Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (31): Kekaisaran Mongol (4)

in Sejarah

Last updated on March 15th, 2019 02:11 pm


Genghis Khan mengembangkan metode komunikasi yang rumit menggunakan sinyal-sinyal. Kelak, ini akan menjadi kunci bagi ekspansi Mongol lainnya, sebab musuh tidak dapat memahami pergerakan pasukan Mongol.

Ilustrasi pasukan Mongol ketika sedang berperang, karya
Rashid-ad-Din. Photo: Dschingis Khan und seine Erben (exhibition catalogue), München 2005

Hierarki Militer

Seluruh anggota Tumen (divisi yang memiliki anggota 10.000 prajurit)  milik Genghis Khan berperan seperti seorang kakak laki-laki tertua dalam sebuah keluarga. Oleh karena itu, posisi mereka lebih tinggi dibanding para prajurit manapun dari sembilan Tumen lainnya dalam kekaisaran Mongol. Anggota Tumen Genghis Khan dapat memberi perintah kepada anggota Tumen lainnya dan mesti dipatuhi tanpa pertanyaan.

Tidak seperti kesatuan militer lain di dunia, di mana setiap pangkat individu berlaku secara universal, dalam militer Mongol, sebuah unit dapat memiliki kekhususan posisi tinggi tersendiri. Seorang prajurit yang memiliki pangkat terendah dalam Tumen Genghis Khan, posisinya bahkan lebih tinggi ketimbang seorang prajurit berpangkat paling tinggi dalam Tumen lainnya. Pada hierarki selanjutnya, setiap komandan Mingan (batalion yang memiliki anggota 1.000 prajurit)dalam setiap Tumen posisinya lebih tinggi dibanding setiap prajurit anggota sembilan Mingan lainnya.[1]

Metode Komunikasi

Untuk memastikan setiap perintah dapat sampai kepada orang yang dituju, Genghis Khan mengandalkan para pengendara cepat yang disebut dengan “kurir panah” untuk membawa pesan. Para kurir merupakan petugas dari kesatuan militer, sementara itu yang menyediakan stasiun penerimaan adalah orang-orang lokal di setiap wilayah. Layanan semacam pos ini diatur sedemikian rupa di dalam kemiliteran, karena ini dianggap penting bagi negara, dan warga sipil diperkenankan untuk mengabdi di dalamnya sebagai ganti atas wajib militer reguler.

Bergantung pada medan setempat, jarak antar stasiun biasanya sekitar 30 km, dan setiap stasiun membutuhkan sekitar 25 keluarga untuk memelihara dan mengoperasikannya. Meskipun di sana terdapat banyak informasi rahasia yang dijaga dengan hati-hati, namun karena stasiun-stasiun itu juga terbuka untuk penggunaan umum, dan banyak di antaranya milik individu (bukan negara), dalam waktu tertentu dan bergantung dengan banyaknya pesan yang masuk, seringkali informasi rahasia menjadi bocor.

Jejak-jejak penggunaan metode komunikasi seperti ini dan pengembangannya beberapa masih dapat dilihat pada abad ke-18. Ketika itu sistem masih beroperasi, dari Pegunungan Altai di barat, kemudian melintasi Mongolia, hingga sampai ke China di timur melalui pintu masuk Tembok Besar, terdapat sekitar 64 stasiun.  

Sementara itu, untuk metode komunikasi yang jaraknya lebih pendek, Genghis Khan mengadaptasikan berbagai metode lama seperti penggunaan obor, panah bersiul, asap, suar, dan bendera. Metode seperti ini diaplikasikan untuk pergerakan-pergerakan yang membutuhkan transmisi yang lebih cepat seperti manuver, perburuan, dan pergerakan militer.

Para penggembala sebelumnya telah mengembangkan sistem sinyal lengan yang rumit yang dapat digunakan ketika seseorang sudah berada di luar jangkauan pendengaran , dan di bawah Genghis Khan, metode ini juga dikembangkan untuk menciptakan sistem komunikasi yang lebih cepat dan efisien, dan bahkan untuk pertempuran atau manuver pasukan, sistem yang dikembangkan lebih lengkap dan kompleks.[2]

Di kemudian hari, ketika bangsa Mongol melakukan ekspansi-ekspansi militer lainnya, mereka dikenal sebagai bangsa yang memelopori strategi dan taktik militer seperti penyerangan pura-pura, serangan mendadak, penyanderaan, perang psikologis, dan perisai manusia. Kavaleri Mongol, yang terletak di sekitar bagian luar Tumen, dapat dengan cepat melaju ke depan hanya dengan sinyal yang kecil dan singkat, untuk kemudian menyerang musuh dengan hujan panah.

Lapisan terdepan pasukan pengendara mereka, bukan digunakan untuk penyerangan yang sesungguhnya, tapi untuk sistem peringatan dini kepada pasukan lain yang ada di belakang mereka. Jumlah pasukan Mongol seringkali dibuat seolah-olah sangat besar dengan menciptakan ilusi-ilusi tertentu di mata musuh, misalnya memasang benda-benda tertentu di punggung kuda. Contoh lainnya, menyalakan api unggun di malam hari, sebagaimana telah mereka lakukan ketika menyerang suku Naiman.

Dalam pertempuran di lapangan, orang-orang Mongol biasanya menghujani musuh mereka dengan panah-panah yang dapat menembus baju besi untuk membuka jalan bagi pasukan kavaleri di mana para penunggang kuda kemudian akan bergerak cepat untuk merobohkan para korban yang selamat dengan tombak berkait.

Taktik militer favorit mereka adalah dengan berpura-pura mundur dan memikat musuh ke posisi yang sudah disiapkan. Ketika musuh tiba, para pemanah sudah berada di sekeliling mereka, atau pasukan Mongol yang dikejar tadi tiba-tiba berbalik arah dan menghujani musuh dengan panah, dengan upaya yang bersamaan untuk memburu pemimpin pasukan musuh yang biasanya ada di belakang. Dengan taktik dan mobilitas yang tinggi seperti ini, pasukan Mongol terbukti lebih unggul dan sering kali dapat dengan mudah mengalahkan pasukan yang jumlahnya lebih besar.

Ketika menyerang sebuah kota yang besar dan kuat, bangsa Mongol mengatur pasukannya dalam pembagian pasukan yang jaraknya berjauhan. Sebagai contoh, ketika mereka menyerang Samarkand, pasukan pendahulu mereka datang dari arah gurun utara, sementara itu, pasukan lainnya bergerak dari sekitar pegunungan Pamir yang jaraknya lebih dari 1.300 km. Ketika bangsa Mongol menyerang Eropa, mereka membentuk front yang lebih luas, yang membentang dari Baltik hingga ke Transylvania.

Taktik-taktik semacam itu hanya berhasil jika ada komunikasi yang baik. Para pengintai Mongol dapat melakukan perjalanan dengan kecepatan hingga sekitar 160 km per hari untuk menyampaikan informasi intelijen dengan kecepatan yang tidak ada bandingannya pada masanya. Informasi-informasi ini, selain dari pengintai, juga didapatkan dari jaringan mata-mata mereka, untuk kemudian disampaikan kepada komandan-komandan dan khan oleh para kurir cepat, baik melalui bahasa Mongol ataupun melalui sinyal bendera yang rumit (bangsa Mongol merupakan pencipta metode komunikasi semapur).[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (30): Kekaisaran Mongol (3)

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.

[2] Ibid.

[3] Facts and Details, “Mongol Army: Tactics, Weapons, Revenge and Terror”, dari laman http://factsanddetails.com/asian/cat65/sub423/item2696.html, diakses 14 Maret 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*