Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (45): Pembebasan Uighur Muslim (1)

in Sejarah

Last updated on March 31st, 2019 02:57 pm


Genghis Khan dikenal sebagai penguasa yang toleran terhadap agama. Suatu hari, seorang Uighur Muslim datang jauh dari Kashgar (sekarang Kirgistan), mengadu kepadanya bahwa kaumnya ditindas oleh penguasa Buddha mereka.

Muslim Uighur di China pada masa kini. Photo: China Discovery

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Genghis Khan kini memiliki terlalu banyak harta rampasan dan materi untuk dibagikan, dan dia perlu menemukan cara untuk mengelola dan menyimpannya sampai harta benda itu dibutuhkan. Untuk mengatasi masalah kemakmuran ini, Genghis Khan mengizinkan pembangunan beberapa bangunan. Dia mendirikan bangunan-bangunan itu di Avarga (ibu kota kekaisaran) di dekat aliran sungai yang kecil.

Di bagian pinggir padang rumput Avarga, terdapat mata air yang keluar dari tanah, menurut kisah, Borte, istri pertama Genghis Khan, menggunakan airnya untuk menyembuhkan anak laki-lakinya yang paling kecil, Ogodei. Secara kolektif, bangunan-bangunan itu diberi nama Istana Kuning, dan sebagian besar berfungsi sebagai gudang penyimpanan untuk barang-barang hasil rampasan perang. Dengan sungai di kedua sisi dan beberapa bukit kecil di sekitarnya, secara alamiah Avarga terlindungi, dan membuat serangan mendadak hampir tidak mungkin.[1]

Uighur Muslim

Selama bertahun-tahun meninggalkan Mongolia dalam penyerangan ke China Utara, sekembalinya dari sana, Genghis Khan menghadapi banyak persoalan yang harus diselesaikan. Di antaranya adalah pemberontakan dari Siberia, yang mana sebelumnya mereka sudah pernah menyatakan kesetiaan terhadap Genghis Khan. Pemberontakan itu dapat ditumpas dengan mudah olehnya, dan Siberia segera kembali berada di bawah kekuasaan kekaisaran Mongol.[2]

Lalu persoalan lain yang lebih serius datang, seorang utusan yang mewakili kota Kashgar dan Khotan, sebuah kota perdagangan di China barat (sekarang menjadi provinsi Xinjiang di China dan sebagiannya lagi berada di Kirgistan dan Kazakhstan), datang kepadanya. Penduduk Kashgar dan Khotan adalah orang-orang Muslim, dan utusan ini bercerita kepadanya, bahwa mereka mengalami penindasan dari khan mereka yang beragama Buddha.[3] Secara etnisitas mereka berasal dari suku Uighur, untuk membedakannya dengan Uighur yang lainnya, mereka juga biasa disebut Uighur Muslim.[4]

Orang-orang Uighur lainnya, yang telah lebih dahulu menyatakan kesetiaan kepada Genghis Khan, menyatakan bahwa mereka sangat mendukung saudara-saudara Uighur Muslim mereka. Bagi Genghis Khan, orang-orang Uighur memiliki posisi istimewa, karena mereka adalah penduduk peradaban pertanian pertama yang hidupnya menetap di suatu tempat, dan memiliki teknologi yang lebih maju dibanding dengan orang-orang Mongol, namun bersedia untuk menjadi negara bawahan (Vassal State atau Khari dalam bahasa Mongol) Kekaisaran Mongol. Dan tentu saja, Genghis Khan sangat memerhatikan keinginan mereka.[5]

Pada waktu itu, toleransi beragama telah menjadi ciri khas pemerintahan Genghis Khan. Dia dikenal telah memberi kebebasan beragama seluas-luasnya bagi para pengikutnya, sepanjang mereka tidak melanggar Hukum Agung yang telah dibuatnya, yaitu undang-undang kenegaraan Kekaisaran Mongol. Utusan tersebut menjelaskan kepada Genghis Khan, bahwa mereka telah mengalami persekusi agama yang sangat keras dari penguasa mereka, Guculuk Khan.[6]

Untuk menyegarkan ingatan pembaca, Guculuk Khan adalah anak laki-laki dari Tayang Khan, penguasa suku Naiman, yang telah ditaklukkan oleh Genghis Khan pada tahun 1204. Pada waktu itu, Guculuk Khan berhasil melarikan diri ke daerah Pegunungan Tian Shan.[7] Bagaimana akhirnya dia dapat menjadi penguasa di sana, akan diceritakan kemudian.

Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, sejarawan asal persia dari abad ke-13 menggambarkan persekusi yang dialami oleh Muslim Uighur tersebut:

“Dia (Guculuk Khan) memaksa penduduk untuk meninggalkan agama Muhammad, memberi mereka pilihan di antara dua alternatif, apakah pindah ke agama Kristen atau menyembah berhala, atau mengenakan pakaian para Khitan (penduduk lama). Dan karena tidak mungkin untuk pindah ke agama lain, dengan terpaksa akhirnya mereka mengenakan pakaian orang-orang Khitan ….. Para muazin yang menyerukan adzan, dan para penyembah dan yang berkeyakinan Tuhan itu satu dilarang (mempraktikkan ajaran mereka); dan sekolah-sekolah ditutup dan dihancurkan.

“Suatu hari, di Khotan, dia menyeret para imam besar ke sebuah tempat terbuka dan mulai memperdebatkan agama dengan mereka. Salah satu dari mereka, Imam Ala-ad-Din Muhammad dari Khotan, memberanikan diri untuk berselisih dengannya: Setelah menjalani penyiksaan, dia disalib di atas pintu madrasahnya…. Demikianlah Muslim dibawa ke jalan yang menyedihkan, bahkan sepenuhnya dimusnahkan, dan penindasan dan kejahatan yang tak berujung diperluas ke seluruh penyembah Ilahi….”[8]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 4.

[2] Ibid.

[3] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 65-66.

[4] Jack Weatherford, Loc.Cit.

[5] Ibid.

[6] Amy Chua, Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance — and Why They Fall (Doubleday, 2007), hlm 101.

[7] Jack Weatherford, Ibid., Chapter 3.

[8] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*