Orang itu meludahi wajah Ali yang suci, kebanggaan bagi setiap orang suci dan nabi, yang dalam dan luas: Bahkan bulan pun bersujud di hadapan wajah ini, di mana ia diludahi – ini adalah tindakan yang tercela!
Pengantar
Siapa yang tidak kenal dengan Jalaluddin Rumi, seorang sufi mistik dari abad ke-13. Syair-syair Rumi kini menjadi salah satu karya yang paling banyak dibaca di dunia, syair-syairnya telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa.[1]
Rumi menulis karya-karyanya dalam bahasa Persia, dan mereka begitu banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Haidar Bagir, penulis buku Mereguk Cinta Rumi pernah mengatakan, bahwa di antara karya-karya terjemahan Rumi ke bahasa Inggris tersebut, yang bisa diandalkan penerjemahannya adalah dari Jawid Mojaddedi.[2]
Oleh karena itu, berdasarkan pendapat tersebut, dalam seri artikel kali ini penulis juga akan menggunakan terjemahan karya dari Jawid Mojaddedi.
Pada lain waktu, Haidar Bagir juga pernah melakukan tanya jawab tentang kisah hidup Rumi. Si penanya bertanya, “Apakah Rumi seorang Syiah? Karena di kalangan Sunni khususnya pesantren di Nusantara lebih kenal dengan Ghazali, Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Athaillah, dan sebagainya. Rumi kami kenal dari khazanah sastra atau buku-buku (penerbit) Mizan.”
Haidar menjawab, “Tidak. (Rumi adalah) Sunni. Kemungkinan (pengikut mazhab) Hanafi. Tapi, seperti sufi-sufi lain, sangat memuja Sayidina Ali (bin Abi Thalib), betapa pun tetap memuliakan sahabat lainnya.”[3]
Apa yang dikatakan Haidar tampaknya benar, sebab ketika penulis menengok Masnawi karya Rumi yang diterjemahkan oleh Jawid Mojaddedi, meski ada penggambaran mengenai sahabat-sahabat Nabi lain, khusus tentang Ali bin Abi Thalib ra, Rumi menulis dengan porsi yang lebih banyak.
Berangkat dari sana, maka penulis bermaksud menuliskan seri artikel tentang Ali bin Abi Thalib dari sudut pandang Rumi. Meski demikian, tidak seperti dalam Masnawi yang mana syair-syair tersebut ditulis dalam bentuk deretan bait, sebagai gantinya penulis akan menuliskannya dalam bentuk naratif.
Selain itu, untuk menghindari kekakuan jika diterjemahkan secara literal, penulis akan menyesuaikannya dengan bahasa Indonesia kontemporer, dengan harapan jangan sampai mengubah makna dasarnya.
Di luar itu, berkenaan dengan peristiwa-peristiwa tertentu, ayat-ayat Alquran, atau teks hadis, jika membutuhkan penjelasan lebih lanjut, penulis akan menyampaikannya di dalam catatan kaki. Oleh karena itu penulis menyarankan agar pembaca senantiasa melihat catatan kaki karena memang banyak syair yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut agar dapat dipahami.
Demikian, selamat menyimak:
Ketika Musuh Meludahi Wajah Amirul Mukminin Ali
Belajarlah bagaimana bersikap tulus dari Ali, sang singa Allah, bebas dari segala keburukan: Dalam pertempuran, dia mengalahkan musuh kemudian menghunus pedangnya untuk melancarkan tebasan terakhir.
Orang itu meludahi wajah Ali yang suci,[4] kebanggaan bagi setiap orang suci dan nabi, yang dalam dan luas: Bahkan bulan pun bersujud di hadapan wajah ini, di mana ia diludahi – ini adalah tindakan yang tercela!
Ali langsung meletakkan pedangnya dan, meskipun dia berada di posisi yang unggul, dia menghentikan pertarungan. Musuh itu heran dengan tindakannya ini, bahwa dia menunjukkan belas kasih meskipun telah diserang.
Musuh itu berkata, “Engkau mengarahkan pedang tajammu ke arahku sebelumnya, tapi kemudian engkau menjatuhkannya begitu saja ke tanah–– Lebih penting dari pada melawanku, apa yang engkau pikirkan dengan membatalkan seranganmu kepadaku?
