Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (37): Menyerang Jurchen Jin (3)

in Sejarah

Last updated on March 22nd, 2019 02:55 pm


Pasukan Mongol tidak berbaris rapi sebagaimana militer-militer lainnya. Mereka bergerak dengan menyebar. Persoalannya, dengan bentuk seperti ini dan seluruhnya buta huruf, bahkan perwiranya, bagaimana mereka berkomunikasi? Namun mereka memiliki cara yang jitu.

Ilustrasi pasukan Mongol

Tentara tradisional lain biasanya bergerak bersama dalam barisan panjang yang besar dan rapi. Sementara itu, persediaan makanan mereka yang besar mengikuti di belakang dengan rute yang sama. Lain halnya dengan tentara Mongol, di dataran yang luas mereka menyebar ke berbagai titik agar hewan-hewan yang mereka bawa dapat merumput dan makan. Selain itu, dengan menyebar, setiap prajurit dapat memaksimalkan kesempatan berburu hewan liar untuk dimakan. Genghis Khan sendiri bergerak di tengah, diapit oleh pasukan sayap kanan di sebelah barat, dan pasukan sayap kiri di sebelah timur. Unit-unit pasukan lain yang lebih kecil mengambil posisi paling depan sebagai pengintai dan yang paling belakang bertugas sebagai pelindung, di mana mereka membawa hewan-hewan cadangan.

Organisasi desimal pasukan (pembagian unit pasukan dengan kelipatan sepuluh: mulai dari yang terkecil sepuluh orang, seratus orang, seribu orang, sampai sepuluh ribu orang) membuat pasukan Genghis Khan dapat dengan mudah berubah posisi dan bergerak dengan sangat cepat. Setiap unit sepuluh ribu (Tumen) berfungsi seperti versi miniatur pengelolaan perkemahan Genghis Khan. Komandan Tumen bergerak di pusat unitnya yang berjumlah seribu orang (Mingan), dan dia menempatkan sembilan unit Mingan lainnya di sekitarnya — kiri, kanan, depan, dan belakang — sesuai kebutuhan. Alih-alih seperti hierarki unit militer pada umumnya, Genghis Khan mengorganisir pasukannya ke dalam serangkaian lingkaran konsentris.

Meskipun kamp milter pasukan Mongol sering berpindah-pindah, namun kamp pusat untuk setiap unit ditata dengan pola yang tepat sehingga prajurit yang baru tiba selalu tahu harus ke mana untuk melapor dan bagaimana menemukan apa pun yang mereka butuhkan. Setiap Mingan memiliki unit medisnya sendiri, biasanya terdiri dari dokter China, yang bertugas untuk merawat orang sakit dan terluka.

Tenda-tenda didirikan berjajar dalam formasi khusus, dengan masing-masing formasi, nama, dan fungsinya. Bahkan bagian dalam tenda pun diatur dengan cara yang persis sama. Setelah seharian bepergian, bertempur, atau berburu, tentara berkemah dengan para perwira berada di tengah-tengah kamp yang dikelilingi oleh penjaga dan tentara lainnya. Pada malam hari, kuda-kuda tetap siap jika mungkin diperlukan, dan garis pertahanan didirikan di tepi kamp.

Berbeda dengan kamp utama yang terstruktur dengan baik dan rapi, sebagian besar prajurit biasa memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dan menyebar ke pedesaan untuk berkemah di malam hari. Saat senja mereka biasanya membuat api kecil, alasannya agar api tidak terlihat terang dari kejauhan, begitu pula dengan asapnya, jika api kecil, tidak akan mengeluarkan asap yang terlalu tebal dan dapat luput dari pandangan.

Dengan api, mereka dengan cepat menyiapkan satu-satunya makanan panas pada hari itu. Setelah makan, mereka tidak berlama-lama bersenda gurau atau tidur di dekat api; mereka menyebar ke dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil yang terdiri dari tiga hingga lima orang yang tidur di ceruk tersembunyi yang tersebar di seluruh wilayah. Segera setelah fajar menyingsing keesokan paginya, mereka memulai hari itu dengan pengintaian yang cermat terhadap kondisi sekeliling – kiri, kanan, depan, dan belakang.

Dengan pasukan yang tersebar di wilayah yang begitu luas, komunikasi menjadi lebih penting, namun juga lebih sulit. Tentara konvensional bergerak dan berkemah dalam bentuk barisan yang panjang, dan para komandan dapat dengan mudah berkomunikasi satu sama lain melalui pesan tertulis. Bagi orang Mongol, yang pasukannya tersebar, dan bahkan para perwiranya pun buta huruf, semua komunikasi di setiap tingkatan harus dengan cara lisan, bukan tertulis. Pesan disampaikan dari mulut ke mulut dari satu orang ke orang lainnya.

Cara komunikasi lisan seperti ini dapat menimbulkan masalah, terutama pada keakuratan pesan. Pesan harus diulang dengan tepat setiap kali ditransmisikan, dan kemudian diingat persis seperti apa yang diucapkan. Untuk memastikan hafalan yang akurat, para perwira menyusun pesan mereka dalam bentuk sajak, menggunakan sistem standar yang diketahui setiap prajurit. Para prajurit Mongol menggunakan seperangkat melodi dan gaya puisi yang tetap di mana berbagai kata dapat diimprovisasi sesuai dengan makna pesan tersebut. Bagi seorang prajurit, ketika mendengar pesan baru, dia seperti mempelajari sebuah lirik baru dari sebuah lagu yang sudah dia ketahui.

Para prajurit sering bernyanyi ketika mereka berkendara bersama kelompok kecil mereka, bahkan tradisi ini masih tetap dilakukan oleh masyarakat padang rumput Mongolia hari ini. Selain menyanyikan tentang apa yang biasa selalu dinyanyikan oleh tentara — rumah, wanita, dan perang — tentara Mongol menyanyikan hukum dan aturan perilaku mereka, yang telah digubah dalam bentuk lagu sehingga setiap prajurit bisa terus mengingatnya. Dengan menghafal hukum dan terus-menerus mempraktikkan alunan lagu dan urutannya, maka setiap orang, kapan saja menerima pesan baru, telah siap untuk menerimanya. Dengan lirik baru tapi dengan lagu yang telah dilatih dengan baik, pesan dapat dipastikan diterima dengan akurat dan utuh.

Wilayah Dinasti Jurchen Jin masih belum dicapai, namun semakin hari semakin dekat, dan dengan semakin dekat, adrenalin prajurit semakin meningkat. Mereka masih belum tahu hasil akhir seperti apa yang akan mereka dapat di sana. Berbekal kepercayaan terhadap pemimpin mereka, Genghis Khan yang kharismatik dan jenius, dan harapan-harapan untuk membalas dendam leluhur, namun yang paling utama adalah mimpi-mimpi untuk mendapatkan kekayaan negeri Tiongkok yang tidak terbatas, mereka siap untuk berperang. Jarak semakin dekat![1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 4

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*