Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (39): Menyerang Jurchen Jin (5)

in Sejarah

Last updated on March 24th, 2019 03:19 pm


Genghis Khan berkata, “Tidak ada yang baik dari semua ini (peperangan) sampai semuanya selesai.” Maksudnya adalah segala cara boleh dilakukan asal itu mendatangkan kemenangan, bahkan dengan cara licik atau kejam.

Ilustrasi sosok Genghis Khan. Sumber: Вася Шеремет/Pinterest

Cara berperang prajurit Mongol adalah penyempurnaan dari sistem perang masyarakat padang rumput tradisional yang telah dikembangkan di Mongolia selama ribuan tahun. Senjata-senjata milik musuh yang canggih, pada akhirnya tidak mempan terhadap pasukan Mongol. Teknologi persenjataan tidak selamanya akan menjadi rahasia yang tidak dapat terpecahkan, setelah hanya melalui beberapa pertempuran, teknologi senjata musuh sudah dapat dengan mudah diadopsi oleh pasukan Mongol. Keberhasilan bangsa Mongol muncul dari kohesifitas dan kedisiplinan mereka, yang berkembang selama ribuan tahun sebagai pengembara yang bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, dan dari kesetiaan mereka yang teguh kepada pemimpin mereka.

Pada masanya, prajurit di mana pun telah didoktrin untuk rela mati demi pemimpin mereka, tetapi Genghis Khan tidak pernah meminta para pengikutnya untuk rela mati untuknya. Di atas segalanya, dia menanamkan kepada pasukannya bahwa semua ini hanyalah sesuatu yang strategis, yakni demi keberlangsungan kehidupan bangsa Mongol. Tidak seperti jenderal atau kaisar lain dalam sejarah yang dengan mudah dapat memerintahkan ratusan ribu prajuritnya untuk mati, Genghis Khan tidak akan pernah rela mengorbankan satu pun dari mereka.

Aturan paling penting yang dia buat untuk pasukannya ialah menyangkut kematian prajurit. Baik di dalam maupun di luar medan perang, prajurit Mongol dilarang berbicara tentang kematian, cedera, atau kekalahan. Hanya dengan memikirkannya saja maka itu sudah dianggap berangan-angan untuk mewujudkannya. Bahkan untuk menyebutkan nama kawan atau prajurit lainnya yang sudah mati, itu merupakan hal serius yang sangat ditabukan. Setiap prajurit Mongol harus menjalani hidupnya sebagai seorang pejuang yang seolah hidupnya abadi, berpikir tidak ada yang dapat mengalahkan atau menyakitinya, dan tidak ada yang mampu membunuhnya.

Di akhir hidupnya, ketika semua telah gagal dan tidak ada lagi harapan yang tersisa, prajurit Mongol akan menatap ke atas dan memasrahkan takdirnya dan menyebut nama Langit Biru Abadi – Tuhan mereka – dan mengucapkan kata-kata terakhirnya di muka bumi. Dalam peperangan di wilayah padang rumput, orang-orang ini akan meninggalkan kawannya yang telah mati beserta benda-benda miliknya di lapangan terbuka untuk dimakan oleh hewan liar atau membusuk secara alami.

Di tanah peradaban pertanian yang jauh dari rumah – China, orang-orang Mongol khawatir bahwa jika mereka mati, tubuh mereka tidak akan dibiarkan membusuk secara alami dan penduduk setempat mungkin akan mencemarinya. Dalam peperangan melawan Dinasti Jurchen Jin, para prajurit Mongol mulai mengirim pulang jenazah para prajurit yang sudah mati ke wilayah padang rumput. Para tawanan perang pasukan Mongol diberi tugas untuk membawa mayat-mayat itu dengan beberapa cara, membungkus dan menjahitnya dalam tas kulit untuk dibawa menggunakan unta, atau menggunakan gerobak yang ditarik oleh lembu.

