Pasukan Mongol pergi meninggalkan Masjid Bukhara, tidak mempedulikan Alquran yang terinjak-injak oleh kaki dan kuda mereka. Genghis Khan berkata, “Aku adalah hukuman dari Tuhan.”
Sampai di depan Masjid Agung Bukhara, Genghis Khan turun dari kudanya dan berjalan masuk ke dalamnya, satu-satunya bangunan yang pernah dimasuki dalam hidupnya. Setelah masuk, dia memerintahkan agar para ulama untuk memberi makan kudanya, “Pedesaan (desa atau kota-kota kecil di sekeliling Bukhara) kehabisan makanan ternak, isilah perut kuda-kuda kami.”[1]
Ini adalah sebuah sinyal, ketika Genghis Khan memberi perintah dan mereka mengikutinya, maka mereka sudah dianggap menjadi pengikutnya, dan dengan demikian mereka terbebaskan dari bahaya lebih lanjut dan berada di bawah perlindungannya. Dan memang ini adalah tradisi Genghis Khan, di mana pun dia tidak pernah melukai para pemuka agama.[2]
Para ulama itu menuruti perintahnya, membawakan makanan untuk kuda-kuda orang Mongol. Untuk wadah makan kuda, karena tidak ada wadah lain, para ulama menggunakan keranjang tempat penyimpanan Alquran. Alquran dikeluarkan dari tempatnya dan disimpan di halaman masjid. Sambil menunggu, para prajurit Mongol mulai membagi-bagikan anggur (wine) di antara mereka. Mereka juga meminta dipanggilkan para gadis penyanyi dan penari kota untuk menghibur mereka. Sambil menikmati pertunjukkan kesenian, para prajurit Mongol turut bernyanyi, menyelaraskannya dengan lagu tradisional Mongol.
Setelah sekitar satu atau dua jam, Genghis Khan bangkit berdiri, dia ingin kembali ke perkemahannya. Diikuti oleh para prajuritnya, orang-orang Mongol berderap pergi meninggalkan halaman masjid. Pasukan itu pergi meninggalkan Alquran di halaman masjid dengan terinjak-injak oleh kaki-kaki dan kuda-kuda mereka, membuat lembaran-lembaran suci itu menjadi jadi kotor, berdebu, dan rusak.
Menyaksikan pemandangan pasukan Mongol yang berlalu, Imam Jalal-ad-Din Ali bin al-Hasan Zaidi, seorang sayyid terkemuka Transoxiana, menoleh kepada Rukn-ad-Din Imamzada, seorang imam terpelajar ahli agama yang paling berilmu pada masanya. Sayyid Ali berkata, “Maulana, apa maksud dari semua ini?” Maulana Imamzada menjawab, “Diamlah, angin Kemahakuasaan Allah yang bertiup, dan kita tidak memiliki kekuatan untuk berbicara.”
Selanjutnya, sebelum sampai ke perkemahan, Genghis Khan menghampiri pusat keramaian kota, di sana dia memerintahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang paling kaya di kota Bukhara. Setelahnya, sebanyak 280 orang terkumpul, yang mana 190 di antara mereka adalah penduduk asli, dan sisanya merupakan pendatang.
Dia kemudian berbicara kepada mereka melalui seorang penerjemah, “Wahai orang-orang, ketahuilah bahwa kalian telah melakukan dosa besar, dan bahwa orang terbesar (Sultan) di antara kalian lah yang telah melakukan dosa-dosa ini. Jika kalian bertanya kepadaku bukti apa yang aku miliki untuk kata-kata ini, aku mengatakannya karena aku adalah hukuman dari Tuhan. Jika kalian tidak melakukan dosa besar, Tuhan tidak akan mengirim hukuman sepertiku kepada kalian.”
Setelah berbicara dengan penekanan seperti itu, dia berbicara lagi dengan tenang dan datar , memberikan instruksi singkat, “Tidak ada gunanya memberitahu harta kalian yang berada di muka bumi (maksudnya yang terlihat), katakan padaku yang berada di perut bumi (maksudnya yang disembunyikan).”[3] Dia kemudian menyerahkan masing-masing orang kaya itu kepada penanganan prajuritnya. Setiap mereka akan ditemani satu prajurit Mongol, pergi ke rumah masing-masing dan diambil harta tersembunyinya. Genghis Khan telah memberi peringatan, orang-orang kaya itu tidak perlu repot-repot menunjukkan kekayaan mereka yang terlihat, orang Mongol dapat menemukannya tanpa bantuan. [4]
Setelah penjarahan sistematis di kota itu dimulai, Genghis Khan kemudian mengalihkan perhatiannya untuk menyerang para prajurit Turki yang masih tertutup rapat di dalam benteng Bukhara. Meskipun tidak mengenal orang-orang Mongol secara khusus, penduduk oasis perkotaan di kota-kota Asia tengah seperti Bukhara dan Samarkand telah menyaksikan begitu banyaknya penyerangan suku-suku barbar yang datang dan pergi selama berabad-abad.
Tidak peduli seberapa berani atau disiplinnya, suku-suku itu tidak pernah menjadi ancaman besar, karena pasukan pertahanan kota, selama mereka memiliki makanan dan air, dapat bertahan tanpa batas di balik tembok besar benteng mereka. Dilihat dari ukuran umum, pasukan Mongol seharusnya bukan lawan bagi para prajurit karir Bukhara yang terlatih secara profesional.
Meskipun bangsa Mongol dikenal memiliki kemampuan memanah di atas rata-rata, namun busur-busur mereka merupakan tanggung jawab masing-masing prajurit, mereka mesti membuatnya sendiri dan dengan kualitas yang bervariasi. Demikian pula, meskipun bangsa Mongol terkenal tangguh dan disiplin, namun mereka tidak memiliki sistem seleksi profesional sebagaimana tentara Bukhara. Seleksi militer bangsa Mongol hanya mengandalkan ikatan kekerabatan, kesukuan, dan persahabatan.
Faktor terbesar yang membuat pasukan Turki yang berada di balik dinding benteng Bukhara merasa percaya diri adalah karena mereka menyangka, bahwa sebelumnya tidak pernah ada satu pun pasukan suku barbar yang mampu menguasai teknologi persenjataan kompleks yang dapat meruntuhkan pertahanan benteng. Menurut mereka, pasukan Mongol tidak akan jauh berbeda. Namun Genghis Khan telah siap dengan semua ini, dia memiliki sesuatu yang hendak ditunjukkan kepada mereka.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 104.
[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 1.
[3] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Op.Cit., hlm 104-105
[4] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Loc.Cit.
[5] Ibid.