Suatu malam Ustman bermimpi, dari pusarnya tumbuh pohon yang sangat besar yang menaungi wilayah-wilayah seperti Kaukasus di Eurasia, Atlas di Afrika Utara, Taurus di Anatolia, dan Balkan di Eropa. Mimpi itu diartikan sebagai penanda bahwa dia akan menguasai wilayah-wilayah tersebut.
Setelah mewarisi gelar ayahnya — sebagai bey, yang berarti pangeran — suatu malam Ustman (Osman) bermalam di rumah sahabat keluarga: seorang pemilik otoritas agama Islam terkemuka, Sheikh Edebali. Sebelumnya, Osman telah meminta agar dia diizinkan untuk menikahi putrinya, namun orang tua itu menolaknya. Tapi malam ini, setelah tertidur, Osman bermimpi. Kisah di dalam mimpinya kelak akan menjadi pijakan dasar dari mitos tentang Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman).[1]
Aşıkpaşazade, atau Darwish Ahmad, adalah seorang sufi abad ke-15 yang menuliskan sejarah tentang Ottoman. Berikut ini adalah mimpi Osman sebagaimana dikisahkan oleh Aşıkpaşazade:
“Dia melihat bulan muncul dari dada pria suci itu dan mulai terbenam di dadanya sendiri. Sebuah pohon kemudian tumbuh dari pusarnya dan bayangannya melingkungi dunia. Di bawah bayangannya ada gunung-gunung, dan aliran-aliran sungai mengalir keluar dari kaki setiap gunung. Beberapa orang minum dari air yang mengalir ini, yang lain menyirami kebun, sementara yang lain menyebabkan air mancur mengalir. Ketika Osman terbangun dia menceritakan kisah itu kepada orang suci itu, dia berkata, ‘Osman, putraku, selamat, karena Allah telah memberikan kekaisaran kepadamu dan keturunanmu, dan putriku Malhun akan menjadi istrimu’.”[2]
Dalam versi lain, mimpi Osman digambarkan dengan lebih detail, dalam mimpinya Osman melihat dirinya dan Syeikh Edebali berhadap-hadapan. Tiba-tiba, bulan purnama muncul dari dada syekh, naik ke langit, dan kemudian turun ke dada Osman sendiri. Kemudian pohon besar yang indah muncul, di bawahnya terdapat empat pegunungan: Kaukasus di Eurasia, Atlas di Afrika Utara, Taurus di Anatolia, dan Balkan di Eropa. Kemudian, empat sungai keluar dari dasar pohon: Tigris, Euphrates, Danube, dan Nil. Setelahnya, Osman mendapatkan visi tentang panen yang melimpah, dan para pedagang datang dengan kapal dari seluruh penjuru dunia.[3]
Selanjutnya, daun-daun di pohon berubah menjadi pedang yang ditiup oleh angin kencang sampai seluruhnya menunjuk ke arah Konstantinopel. Kota besar ini, yang terletak di antara dua samudra dan dua benua, di mata Osman terlihat seperti susunan berlian di antara dua safir dan dua zamrud. Mereka kemudian terbentuk menjadi batu paling berharga yang melekat pada sebuah cincin yang menjadi simbol atas kerajaan yang mendunia. Saat Osman hendak memasang cincin di jarinya, dia terbangun. Osman bertanya pada Syekh apa arti mimpinya, sesepuh ulama itu kemudian mengatakan, “Allah yang Maha Kuasa telah memberikan kekuasaan kepadamu dan keturunanmu. Putriku akan menjadi istrimu, dan seluruh dunia akan berada di bawah perlindungan anak-anakmu.”[4]
Kekacauan di Anatolia
Hulagu Khan, putra Tolui dan cucu dari Genghis Khan, meninggal pada tahun 1265. Penerusnya adalah Ilkhan Persia, yang memeluk Islam sekaligus peradabannya dengan antusiasme yang sama. Sebagaimana sejarawan Muslim Rashid ad-Din katakan, “Bangsa Mongol, yang hingga saat itu hanya bisa menghancurkan, sekarang mulai membangun.” Tetapi, dengan demikian bangsa Mongol untuk membangun peradaban, mereka harus membayarnya dengan meninggalkan budaya kekerasan. Genghis Khan sudah memberikan peringatan, apabila mereka meninggalkannya, maka akan ada konsekuensi yang harus dihadapi, yakni perpecahan dari dalam. Pada tahun 1291, perselisihan karena suksesi di antara Ilkhan Persia membuat wilayah terluar mereka jatuh ke dalam keadaan anarki.[5]
Perang di perbatasan dengan Dinasti Mamluk dari Mesir dimulai ketika pemberontakan pecah di Anatolia. Selain itu, karena dilemahkan oleh serangan Mongol, perlahan namun pasti, jatuhnya Kesultanan Rum Seljuk tinggal persoalan waktu. Situasi tersebut mendorong para penguasa kecil tertentu untuk mempertaruhkan klaim mereka pada kemerdekaan. Di antara mereka, keluarga Osman yang dulunya merupakan pengungsi yang diberikan wilayah kekuasaan kecil berupa beberapa km persegi padang rumput dan pertanian oleh Seljuk, turut serta mengambil bagian dari peluang yang datang tersebut.[6]
Situasi politik di Anatolia berubah secara drastis, ketika Kesultanan Seljuk mulai melemah, beberapa kelompok dari Islam militan telah bangkit untuk mengambil alih kekuasaan. Kelompok-kelompok fanatik yang agresif ini dikenal dengan sebutan Ghazi. Mereka menyebut diri mereka sebagai “pejuang suci” yang berjuang untuk menyebarkan iman, namun juga melakukan berbagai penjarahan sebagai upaya untuk mendukung pergerakan mereka. Tanpa basis kesukuan atau teritorial yang kuat, para Ghazi biasanya akan merapat pada pemimpin kuat yang menjanjikan kemenangan. Para pemimpin semacam itu kemudian cenderung menetapkan diri mereka sendiri sebagai penguasa wilayah yang telah mereka taklukkan. Keluarga Osman adalah salah satu di antara Ghazi yang berusaha untuk mengambil peluang.[7]
Sementara itu, di bagian lain dunia yang lebih luas juga mengalami perubahan besar. Pantai utara Mediterania antara Bosphorus dan Granada hampir seluruhnya berada di tangan orang-orang Kristen, sementara itu pantai selatannya berada di bawah pengaruh Islam. Sisi timur didominasi oleh Kesultanan Mamluk di Mesir. Di pantai selatan dan barat Anatolia terdapat populasi Muslim yang terpisah dari kantong-kantong kecil seperti Rhodes yang merupakan pewaris kerajaan-kerajaan bekas Pasukan Salib. Di utara ada Kekaisaran Bizantium kuno yang dulunya sangat kuat, namun kini mulai melemah.[8]
Dengan situasi politik yang kacau seperti itu, pada 27 Juli 1299, Osman mendeklarasikan kemerdekaannya. Osman beruntung karena dua raksasa dinasti yang sedang berkuasa pada waktu itu mengalami persoalan-persoalan tersendiri yang harus mereka hadapi: pertama, bangsa Mongol yang begitu kuat namun mereka sedang dilanda konflik internal, dan kedua, Kekaisaran Bizantium yang sedang berada dalam kondisi sangat lemah.[9] (PH))
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 152.
[2] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 2-3.
[3] Eamon Gearon, Ibid., hlm 152-154.
[4] Ibid., hlm 154.
[5] Stephen Turnbull, The Ottoman Empire 1326-1699 (Osprey Publishing: 2003), hlm 10.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Eamon Gearon, Loc.Cit.