Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (51): Khan Versus Sultan (2)

in Sejarah

Last updated on April 10th, 2019 02:16 pm


Beberapa sejarawan Muslim menolak pendapat bahwa penyerangan Genghis Khan hanya karena gara-gara pedagang Mongol dibunuh, menurut mereka Genghis Khan memang berambisi untuk menjadi penguasa dunia.

Lukisan tentang penyerangan pasukan Mongol terhadap Kesultanan Khwarizmia karya Rashid al-Din.

Sebelum melanjutkan kisah pasukan Mongol di kota Bukhara, kita akan tarik mundur terlebih dahulu jalan ceritanya. Pertama, kita akan membahas sebab-sebab Genghis Khan memutuskan untuk menyerang Kesultanan Khwarizmia. Kedua, bagaimana Genghis Khan mempersiapkan pasukannya untuk menyerang ke sana.

Sebab-Sebab Penyerangan

Beberapa sejarawan menyangkal, bahwa sebab-sebab penyerangan Genghis Khan ke Kesultanan Khwarizmia tidak sesederhana yang digambarkan oleh Juvaini, sebagaimana telah kita bahas pada artikel sebelumnya, yakni karena Inalchuq, Gubernur Otrar, telah menjarah dan membunuh para utusan pedagang dari Mongol. Pada intinya mereka menolak, mustahil jika karena semata-mata beberapa pedagangnya dibunuh oleh pemerintah negara asing, Genghis Khan rela menggerakkan pasukannya untuk membumihanguskan sebuah negara, semestinya ada persoalan lain yang jauh lebih besar.

Bila ditarik ke belakang, bibit-bibit perseteruan antara Kesultanan Khwarizmia dan Kekaisaran Mongol bahkan sudah mulai muncul pada saat Genghis Khan menaklukkan Dinasti Jurchen Jin di China Utara. Ketika pasukan Genghis Khan menduduki Zhongdu (ibu kota Jurchen Jin, sekarang Beijing), beritanya bahkan telah sampai ke wilayah Asia Barat.

Intelijen Kesultanan Khwarizmia yang diutus oleh Sultan Muhammad II, datang ke Zhongdu dalam sebuah misi pengintaian. Dia kemudian melaporkan, bahwa tanah Zhongdu telah berlumur oleh minyak yang berasal dari lemak manusia orang-orang yang dibantai, cairan itu mengalir dari tumpukan tulang yang sangat besar. Salah satu bagian tumpukan tulang-tulang tersebut berada di dekat dinding benteng, mereka adalah tumpukan mayat dari para wanita muda Zhongdu yang lebih memilih melompat dari atas dinding benteng ketimbang mesti jatuh ke tangan tentara Mongol.[1]

Kisah di atas didapat dari Minhaj al- Din Ustman bin Siraj al- Din Juzjani, seorang sejarawan Muslim yang mulai menulis tentang sejarah Mongol pada tahun 1260-an di wilayah Kesultanan Delhi, dia menulis berdasarkan kesaksian orang-orang yang masih hidup dan telah hijrah ke India.[2] Setelah mendengar desas-desus tentang kekejaman bangsa Mongol, banyak rakyat Kesultanan Khwarizmia yang memilih untuk mengungsi dari Transoxiana, peristiwa larinya orang-orang ini bahkan sudah terjadi dua tahun sebelum Genghis Khan menyerang Khwarizmia. Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa Dunia Islam pada waktu itu telah mendapatkan informasi tentang tumbuhnya kekuatan baru yang tangguh yang telah muncul di luar perbatasan teritori Muslim.[3]

Pada era kekinian, Ilya Pavlovich Petrushevsky, seorang sejarawan dan Iranologi asal Rusia,[4] juga menolak penyederhanaan Juvaini. Berdasarkan penelitiannya, dia mengatakan bahwa bangsa Mongol seringkali menggunakan utusannya baik untuk kepentingan spionase maupun untuk menyebarkan informasi yang salah dan menyebarkan kepanikan di antara musuh-musuh mereka. Dalam pandangan Petrushevsky, tanggung jawab atas pecahnya perang sepenuhnya ada pada Genghis Khan.[5]