“Apa yang engkau pikirkan untuk mengakhiri kehebatan seranganmu, bagaikan petir yang memancarkan kilatnya lalu meredup tiba-tiba? Apa yang engkau pikirkan tercermin di sini jauh di dalam hatiku, dan membuat nyala api muncul?
“Apa yang engkau lihat jauh melampaui baik eksistensi maupun ruang, bahwa engkau telah mengampuniku meskipun aku telah meludahi wajahmu? Melalui keberanianmu dan orang-orang yang mengetahui keluhuran akhlakmu, engkau adalah singa Allah!
“Engkau adalah awannya Musa di tengah panasnya gurun yang menghadirkan pesta tak tertandingi untuk jamuan makan.”
Awan membawa gandum yang dapat digiling dan dipanggang orang-orang untuk membuat roti dan kue yang manis dan bermanfaat: Sayap-sayap belas kasih awan Musa terbentang untuk memberi mereka kue panas dan roti yang sudah matang.
Bagi mereka yang memakan karunia ini dia membentang, melalui rahmat yang begitu baik ini, panji mereka di dunia, selama empat puluh tahun kemurahan yang luar biasa itu memberi makan mereka yang memiliki harapan tanpa kekurangan.
Hingga mereka bertanya, karena mereka telah menjadi begitu rendah, “Mengapa bumbu-bumbu dan bawang-bawang tidak dikirim ke sini!”[5]
Umat Muhammad, orang-orang yang mulia, dapat melihat bahwa makanan seperti itu berasal dari Allah, dan mereka akan bertahan selamanya: Nabi berkata, “Aku bersama Allah malam sebelumnya,[6] Yang telah memberiku makan,” –– ini bukanlah kiasan!
Terimalah bacaan ini, jangan berdebat, susu dan madu semacam itu, mungkin engkau juga telah diberi-Nya; Menerka-nerka apa yang telah engkau terima sama saja dengan membuangnya, karena kesalahan yang telah engkau persepsikan.
Melihat kekurangan menunjukkan bahwa pikiranmu juga lemah, kebijaksanaan adalah inti, penjelasan hanyalah cangkangnya. Nilailah secara kritis dirimu sendiri yang hina, jangan mengkritik duri mawar, tetapi kritiklah kepala (pikiran)mu![7] (PH)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] Kevin Gould, “Konya, in a whirl of its own”, dari laman https://www.theguardian.com/travel/2010/apr/10/konya-turkey-jelaluddin-rumi-dervish, diakses 4 Oktober 2018.
[2] Lihat tanya jawab Haidar Bagir di dalam akun Twitter-nya tentang karya-karya terjemahan Rumi, dari laman https://twitter.com/Haidar_Bagir/status/1262510150268489730, diakses 12 November 2020.
[3] Islam Indonesia, “Tanya Jawab Tentang Rumi Bersama Haidar Bagir”, dari laman https://islamindonesia.id/tasawwuf/tanya-jawab-tentang-rumi-bersama-haidar-bagir.htm, diakses 12 November 2020.
[4] Peristiwa sebenarnya dari kisah ini terjadi ketika Perang Khandaq, yaitu ketika Amr bin Abd Wad, seorang jawara Quraisy menantang Ali untuk berduel. Dalam duel itu Ali berhasil menumbangkannya, dalam posisi terdesak dia kemudian meludahi wajah Ali. Kisah selengkapnya dapat disimak di: Mahbib Khoiron, “Saat Wajah Sayyidina Ali Diludahi”, dari laman https://islam.nu.or.id/post/read/43971/saat-wajah-sayyidina-ali-diludahi, diakses 12 November 2020.
[5] Kisah ini adalah metafora yang terinspirasi dari QS al-Baqarah [2]: 61, yang menggambarkan perilaku tidak tahu terimakasih umat Nabi Musa as kepada Allah swt meskipun mereka telah diberi makan.
[6] Menurut Jawid Mojaddedi, ini adalah hadis Nabi Muhammad, yaitu ketika Nabi menjelaskan bahwa beliau dipelihara oleh Allah pada malam hari, sehingga beliau tidak perlu berbuka puasa seperti yang dilakukan oleh para pengikutnya.
[7] Disadur dari Jalal al-Din Rumi, Masnavi: Vol 1, diterjemahkan oleh Jawid Mojadeddi (Oxford University Press: New York, 2004), hlm 227-228.
This wordpress concept youre working, is it custom made or did you download it kind among the free of charge concept web sites?