Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW (7): Putra Dua Kurban

in Sejarah

Last updated on March 9th, 2020 09:49 am

Abdul Muthalib bernazar, jika dia menemukan Zamzam, maka dia akan mengurbankan satu putranya. Hasil undian kurban jatuh kepada Abdullah, pemuda yang kelak akan menjadi ayah dari Rasulullah.

Foto ilustrasi: Islamprint Dotcom

Setelah suku Khuzaah memulai serangannya, suku Jurhum dan sejumlah besar keturunan Ismail terpaksa meninggalkan Makkah hingga ke Yaman. Sejak saat itu, suku Khuzaah menguasai Makkah selama lima abad hingga Quraisy naik tahta dengan berkuasanya Qushai bin Kilab, kakek keempat Muhammad SAW.

Ketika Abdul Muthalib menjadi Pemimpin di Makkah, dia kembali memutuskan untuk menggali sumur Zamzam, yang sempat ditutup oleh suku Jurhum. Namun, sayang tidak ada informasi pasti mengenai posisi tepat sumur Zamzam tersebut.

Sementara menggali Zamzam, bersama satu-satunya anak lelaki yang dia miliki, Haris, Abdul Muthalib terlihat begitu lemah. Untuk itulah, dia memohon kepada Tuhan agar dikarunia beberapa anak laki-laki lagi. Sambil dia bernazar dalam doanya, bila diberikan sepuluh anak lelaki yang tumbuh hingga dewasa, dia akan mengurbankan satu diantaranya bagi Tuhan di Kabah.

Dengan bantuan putranya, Haris, setelah menggali banyak lubang, akhirnya Abdul Muthalib menemukan lokasi yang tepat dari sumur Zamzam.[1] Abdul Muthalib berseru “Allahu Akbar! Penggalian sumur Zamzam ini adalah pintu masuk kejayaan Jazirah Arabia sekaligus ketenaran Abdul Muthalib sebagai penyedia air minum bagi jemaah haji.[2]

Dalam sumur itu, tersimpan dua patung rusa yang terbuat dari emas, pedang-pedang, dan baju besi. Diperkirakan, suku Jurhum menimbun barang-barang tersebut di dalam sumur Zamzam sebelum melarikan diri ke Yaman.[3]

Setelah penemuan sumur Zamzam bersama barang-barang itu, justru terjadi polemik. Sebagian kalangan elit Quraisy meminta bagian atas temuan barang-barang mewah tersebut. Tapi Abdul Muthalib tidak serta merta menerima tuntutan itu. Dia memilih jalan mengundinya. “Untuk Kabah dua bejana, untuk kalian dua bejana. Bejana siapa yang mendapat barang yang diundi, maka barang itu menjadi miliknya,” ujar Abdul Muthalib.[4]

Adapun dua bejana kuning untuk Kabah, dua bejana hitam untuk dirinya, dan dua bejana putih untuk kaum Quraisy. Mereka setuju, lalu pengundian dilaksanakan. Hasilnya, dua bejana kuning mendapat patung rusa dari emas, dua bejana hitam mendapat pedang dan baju besi, sedangkan bejana putih tidak mendapat apa pun.[5] Akhirnya, dua rusa dari emas disepakati untuk dilebur menjadi hiasan pintu Kabah, dan pedang yang menjadi haknya itu pun dia hibahkan menjadi bahan pintu Kabah.    

Dalam beberapa tahun setelahnya, anak laki-lakinya telah genap sepuluh orang. Doanya terkabul. Hingga akhir hayatnya, Tuhan memberinya bukan hanya sepuluh tetapi dua belas putra, di antaranya lima yang terkenal dalam sejarah Islam: Abdullah (ayah Nabi), Abu Thalib (ayah Ali), Hamzah, Abbas, dan Abu Lahab. Tujuh lainnya adalah: Haris, Zubair, Ghaydaq, al-Muqawwim, Dharar, Qutham, dan Hijl (atau Mughirah). Dia memiliki enam anak perempuan: Atika, Umaima, Baida, Barra, Safiyya, dan Arwi.