Selain itu, bagaimanapun, bahwa penggunaan pedagang sebagai mata-mata telah biasa dilakukan sepanjang sejarah. Dan sebagaimana yang diungkapkan oleh Juzjani, mengutip dari saksi-saksi, bahwa Sultan Muhammad II sendiri lah yang telah mengambil inisiatif awal dengan mengirimkan misi dagang yang bertujuan untuk memata-matai tentang kekuatan bangsa Mongol, yang pada akhirnya mendorong Genghis Khan untuk mengirim utusan dagangnya ke Khwarizmia.[6]

Namun demikian, ketimbang hanya karena persoalan spionase, ada agenda lainnya yang jauh lebih besar, yakni mengenai perdagangan. Genghis Khan telah menguasai Jurchen Jin di China Utara, dan oleh karena itu, segala perdagangan dari berbagai belahan dunia dengan Dinasti Song di China Selatan – yang memiliki kekayaan dan barang-barang kualitas terbaik di dunia – harus melewati wilayah kekuasaan Mongol terlebih dahulu. Genghis Khan paham betul dengan situasi ini, dia kini mengendalikan Jalur Sutra yang selama ini dianggap tidak bertuan – yang mana dulunya para pedagang ketika melintas hanya akan berurusan dengan suku-suku pengembara kecil, bukan kekaisaran.[7]

Kita juga seharusnya tidak melupakan konteks lainnya dari peristiwa-peristiwa terkait. Juvaini mengisahkan, bahwa setelah pasukan Mongol menaklukkan Dinasti Kara Khitan di bawah kepemimpinan Guculuk Khan, mereka juga masuk ke wilayah Almaligh (sekarang bernama Huocheng County, salah satu kota di Xinjiang, China), wilayah Muslim lainnya yang telah dikooptasi oleh Guculuk Khan. Pasukan Mongol datang ke sana atas permintaan Ozar, penguasa Muslim setempat, yang sebelumnya menyatakan kesetiaan terhadap Genghis Khan dan ingin menjadi negara bawahan (vassal state) Kekaisaran Mongol. Ketika pasukan Mongol membebaskan Almaligh, Ozar sudah dibunuh oleh Guculuk Khan, dan sebagai gantinya Genghis Khan memerintahkan putra Ozar, Siqnaq Tegin, untuk naik ke tampuk kekuasaan dan menikahkannya dengan salah satu anak perempuan Jochi (putra pertama Genghis Khan).[8]

Jamal al-Qarshi, yang dikenal sebagai cendekiawan Muslim dari pegunungan Tian Shan, yang juga merupakan penduduk Almaligh, menulis sejarah tentang Mongol pada sekitar tahun 1303,[9] memberikan komentarnya terhadap peristiwa di atas. Menurutnya, Almaligh berbatasan langsung dengan wilayah Kesultanan Khwarizmia, dan masuknya pasukan Mongol ke sana, adalah salah satu bentuk provokasi perang terhadap Sultan Muhammad II. Dan bukan hanya Almaligh, tumbangnya Kara Khitan juga telah membuat seluruh wilayah Turkestan Timur menjadi milik Kekaisaran Mongol.[10]

Hal lainnya, sebagaimana tertuang dalam dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol, Teb Tengeri, shaman resmi Kekaisaran Mongol terdahulu, berulang kali menyatakan bahwa Langit Biru Abadi akan menjadikan Genghis Khan sebagai penguasa dunia. Teb Tengeri pada waktu itu merupakan shaman kepercayaan Genghis Khan, karena berulang kali perkataannya selalu dianggap akurat.[11] Dalam Sejarah Rahasia, Genghis Khan digambarkan sangat percaya terhadap Teb Tengeri. Jika memang demikian, maka tidak diragukan lagi, Genghis Khan telah memiliki ambisi global, dalam artian ingin menjadi penguasa dunia. Dengan fakta-fakta di atas, perang dengan Kesultanan Khwarizmia yang berbatasan langsung, dan terhitung sebagai negara terkaya dan maju pada masanya, cepat atau lambat akan terjadi dan tidak terelakkan. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 71.

[2] Ibid., hlm 19.

[3] Ibid., hlm 71.

[4] “Islam in Iran”, dari laman http://www.sunypress.edu/p-431-islam-in-iran.aspx, diakses 8 April 2019.

[5] Peter Jackson, Op.Cit., hlm 72.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 73.

[8] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 74-77.

[9] Jin Yijiu (ed), Islam: Religious Studies in Contemporary China Collection (Brill, 2017), hlm 119.

[10] Peter Jackson, Loc.Cit.

[11] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 158-163.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*