan membentuk satu karavan besar yang menyediakan keamanan bagi investor kecil dan memobilisasi modal pedagang Makkah di jalur perdagangan Asia Barat.
Ditambah lagi, kesepakatan antara suku Quraisy dan kepala suku yang tinggal di sepanjang rute perdagangan yang berasal dari Makkah. Sebagai imbalan untuk perjalanan yang aman dan perlindungan bersenjata, Quraisy berjanji untuk membawa dan menjual produk sukunya seperti kulit, ternak, dan logam yang ditambang di pegunungan setempat di pasar yang mereka kunjungi.[4]
Pemimpin kafilah dagang kemudian akan mengembalikan investasi dan keuntungan kepada pemimpin suku itu. Hasil penting dari perjanjian ini adalah terjadinya integrasi ekonomi suku yang meningkatkan pengaruh dan prestise kaum Quraisy di antara suku-suku di Semenanjung Arabia.
Sebagai contoh ilustrasi, lihatlah besarnya rombongan kafilah dagang Makkah yang pernah dicegat oleh kaum Muslim Madinah, tak lama setelah Nabi menetap disana, yang memicu terjadinya Perang Badar (16 Maret 624).
Disebutkan dalam catatan sejarah, kafilah itu terdiri dari sekitar 1.000 ekor unta yang penuh muatan, dengan nilai barang dagangan sebesar 50.000 dinar, serta sekitar 300 orang yang ikut pada misi dagang tersebut.[5] Jika 1 dinar emas Bizantium, setara dengan 4,55 gram[6], maka 50.000 dinar (dengan konversi 1 gram emas Rp 769.000)[7], maka nilai barang dagangan karavan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp 175 miliar.
Karakteristik penting lain dari kegiatan ekonomi Makkah ini adalah kehadiran sektor layanan pendukung dalam pemeliharaan karavan perdagangan: portir, pemandu, pengendara unta, gembala, pelayan, dan penghibur. Dan, yang terpenting adalah penjaga atau pengawal keamanan.
Suku Kinanah yang tinggal di dekat Makkah, misalnya, menjadi sekutu utama suku Quraisy dalam pengawalan ini. Merekalah yang bertugas menjaga keamanan rombongan kafilah Makkah. Saudagar Quraisy memberi upah atau gaji tertentu kepada mereka, dan para pemimpin mereka ikut memiliki andil dalam usaha perdagangan mereka.[8]
Rombongan karavan dagang besar ini telah memberikan banyak penghasilan kepada penduduk Makkah. Perkembangan perdagangan itu memastikan banyak orang di kota Makkah senantiasa hidup dalam kemakmuran. Biasanya, dengan kekayaan akan mendatangkan gaya hidup perlente. Mereka memiliki rumah-rumah mewah dan hidup yang bermegah-megah.
Seperti halnya Abdullah bin Jadan al-Timi, yang konon minum dari gelas yang terbuat dari emas.[9] Kekayaan yang dinikmati sejumlah elit Makkah menciptakan suatu pola hidup masyarakat yang menjadikan mereka lebih banyak meluangkan waktu untuk menikmati syair dan puisi.[10]
Dinamika pedagang Makkah mulai mempengaruhi struktur sosial ketika serangkaian hubungan sosial yang lebih kompleks berdasarkan kepemilikan modal pedagang mulai muncul. Pedagang kaya, secara bertahap membentuk kelompok dengan kepentingan bersama sebagai pemilik modal, akhirnya membentuk strata teratas masyarakat. Status sosial terendah adalah budak dan keturunan mereka, baik yang berasal dari Arab maupun non-Arab. Akhirnya, secara sosial masyarakat Makkah terpolarisasi menjadi kaya dan miskin.[11]
Kendati demikian, berbeda dengan sejumlah taipan yang berupaya memonopoli aktivitas perdagangan di Makkah, klan Hasyim dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan cenderung pada perdamaian.[12] Dikisahkan ketika satu keluarga Bani Makhzum mengalami kesulitan pangan, Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW, menyampaikan kepada suku Quraisy untuk bergotong-royong saling membantu. Yang belakangan melahirkan konsep kerjasama kemitraan dagang, di mana keuntungan dari perjalanan dagang dibagi rata antara si kaya dan miskin.[13]
Secara umum, anak-anak Abdul Muthalib, kakek Nabi Muhammad SAW, tidak kaya raya seperti halnya para taipan Makkah dan tokok-tokoh tenar Quraisy lainnya. Namun, mereka hidup berkecukupan (kelas menengah), kaya hati, serta menjadikan Qushay dan Hasyim sebagai teladan.[14]
Seperti yang lainnya, Abdullah (Ayah Rasulullah SAW) juga keluar dari Makkah untuk memimpin kafilah dagang. Dalam perjalanan pulang dari Gaza menuju Makkah, Abdullah menderita sakit di Madinah hingga akhirnya menghebuskan nafas terakhirnya di sana. Ayah Nabi meninggal dunia tanpa meninggalkan harta yang berlimpah kepada keluarganya.[15] Tapi, dari generasi ke generasi klan Bani Hasyim menjadi pemimpin dan tokoh yang dihormati di tengah-tengah kaumnya. (SN)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lihat Fred M. Donner, Muhammad dan Umat Beriman, Asal Usul Islam, (Gramedia, 2015), hal 41.
[2] Ibid.
[3] Lihat Mahmood Ibrahim, Social Economic Condition in Pre-Islamic Mecca, (International Journal of Middle East Studies, Vol. 14, No. 3, August 1982, Cambridge University Press), hal 345.
[4] Ibid, hal 344.
[5] Philip K Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Serambi, 2006), hal 130.
[6] Menurut Quraish Shihab, masyarakat Arab sebelum Islam telah menggunakan dua jenis mata uang asing, yakni dinar dan dirham. Satu Dinar Byzantium seberat 4,55 gram, sedangkan dirham adalah tujuh per sepuluh dinar. Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 65.
[7] https://market.bisnis.com/read/20200122/235/1192723/harga-emas-24-karat-antam-hari-ini-22-januari-2020 diakses pada 26 Januari 2020.
[8] Lihat Akram Dhiya’ Al-Umuri, Seleksi Sirah Nabawiyah, Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif, (Darul Falah, 2004), hal 51.
[9] Quraish Shihab, Op.Cit, hal 68.
[10] Ibid.
[11] Mahmood Ibrahim, Op.Cit, hal 346.
[12] Quraish Shihab, Op.Cit, hal 61
[13] Ibid.
[14] Lihat Jawwad Ali, Sejarah Arab Sebelum Islam–Buku 4: Kondisi Sosial – Budaya, (Alvabet, 2019), hal 60.
[15] Ibid, hal61.