Kini tibalah saatnya untuk menunaikan nazar tersebut. Kakek pertama Muhammad SAW itu sebenarnya sangat berat menentukan siapa di antara putranya yang akan dikurbankan. Termasuk di antaranya, yang paling bungsu, Abdullah, yang merupakan anak kesayangan Abdul Muthalib.

Kepada seluruh anaknya dia berujar, “Kini kalian telah genap sepuluh, maka aku berniat menepati janji dan nazarku.”

Secara serentak semua anaknya menjawab, “Tepatilah nazarmu, Ayah!”[6]

Upacara penarikan undian dilakukan. Pada waktu itu orang Arab biasa mengundi dengan kidah[7], sebilah kayu yang dibuat sama bentuk dan panjang, lalu ditulisi “kerjakan” atau “jangan kerjakan”. Setelah anak-anaknya menulis namanya masing-masing pada kidah, hasil undian kurban jatuh pada Abdullah. Suasana menjadi hening dan betapa terkejutnya Abdul Muthalib.

Seperti halnya Ibrahim, Abdul Muthalib tegar dan segera memegang tangan Abdullah menuju tempat pengorbanan. Abdullah menerima dengan patuh keputusan untuk menunaikan nazar sang ayah. Saat Abdul Muthalib hendak mengurbankan Abdullah, usianya baru dua puluh tahun.[8]

Masyarakat Makkah yang mengetahui peristiwa ini menjadi sedih dan sebagiannya bahkan sampai menangis. “Alangkah baiknya kalau aku yang dibunuh sebagai ganti anak muda itu!” Yang lainnya berkata, “Apabila nyawanya dapat ditebus dengan harta, maka kami bersedia menggantikannya dengan seluruh harta kami.”[9]

Menghadapi kondisi tersebut, Abdul Muthalib disarankan untuk mengundi kembali antara Abdullah dengan harga diyah (tebusan atas jiwa yang terbunuh) yang berlaku kala itu. Harga diyah setara dengan sepuluh ekor unta. Pada undian pertama, nama Abdullah masih keluar. Kini jumlah unta naik menjadi 20, nama Abdullah masih muncul.

Setiap kali undian jatuh padanya, jumlah unta bertambah 10 lagi. Hingga undian yang ke-10, barulah hasil undian jatuh pada unta. Di sini akhirnya Abdul Muthalib lega dengan 100 ekor unta sebagai tebusan bagi Abdullah.[10]  Dia langsung menyembelih 100 unta itu dan menjadi rebutan orang-orang dusun sekitar Makkah.[11]

Terhadap peristiwa ini, Nabi pernah berkata: “Aku adalah putra kedua tokoh yang nyaris disembelih (dzabih).” Yakni, Nabi Ismail AS dan ayah beliau, Abdullah. (SN)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah : Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2009, cetakan kedelapan), hal 77.

[2] Lihat Ali Husni Al-Kharbuthli, Sejarah Ka’bah, (Pustaka Turos, 2015), hal 123.

[3] Ibid, hal 135.

[4] Ibid, hal 136.

[5] Ibid.

[6] Lihat Abdul Hamid Judah As-Sahhar, Sejarah Nabi Muhammad 1-12 Periode Makkah, (Mizan, 2000), hal 53-54.

[7] Ibid.

[8] Ja’far Subhani, Op. CIt, hal 94.

[9] Ja’far Subhani, Op.Cit, hal 79.

[10] Sejak itu harga diyah  setara dengan 100 unta, yang kemudian dilegitimasi Islam. Lihat Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW, Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Darul Haq, 2018), hal 62.

[11] Lihat Said Muhammad Bakdasy, Sejarah Zamzam, (Turos Pustaka, 2017), hal 20.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*