Pada beberapa kesempatan, ketika cara ini terbukti sudah memberatkan dan mustahil untuk dilakukan, orang-orang Mongol mulai membawa mayat-mayat itu ke daerah berumput yang berada di dekat mereka dan secara diam-diam mengubur setiap orang dengan semua barang miliknya. Mereka kemudian membawa hewan-hewan mereka ke sekitar kuburan untuk menyamarkan dan mencegah agar para petani tidak menemukan dan menggali harta benda milik jenazah.

Bangsa Mongol tidak peduli akan nilai-nilai kekesatriaan dalam pertempuran, bagi mereka, kehormatan hanya ada ketika mereka memperoleh kemenangan. Mereka memiliki satu tujuan dalam setiap penyerbuan, yaitu kemenangan total. Untuk mencapai tujuan ini, tidak masalah taktik apa yang digunakan untuk melawan musuh atau bagaimana pertempuran itu dilakukan atau dihindari. Menang dengan tipu daya licik yang cerdik atau tipu daya kejam tetaplah masih kemenangan dan tidak akan membuat seorang prajurit dianggap pengecut.

Karena toh masih banyak kesempatan lain untuk menunjukkan keberanian dan kecapakan mereka pada pertempuran lainnya – jika memang kehormatan dianggap sebagai sesuatu yang penting – namun yang paling penting pada saat ini adalah kemenangan, apapun caranya. Bagi pasukan Mongol, kehormatan individu tidak ada gunanya dalam pertempuran jika pada akhirnya malah membuat pasukan mengalami kekalahan. Seperti yang dikatakan oleh Genghis Khan, “Tidak ada yang baik dari semua ini (peperangan) sampai semuanya selesai.”

Pada saat menyerang Jurchen, bangsa Mongol yang disebut primitif, justru menunjukkan kualitas kecerdasan mereka dalam melawan peradaban lain yang lebih tua dan mapan. Populasi masyarakat Jurchen yang sangat besar, di satu sisi merupakan keuntungan bagi Jurchen, namun di bawah tangan pasukan Mongol, semua itu malah berbalik menjadi awal dari kekalahan Jurchen. Bangsa Mongol justru membuat populasi besar ini menjadi sumber kekuatan terbesar mereka.

Sebelum menyerang sebuah kota, orang-orang Mongol biasanya “menyelesaikan” terlebih dahulu semua desa yang berada di sekelilingnya. Dalam kasus Jurchen, pasukan Mongol secara paksa mempekerjakan para penduduk desa untuk bekerja di bawah komando mereka. Mereka mempekerjakan orang-orang malang itu dalam struktur unit kelipatan sepuluh milik pasukan Mongol.[1] Setiap prajurit Mongol harus mengumpulkan sepuluh penduduk lokal untuk bekerja di bawah perintahnya; jika ada di antara mereka yang meninggal, dia harus mengganti dengan penduduk lainnya sehingga dia selalu memiliki sepuluh orang yang siap membantu.

Sebagai perpanjangan tangan tentara, para tawanan ini melakukan tugas sehari-hari untuk menyediakan makanan dan air bagi hewan dan tentara, serta mengumpulkan bahan-bahan yang dibutuhkan, seperti batu dan tanah, untuk membuat parit sebagai persiapan pengepungan yang akan datang. Orang-orang ini juga diberi tugas untuk melakukan manuver militer seperti mengoperasikan alat pelontar batu atau kayu untuk menghantam dinding kota, atau mendorong menara bergerak yang khusus dibangun untuk menembus dinding kota.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lebih jelas tentang unit-unit militer kelipatan sepuluh pasukan Mongol lihat artikel seri sebelumnya: “Bangsa Mongol dan Dunia Islam (20): Sang Pemersatu”, dalam laman https://ganaislamika.com/bangsa-mongol-dan-dunia-islam-20-sang-pemersatu/.

[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 4.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*