Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW (6): Keimanan Leluhur Nabi Suci

in Sejarah

Last updated on February 20th, 2020 10:05 am

Rasulullah SAW bersabda, “Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi laki-laki yang suci dan ke dalam rahim-rahim wanita yang suci pula.”

Foto ilustrasi: Lukisan karya Jean Leon Gerome. Sumber: canvasartdealer.com

Ekonomi Makkah yang terus tumbuh, ternyata membawa implikasi lain berupa nilai-nilai moral dan agama pada titik terendah. Penyimpangan dari keimanan Ibrahim dan Ismail yang murni telah mulai marak terjadi jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW.  Kemakmuran masyarakat seakan memanjakan semua jenis sifat buruk seperti pemujaan berhala, perjudian, riba, pembunuhan, pesta miras, dan segala jenis hiburan lainnya menjadi sebuah kelaziman.

Yang terparah tentu saja, perubahan ajaran monoteistik Ibrahim dan Ismail menjadi politeistik, yang menyembah berhala dengan cara terburuk. Kendati ibadah haji ke Kabah tetap dilakukan semenjak Ibrahim mendeklarasikannya, namun angin perubahan telah merangkak masuk kedalam kepercayaan religius mereka sehingga menjadi kaum pagan. Dalam catatan sejarah, sedikitnya ada 360 berhala di sekitar Kabah. Disamping terdapat juga lukisan Maria dan Yesus di dinding Kabah.[1]

Para peziarah yang berhaji ke Makkah mulai mengambil batu-batu di sekitar Kabah dan membawa pulang sebagai bahan untuk membangun Kabah serupa di daerah asalnya. Sehingga, Kabah tiruan menjamur di seantero Jazirah Arab.[2]  Berhala ada dimana-mana dan di setiap suku. Setiap keluarga mempunyai berhala milik mereka sendiri. Yang paling terkenal dari semua berhala adalah Hubal, al-Lat dan al-Uzza yang dianggap sebagai ketua dari semua berhala-berhalanya bangsa Arab.

Mengenai siapa yang mulai meletakkan berhala berhala di Kabah dan sekitarnya, syair-syair lama menunjukkan kepada Amru bin Luhayyi bin Qamah, nenek moyang Bani Khuzaah.[3] Dia dikabarkan membeli berhala-berhala itu dari Suriah ketika singgah di sekitar lembah Musa di Yordania sekarang. Amru membawanya ke Makkah, memasangnya, dan mengajak orang-orang untuk menyembah dan memuliakannya.

Amru sadar bahwa ajaran Nabi Ibrahim telah memudar di tengah masyarakat, sehingga dia melakukan itu untuk memperkuat posisinya sebagai pembaharu di kalangan elit Makkah.[4] Langkah Amru bukan tanpa perlawanan. Diantara Syair yang mencela Amru bin Luay, yang tercatat dalam sejarah adalah: “Hai Amru, kaulah pelopor pengada dewa-dewa/Menebarkan patung sekitar Kabah/Sedang Pemilik Kabah selalu yang Esa/Dan engkau mengubah Kabah jadi milik berhala”[5].  

Syair itu menjadi bukti kuat, bahwa terdapat sejumlah orang di sekitar Kabah yang masih mengikuti millah Nabi Ibrahim dan Ismail, yang dikenal sebagai kelompok hanifiah.[6] Mereka memuliakan Kabah, melakukan haji dan umroh, berdiri di Arafah dan Muzdalifah, dan berkorban.  Kelompok hanif[7] ini hanya menyembah Allah Yang Esa dan juga percaya akan akhirat, hari kebangkitan, dan pengadilan sesudah mati. Seperti Umayyah bin Abi Shart, dikenal sebagai penyair dari kalangan hanif, seperti pernah dikatakan Nabi bahwa “syarinya sudah Islam.”[8]  

Bani Hasyim termasuk pula sebagai pengikut agama yang hanif. Bahkan, nenek moyang Nabi dari Abdullah hingga Qidar bin Ismail, dan dari sana hingga Adam, adalah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka percaya pada Tuhan yang Esa dan setia mengikuti  syariat Nabi Ibrahim AS.

Abdul Muthalib misalnya, sebagai pemimpin Quraisy dan pengelola Kabah, tidak pernah menyembah berhala, kendati di Rumah Allah itu ratusan berhala berdiri selama beberapa generasi.[9] Abdul Muthalib adalah pemersatu dan personifikasi penjaga tradisi leluhur suku-suku Quraisy, termasuk bagi mereka yang menerima keyakinan paganistik itu.

Sejarawan mencatat bahwa kakek pertama Nabi itu, selain tak pernah menodai bibirnya denga khamar, beliau dikenal sebagai pemegang sumpah dan janji; melarang orang melakukan thawaf tanpa busana; melarang orang mengawini yang haram dikawini (muhrim); dan penganut tauhid dan akhirat.[10]

Dia biasa mengatakan kepada kaumnya, “Orang zalim dihukum di dunia ini sendiri. Namun, bila kebetulan dia mati sebelum dihukum sebagaimana mestinya, dia akan mendapatkan hukuman atas perbuatannya di Hari Pengadilan.”[11]  

Putera Hasyim itu juga terkenal dengan sikapnya yang adil. Pernah ada sebuah kisah yang terkait dengan insiden terbunuhnya seorang Yahudi di Makkah. Pembunuhan itu melibatkan Harb bin Umayyah, yang masih keluarga dekat Abdul Muthalib. Pada suatu hari, seorang Yahudi tetangga Harb, berlaku kasar kepadanya di Pasar Tahamah, sehingga terjadi pertengkaran yang berujung membuat terbunuhnya Yahudi itu.

Abdul Muthalib mengetahui peristiwa ini, yang kemudian memutuskan untuk membuat Harb membayar uang tebusan (diyat) Harb untuk ahli waris Yahudi tersebut. Dia menjadi pemimpin Quraisy yang berpihak pada kelompok lemah dan menerapkan hukum dengan tegas dan adil.

Demikianlah silsilah Nabi Muhammad SAW, termasuk sekelompok kecil monoteis yang hadir di Arab yang tidak pernah menyembah berhala, dan pengikut setia millah Nabi Ibrahim yang hanif. Hingga Rasulullah SAW pernah bersabda, “Aku selalu berpindah-pindah dari tulang sulbi laki-laki yang suci dan ke dalam rahim-rahim wanita yang suci pula.” (SN)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat O Hashem, Muhammad Sang Nabi, Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail (Ufuk Press, 2006), hal 21

[2] Ibid, hal 22.

[3] Lihat Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW, (Robbani Press, 1999), hal 22.

[4] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 79.

[5] O Hashem, Op Cit, hal 22.

[6] Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Op.Cit, hal 21.

[7] Lihat QS Surat Ali ‘Imran Ayat 67: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi ia seorang yang berpegang pada agama yang benar (hanif), seorang yang berserah diri (kepada Tuhan). Ia bukan termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan juga QS Surat Ali ‘Imran Ayat 95: Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama (millah) Ibrahim yang benar (hanif), dan bukanlah ia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

[8] O Hashem, Op.Cit, hal 27.

[9] Lihat Martin Lings, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, (Serambi, 2002), hal 30.

[10] Lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah : Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2009, cetakan kedelapan), hal 76.  

[11] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*