Mozaik Peradaban Islam

Sejarah Hidup Nabi Muhammad SAW (8): Peristiwa Penting di Tahun Gajah (1)

in Sejarah

Last updated on March 14th, 2020 10:25 am

Aminah, bunga Quraisy kebanggaan Bani Zuhrah yang paling tinggi nasab dan kemuliaannya, mendapatkan lamaran. Ayahnya berkata, “Pemimpin Bani Hasyim telah datang meminangmu menjadi isteri anaknya, Abdullah.”

Foto ilustrasi: Hikari Design & Art. Sumber: abrittonphotography.com

Setelah lepas dari altar pengorbanan, Abdullah bin Abdul Muthalib seperti dilahirkan kembali. Ayahnya, Abdul Muthalib, memutuskan untuk segera menikahkan putra bungsu kesayangannya itu. Abdul Muthalib mengajak Abdullah ke rumah Wahab bin Abdul Manaf bin Zuhrah, pemimpin suku Bani Zuhrah. Dia menawarkan Abdullah untuk dinikahkan dengan putri Wahab, Aminah, yang terkenal akan kesucian dan kesederhanaannya.[1]

Aminah termasuk bunga Quraisy kebanggaan Bani Zuhrah yang paling tinggi nasab dan kemuliaannya.[2] Sejak masa kanak-kanak dan remaja Aminah telah mengenal Abdullah, karena masih saudara sepupu.[3] Leluhur keduanya terhubung melalui dua saudara kandung, yakni Qushay dan Zuhra, yang keduanya merupakan putra Kilab bin Murah.[4]

Masa kecil Abdullah dan Aminah diwarnai dengan permainan bersama di antara bukit-bukit Makkah dan sekitar serambi masjidil Haram yang aman. Perumahan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah memang saling berdampingan ke arah pintu Kabah.[5] Sehingga, praktis keduanya telah saling kenal satu sama lain. Hingga akhirnya Aminah dipingit ketika mulai tampak tanda-tanda kedewasaannya.[6]

Untuk menjawab pinangan itu, Wahab pergi menemui Aminah. Dia berkata kepada putrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang, “Pemimpin Bani Hasyim telah datang meminangmu menjadi isteri anaknya, Abdullah.”[7]

Aminah menerima lamaran itu dan beberapa hari kemudian pernikahan dilangsungkan, sekitar 570 M atau diperkirakan setahun sebelum Tahun Gajah.[8] Sejarah menyebutkan bahwa pada hari yang sama, Abdul Muthalib sendiri menikah dengan Halah binti Wahib, sepupu Aminah, yang kemudian melahirkan Hamzah, paman sekaligus kawan sepermainan Nabi.[9]

Sesuai dengan adat yang berlaku di tengah suku Quraisy, umumnya perkawinan dilangsungkan di rumah mempelai perempuan. Lalu pengantin pria menginap di rumah pengantin perempuan selama tiga hari.[10] Setelah itu baru Aminah diboyong ke rumah Abdullah.

Abdullah bersama istrinya tinggal dalam rumah sederhana. Setelah dua bulan hidup bersama, seperti banyak pengusaha Makkah lainnya, Abdullah biasa pergi dengan karavan dagang ke Suriah. Aminah pun ditinggal suaminya berdagang dalam kondisi hamil muda. Untuk mengatasi kesedihan Aminah yang ditinggal suaminya berdagang, Abdul Muthalib kerap meminta Halah, untuk sering-sering mengunjungi menantunya tersebut.[11] Agar Aminah tak lagi kesepian dan bersedih.

Aminah tidak pernah merasakan beban berat karena kehamilannya. Hingga tibalah kepulangan rombongan kafilah dagang Makkah dari Suriah. Peristiwa Kepulangan karavan dagang ini terjadi sekitar 23 Maret 571 M.[12] Masyarakat Makkah tumpah ruah ke jalan-jalan. Perempuan dan anak-anak menghampiri suami-suami mereka yang membawa buah tangan berbagai jenis buah-buahan, makanan, pakaian, perhiasan, dan segala jenis keperluan sehari-hari.

Tak terkecuali Aminah binti Wahab, yang sedang diliputi suasana kerinduan menunggu kepulangan suami tercinta, Perempuan yang sedang hamil itu pun sibuk mencari-cari suaminya, Abdullah bin Abdul Muthalib. Sayang, perempuan muda nan rupawan, berumur 18 tahun, ini tak menemukan suaminya. Aminah diberitahu bahwa suaminya, menderita sakit di tengah perjalanan ketika kembali menuju Makkah. Sehingga terpaksa berhenti di Madinah untuk mendapatkan pengobatan.[13]

Sang mertua, Abdul Muthalib, mengirim Haris bin Abdul Muthalib, untuk melihat kondisi Abdullah di Madinah, sekitar 497 km sebelah utara Makkah dan harus ditempuh kafilah selama sepuluh hari.[14] Namun, Haris justru pulang dengan kabar duka. Abdullah yang dinanti-nanti ternyata meninggal dan dikebumikian di daerah oase penghasil kurma dan gandum itu.

Berita kematian itu pukulan berat bagi Abdul Muthalib. Putera yang demikian dicintai dan dihormatinya. Bisa dibayangkan betapa berat kedukaan sang Ayah, demikian pula dengan menantunya, Aminah. Berita itu dia dengar ketika sedang menunggu kelahiran bayi pertama mereka. Aminah meratapi kepergian suami tercinta dengan bait syair yang demikian menyentuh kalbu:

Seorang cucu Hasyim tiba membawa kebaikan di dekat Bathha

Keluar mendampingi lahad tanpa suara yang jelas

Rupanya kematian mengundangnya lantas disambutnya

Ia (kematian) tak pernah mendapatkan orang semisal cucu Hasyim.[15]

Abdullah hanya meninggalkan lima ekor unta, beberapa ekor kambing, dan seorang budak perempuan dari Habasyah yang bernama Barakah, atau yang biasa dipanggil Ummu Aiman. Aminah menghabiskan masa kehamilannya dengan kesedihan. Hanya penantian akan kelahiran putranya yang menghiburnya. Putra yang kelak akan mengubah dunia dengan cahaya Islam. (SN)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat Ja’far Subhani, Ar-Risalah : Sejarah Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2009, cetakan kedelapan), hal 95.

[2] Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Sayidah Aminah, Ibunda Nabi Muhammad SAW, (Lentera, 2004), hal 117.

[3] Ibid, hal 118.

[4] Ibid, hal 119.

[5] Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (Lentera Hati, 2018), hal 180.

[6] Aisyah Abdurrahman binti Syathi’, Op.Cit, hal 119.

[7] Ibid, hal 136.

[8] Lihat kembali edisi Gana Islamika https://ganaislamika.com/abdul-muthalib-4-menikahkan-abdullah/.

[9] Ja’far Subhani, Op.Cit, hal 95.

[10] Lihat Ali Husni Al-Kharbuthli, Sejarah Ka’bah, (Pustaka Turos, 2015), hal 186.

[11] Ibid.

[12] Lihat O Hashem, Muhammad Sang Nabi, Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail (Ufuk Press, 2006), hal 57.

[13] Abdullah meninggal dunia dalam usia 25 tahun dan dikebumikan di Dar an-Nabighah al-Ja’di, Madinah. Lihat Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, Perjalanan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW, Dari Kelahiran Hingga Detik-detik Terakhir (Darul Haq, 2018), hal 63.

[14] O Hashem,Op.Cit, hal 58.

[15] Syair di atas dikutip oleh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dari Thabaqat Ibnu Sa’ad 1/100. Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*