“Tradisi hina-menghina antar kepala negara sudah terjadi dari sejak era sistem kerajaan mendominasi dunia. Inilah yang terjadi di antara Timur dengan Bayezid I, Sultan Ottoman (Ustmaniyah) yang keempat. Puncaknya, mereka berperang di Ankara pada tahun 1402.”
–O–
Pada awal abad ke-15, kekuatan militer terkuat di muka bumi berada di Asia. Pada masa itu, tidak ada yang lebih kuat dibandingkan dua raksasa militer ini, yaitu Kekaisaran Ottoman yang dipimpin oleh Bayezid I dan Kekaisaran Tatar yang dipimpin oleh Timur Lang. Sepanjang hidup mereka, kedua pria ini telah mengukir pengaruh yang luas di Asia Barat dan Eropa Selatan. Kedua kekaisaran ini, secara agresif terus melakukan ekspansi ke berbagai tempat, sehingga cepat atau lambat mereka pasti akan bertemu. Maka, pada 20 Juli 1402, pasukan Bayezid dan Timur bertemu dalam sebuah pertempuran klimaks untuk dominasi dunia Muslim dan bahkan selebihnya.[1]
Bayezid adalah sultan keempat dari Kekaisaran Ottoman (Ustmani) yang sedang berkembang pesat. Dia dijuluki “Si Petir” (the Thunderbolt) karena sering memindahkan pasukannya dari satu tempat ke tempat lainnya. Selain itu, pasukannya ketika sedang berpindah mampu melakukannya dengan sangat cepat. Bayezid mewarisi wilayah di Eropa selatan dan bagian paling barat dari Asia, sebuah wilayah yang disebut dengan Anatolia.[2]
Sementara itu, Timur atau Tamerlane, merupakan kekuatan baru yang sedang tumbuh di Asia Tengah. Pada masa ini, meskipun Timur sesungguhnya bukan orang Mongol (aslinya adalah orang Tatar),[3] mengaku-ngaku sebagai keturunan dari Genghis Khan.[4] Oleh karena itulah Timur sering disebut penguasa Mongol, meskipun secara etnisitas dan genealogis sesungguhnya kurang tepat. Barangkali Timur membuat mitos sebagai keturunan Genghis Khan hanya untuk membangun legitimasi kekuasaannya yang secara tradisi mesti diturunkan kepada keturunan dari Genghis Khan.
Pada awalnya, perseteruan antara kedua penguasa ini bukan karena persoalan teritorial. Perseteruan ini terjadi karena adanya penolakan terhadap supremasi satu sama lain. Jangan dibandingkan dengan konsep negara modern yang dapat saling mengakui kedaulatan, pada masa itu, pengakuan supremasi hanya dapat ditunjukan dengan cara tunduk terhadap penguasa lainnya. Pilihan hanya ada dua, tunduk atau diserang. Negara-negara vassal (negara kecil yang secara wilayah berada di antara dua kekuatan besar) yang terperangkap di antara Dinasti Utsmani dan Tatar, serta para penguasa yang dikalahkan yang berlindung di dalam kerajaan saingan, menjadi titik-titik pertentangan. Pada musim semi tahun 1400, kedua masalah ini berada di garis terdepan hubungan Bayezid dan Timur yang semakin menegang.[5]
Sebelumnya, pada tahun 1399, kedua penguasa sudah saling berkirim surat yang isinya cenderung saling menghina. Dalam catatan sejarawan Persia, Sharifuddin, surat-menyurat itu dia abadikan dalam karyanya, berikut ini beberapa kutipan dari surat mereka:
Surat dari Timur untuk Bayezid: “…. Bijaklah dalam waktu; bercermin (introspeksi); bertaubat; dan hindari guntur pembalasan dari kami, yang masih tergantung di atas kepalamu. Engkau tidak lebih dari pismir (seekor semut); mengapa engkau ingin memprovokasi gajah? Kalau tidak, mereka akan menginjak-injak engkau di bawah kaki mereka!”
Balasan dari Bayezid: “…. Jika aku lari dari tanganmu, istriku boleh tiga kali bercerai dari tempat tidurku; tetapi jika engkau tidak berani untuk menemuiku di lapangan, semoga engkau dapat kembali menerima istrimu setelah mereka tiga kali mengalami pelukan dari orang asing.”[6]
Timur cukup terkejut mendapat balasan dari Bayezid yang menghubung-hubungkan perseteruan mereka dengan urusan perempuan. Sebagai balasannya Timur hanya menulis dengan singkat, “putra dari Ustman (pendiri Kekaisaran Ottoman) sudah gila.” Surat ini merupakan surat terakhir di antara mereka.[7]
Ketegangan di antara mereka terus menguat, sehingga akhirnya pada 20 Juli 1402 mereka bertemu di medan pertempuran berbatu di Çubuk, dekat Ankara. Kedua penguasa terjun langsung ke medan pertempuran untuk memimpin jalannya pertempuran. Beberapa sumber sejarah mengatakan bahwa jumlah pasukan Bayezid 120.000 orang, sementara di pihak Timur ada 800.000 orang. Jumlah ini dianggap terlalu membesar-besarkan dan untuk masa itu tampak tidak masuk akal.
Harold Lamb, berdasarkan data-data invasi Timur di kota-kota lain sebelum dan sesudahnya, mengatakan bahwa jumlah pasukan Timur di Ankara hanya di antara 80.000 sampai 160.000. Jumlah terbanyak pasukan Timur hanya ada pada saat Timur menyerang China menjelang kematiannya, yakni sebanyak 200.000 orang. Sementara itu, pasukan Bayezid justru lebih banyak, karena di awal pertempuran Timur justru mengambil sikap bertahan dan sempat mundur, tidak ada alasan kenapa dia harus bertahan dan mundur dulu selain karena jumlah pasukannya lebih sedikit.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Louis Ciotola, “Clash of the Tyrants”, dari laman http://warfarehistorynetwork.com/daily/military-history/clash-of-the-tyrants/, diakses 3 Juli 2018.
[2] Ibid.
[3] Harold Lamb, Tamerlane: The Earth Shaker (Burleigh Press: Great Britain, 1929), hlm 30-32.
[4] Louis Ciotola, Ibid.
[5] Ibid.
[6] Jonathan Chait, “A Humble Foreign Policy”, dari laman https://newrepublic.com/article/86396/humble-foreign-policy, diakses 3 Juli 2018.
[7] Louis Ciotola, Ibid.
[8] Harold Lamb, Ibid., hlm 246, 248-249.