Uighur Khan menyatakan kesetiaannya kepada Genghis Khan. Sebagai imbalan, dia diberi putri Genghis Khan untuk dinikahi. Inilah untuk pertama kalinya suku-bangsa non-nomaden bergabung dengan Kekaisaran Mongol.
Dalam usaha untuk menyambung tali kekerabatan dengan suku Siberia dan Uighur, Genghis Khan tidak hanya melakukannya antara keluarganya dengan keluarga penguasa saja – dengan menikahkan anggota keluarganya. Dia menerima seluruh suku atau bangsa ke dalam kekaisarannya sebagai anggota keluarga, karena, dalam idiom politik suku-suku, memberikan kekerabatan kepada seorang khan, artinya sama saja dengan mengakui ikatan keluarga dengan seluruh suku. Dengan cara ini, makna kekerabatan telah berkembang menjadi semacam kewarganegaraan, seperti dalam konsep negara modern.
Ketika Genghis Khan terus menggunakan dan memperluas ikatan kekerabatan itu di tahun-tahun mendatang, bentuk kewarganegaraan terus berkembang ke bentuk yang lebih universal, yang tidak didasarkan pada kesamaan agama, atau ikatan biologis, seperti dalam budaya lama suku-suku di padang rumput. Ikatan itu hanya didasarkan pada kesetiaan, penerimaan, dan kesetiaan.
Belakangan, semua kerajaan non-Mongol yang tunduk dan bergabung dengan Kekaisaran Mongol disebut sebagai Khari. Kata itu artinya adalah “hitam”, namun konotasinya identik dengan “mertua”. Dengan demikian, suku bangsa tertentu seperti Uighur dan Korea, serta beberapa suku Turki, kelak akan mendapatkan posisi kehormatan sebagai Khari atau mertua bagi orang-orang Mongol. Selain itu, orang-orang Mongol juga hanya boleh menikahi orang-orang sukunya sendiri dan suku-suku yang tergabung dalam Khari.[1]
Keistimewaan Suku Uighur
Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan bahwa Genghis Khan akan menikahkan putrinya dengan Uighur Khan untuk mengikat aliansi. Ketika akhirnya Uighur khan datang ke wilayah Mongol untuk pernikahannya sekitar tahun 1209, dia tiba dengan karavan unta berisi hadiah mewah, termasuk emas, perak, dan mutiara dengan berbagai ukuran, bentuk, dan warna. Tanpa kerajinan menenun, orang-orang Mongol hanya memiliki kulit, bulu, dan kain dari wol yang dipres, jadi hadiah terpenting bagi mereka adalah produk tenunan tekstil yang luar biasa, termasuk sutra, brokat, damask (kain bermotif), dan satin.[2]
Nama asli Uighur Khan adalah Barchukh Art Tegin, dengan aliansi ini dan pernikahannya dengan putri Genghis Khan, oleh Genghis Khan dia disebut sebagai putranya yang ke lima – Genghis Khan memiliki empat putra kandung pada waktu itu. Dengan aliansi ini, maka Barchukh dan sukunya diwajibkan untuk ikut dalam penyerangan-penyerangan Mongol ke depannya.
Ada sejumlah indikasi yang menyatakan bahwa orang-orang Uighur dan penguasa mereka menikmati status istimewa selama masa pemerintahan Genghis Khan. Barchukh dan para penerusnya memegang tempat terhormat di antara suku bangsa lain yang berada di bawah Kekaisaran Mongol. Keutamaan orang-orang Uighur jelas terungkap dalam sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Khubilai Khan (cucu Genghis Khan) kepada penguasa Koryo (Korea dalam penamaan masa kini) dan putranya pada tahun 1270:
“Kalian (kerajaan Korea) tunduk belakangan, oleh karena itu (kalian) berperingkat lebih rendah di antara para pangeran (wang) selama masa pemerintahan T’aitsu kami (Genghis Khan), Iduq qut (kepala suku Uighur) adalah yang pertama menyatakan kesetiaan, oleh karenanya dia diperintahkan untuk berada di peringkat teratas di antara para pangeran Arslan (A-ssu-lan) yang tunduk selanjutnya, oleh karena itu (mereka) berada di bawahnya. Kalian harus tahu ini.”[3]
Peradaban Selatan
Kehadiran suku Uighur di perkemahan Mongol tampak mencolok, mereka membawa berbagai macam kekayaan yang berasal dari peradaban pertanian, sementara orang-orang Mongol yang miskin mencerminkan kehidupan suku-suku nomaden padang rumput. Genghis Khan, meskipun memiliki pasukan besar, namun di balik itu, orang-orang yang dia pimpin sebenarnya sebagian besarnya merupakan orang-orang miskin.
Sementara itu, di wilayah selatan setelah Gobi, berbagai macam barang-barang yang menarik dan mengesankan mengalir di sepanjang Jalur Sutra. Genghis Khan ingin mengubah arus pergerakkan barang-barang tersebut supaya menjadi lebih seimbang. Selain itu, dia juga ingin menguji ketangguhan pasukannya terhadap peradaban lain. Namun upaya seperti itu bukannya tanpa resiko yang sangat besar. Genghis Khan sangat menginginkan mengambil kesempatan itu, dan segera kesempatan itu, seolah disampaikan sebagai jawaban atas doanya, akan muncul dengan sendirinya.
Meskipun Genghis Khan telah meraih capaian-capaian besar di wilayah padang rumput Mongolia, namun bagi peradaban lain, itu masih belum ada apa-apanya. Di belahan lain dunia, belum ada yang memerhatikan penguasa baru ini dan negaranya yang baru saja diproklamasikan dengan orang-orangnya yang disebut sebagai bangsa Mongol. Di luar wilayah padang rumput Asia, pada saat itu, hanya sedikit orang yang memerhatikan kiprah para penduduknya, di mana terjadi pembunuhan terhadap salah satu kepala suku barbar dan kemudian menobatkan penggantinya yang lebih muda.
Begitu pula kisah hancurnya salah satu suku primitif yang hanya untuk digantikan oleh suku primitif saingan lainnya, bukanlah sesuatu yang terlalu menarik. Pertempuran suku-suku kecil yang memperebutkan kuda, wanita, dan pakaian gombal bagi penduduk dunia lainnya bukanlah sesuatu yang penting dibandingkan dengan pertumbuhan peradaban lain yang jauh lebih besar. Namun semua itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan berubah.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.
[2] Ibid.
[3] Thomas T. Allsen, The Yuan Dynasty and the Uighurs in Turfan, dalam Morris Rossabi (ed), China Among Equals: The Middle Kingdom and Its Neighbors, 10th-14th Centuries, (University of California Press, 1983), hlm 246-247.
[4] Jack Weatherford, Loc.Cit.