Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (30): Kekaisaran Mongol (3)

in Sejarah

Last updated on March 14th, 2019 12:30 pm


Untuk mempertahankan kesetiaan para pejabatnya, Genghis Khan meminta anak-anak para pejabat tersebut untuk diserahkan ke dalam penguasaannya sebagai “sandera”.

Ilustrasi para prajurit Mongol pada abad ke-13. Photo: History Shadow

Adopsi Tulisan

Untuk menjalankan kekaisarannya yang membentang di atas hamparan tanah yang begitu luas, secara umum Genghis Khan memerlukan sarana yang harus dikuasai oleh rakyatnya, yakni kemampuan baca-tulis. Namun, secara khusus dia memerlukannya untuk mencatat dan menegakkan sekian banyak undang-undang yang baru dibuatnya. Tulisan sebenarnya sudah diperkenalkan berabad-abad sebelumnya ke masyarakat padang rumput oleh para pedagang Muslim dan biksu Kristen pengembara. Namun hanya sedikit penduduk asli yang mau mempelajarinya, bahkan termasuk suku-suku besar seperti Tatar, Naiman, dan Kereyid. Dan sejauh yang diketahui, tidak ada satupun orang dari suku Mongol yang mau mempelajarinya.

Ketika menaklukkan suku Naiman pada tahun 1204, Genghis Khan menemukan bahwa Tayang Khan memiliki seorang juru tulis yang bertugas mencatat pernyataan-pernyataannya, untuk kemudian dia bubuhkan dengan cap resmi negara. Juru tulis tersebut merupakan orang dari suku Uighur, yang dulunya merupakan penduduk padang rumput Mongolia, namun pada abad ke-9 mereka bermigrasi ke oasis yang sekarang menjadi wilayah Xinjiang di Cina barat.

Bahasa Uighur masih terkait erat dan terbukti relatif mudah untuk diadaptasikan ke dalam tulisan berbahasa Mongol. Tulisan ini pada awalnya dibawa oleh para biarawan misionaris yang membawa agama Kristen ke wilayah padang rumput. Mereka menggunakan alfabet Suriah yang sudah berbentuk huruf, bukan gambar atau karakter, yang ditulis mengalir secara vertikal ke bawah halaman dalam kolom-kolom, seperti tulisan China.

Untuk memastikan hukumnya dapat berdiri tegak, Genghis Khan memberikan jabatan hakim tertinggi kepada adik angkatnya, Shigi-Khutukhu, bocah Tatar yang mengenakan cincin emas di hidung dan setiap telinganya dulu sewaktu dia ditemukan setelah orang Mongol menghancurkan suku Tatar. Shigi-Khutukhu kemudian diangkat anak dan dibesarkan oleh Hoelun, Ibu Genghis Khan. Dalam jabatan barunya ini, Shigi-Khutukhu diberi tugas untuk “menghukum para pencuri dan meluruskan kebohongan,” serta untuk menyimpan catatan keputusan Genghis Khan di atas kertas putih yang dijilid dengan warna biru, warna suci yang melambangkan Langit Abadi.

Mungkin hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa nom, yang artinya “buku” dalam bahasa Mongol, berasal dari kata nomos, yang dalam bahasa Yunani berarti “hukum.” Dalam dunia Mongol pada abad ke-13, tulisan tidak digunakan untuk hal-hal lain, kecuali untuk hukum itu sendiri. Hukum dan kata-kata tertulis merupakan hal yang satu dan sama.[1]

Politik Sandera

Untuk mempertahankan kesetiaan dan kohesi dalam perangkat luas negaranya, Genghis Khan berinovasi pada praktik politik kuno tentang penyanderaan. Dia menuntut agar masing-masing pemimpin unit Mingan (batalion yang memiliki anggota 1.000 prajurit) dan Tumen (divisi yang memiliki anggota 10 Mingan) untuk menyerahkan putra dan teman terdekatnya kepada Genghis Khan. Namun alih-alih digunakan sebagai sandera, anak-anak ini disatukan dalam Tumen tersendiri yang berada di bawah Genghis Khan langsung untuk dilatih menjadi administrator pemerintahan. Anak-anak ini dipersiapkan untuk menjadi cadangan jika suatu waktu ada pejabat yang kerjanya kurang baik atau tidak loyal untuk menggantikan mereka.

Ketimbang menciptakan kesetiaan melalui ancaman bahwa anaknya akan dibunuh jika para pejabat-pejabatnya bertingkah macam-macam, Genghis Khan justru menjadikan anak-anak mereka sebagai bagian integral dari pemerintahannya. Strategi ini terbukti lebih ampuh di lapangan, para pejabat merasa tenang dan senang, karena anak-anak mereka hidupnya aman dan masa depannya menjadi lebih terjamin. Selain itu, dengan anak-anak mereka berada di bawah Genghis Khan langsung, setiap keluarga merasa memiliki akses pribadi langsung terhadap penguasa kekaisaran.[2]

Pasukan Khusus

Genghis Khan membagi korps pasukan khusus elit menjadi dua bagian, yaitu yang bertugas di siang hari dan malam hari. Pasukan ini bertugas untuk menjaga Genghis Khan dan perkemahannya agar aman sepanjang 24 jam penuh. Namun ketimbang hanya bertugas sebagai pengawal, mereka diberikan tugas-tugas lainnya. Di antaranya mereka bertugas untuk mengawasi para pelayan wanita dan laki-laki yang bekerja di lingkaran utama perkemahan Genghis Khan, dan mereka juga bertugas untuk mengatur pekerjaan para penggembala hewan-hewan. Ini penting, sebab menurut Genghis Khan, pertahanan paling awal justru harus dimulai dari dalam tendanya sendiri, mengingat ayahnya dibunuh melalui racun yang dibubuhkan ke dalam makanannya.  

Pasukan ini juga mengawasi seluruh pergerakan perkemahan, bersama dengan semua senjata dan perlengkapan negara: panji-panji, tombak, dan drum. Mereka juga mengelola alat-alat memasak dan aktivitas penyembelihan hewan, dan mereka juga memastikan distribusi yang tepat dari daging dan berbagai produk susu. Selain itu, pasukan khusus juga bertugas untuk mengadili pelanggaran hukum, melaksanakan hukuman, atau secara umum menegakkan hukum. Karena mereka merupakan orang-orang bagian dalam dari pemerintahan, dan mempunyai kuasa untuk mengatur sirkulasi keluar masuknya orang ke dalam perkemahan kekaisaran, pada dasarnya mereka merupakan basis dari administrasi pemerintahan kekaisaran Mongolia.[3] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (31): Kekaisaran Mongol (4)

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (29): Kekaisaran Mongol (2)

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*