Mozaik Peradaban Islam

Habib al-Ajami (2): Sang Rentenir yang Menjadi Wali Allah (2)

in Tasawuf

Last updated on January 29th, 2020 02:57 pm

Berita tentang Habib yang dikutuk menyebar luas, bahkan anak-anak ketika melihatnya berkata, “Inilah dia Habib si rentenir. Lari, jangan sampai debunya menempel pada kita dan kita menjadi dikutuk seperti dia!”

Lukisan karya Eugene Baugnies.

Mari kita lanjutkan kembali kisah Habib al-Ajami yang dituturkan oleh Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya. Setelah Habib mendapati makanannya berubah menjadi darah hitam, dia berkata kepada istri si pengutang:

“Hai wanita,” katanya, “aku bertobat dari semua yang telah kulakukan.”

Hari berikutnya dia pergi mencari orang-orang yang berutang kepadanya. Waktu itu kebetulan hari Jumat, dan anak-anak sedang bermain di jalanan. Ketika mereka melihat Habib, mereka mulai berteriak.

“Inilah dia Habib si rentenir. Lari, jangan sampai debunya menempel pada kita dan kita menjadi dikutuk seperti dia!”

Kata-kata ini sangat menyakitkan bagi Habib. Dia lalu mengambil jalan ke gedung pertemuan, dan di sana dia mendengar suatu kalimat dari bibir Hasan al-Basri (yang sedang ceramah) yang tepat menusuk ke jantung hatinya, sampai-sampai dia pingsan. Menyadari apa yang terjadi, Hasan al-Basri memegang tangannya dan menenangkannya.

Ketika dia pulang dari pertemuan itu, salah satu pengutangnya melihatnya, yang mana kemudian melarikan diri.

“Janganlah lari,” Habib memanggilnya. “Sampai barusan adalah engkau yang lari dariku; tapi sekarang aku lah yang harus lari darimu.”

Dia berjalan kembali. Anak-anak masih bermain. Ketika mereka melihat Habib mereka berteriak lagi.

“Inilah dia Habib yang bertobat. Lari, jangan sampai debu kita menempel padanya, karena kita adalah para pendosa yang melawan Allah.”

“Ya Allah, ya Tuhanku!” tangis Habib. “Karena satu hari ini saja, ketika aku telah berdamai dengan-Mu, Engkau telah mengetuk genderang hati orang-orang untukku dan melambungkan namaku dengan kebaikkan.”

Kemudian dia membuat sebuah pengumuman.

“Siapa pun yang menginginkan apa pun dari Habib, datang dan ambillah!”

Orang-orang berkumpul, dan dia menyerahkan semua harta miliknya sampai tidak sedikitpun uangnya tersisa. Seorang lainnya datang dengan sebuah permintaan. Karena tidak ada lagi yang tersisa, Habib memberinya chaddur[1] istrinya.  Kepada peminta yang lainnya lagi, dia memberikan bajunya sendiri, dan membuatnya menjadi telanjang.

Dia kemudian membereskan sebuah tempat untuk menyepi di tepi Sungai Eufrat, dan di sana dia memasrahkan dirinya untuk menyembah Allah. Setiap malam dia belajar di bawah bimbingan Hasan al-Basri, tetapi dia tidak mampu mempelajari Alquran, dan karenanya dia dijuluki si Barbar.

Waktu berlalu, dan dia menjadi benar-benar melarat. Istrinya terus menerus memintanya uang untuk kebutuhan rumah tangga. Karenanya Habib pergi dari rumahnya dan menuju ke tempat penyepian untuk melanjutkan pengabdiannya (kepada Allah). Ketika malam tiba, dia baru kembali ke istrinya.

“Dari mana saja engkau bekerja, kenapa tidak membawa apa pun ke rumah?” desak istrinya.

“Orang yang aku bekerja untuknya begitu murah hati,” jawab Habib. “Dia begitu murah hati sehingga aku malu untuk meminta sesuatu padanya. Jika waktu yang tepat telah tiba, dia akan memberi. Karena dia telah berkata, ‘Setiap sepuluh hari sekali aku akan memberi upah.’.”

Jadilah Habib setiap harinya mendatangi tempat penyepian untuk beribadah, sampai waktu sepuluh hari telah habis. Pada hari ke sepuluh, pada waktu salat Dzuhur, sebuah pikiran memasuki benaknya.

“Apa yang bisa aku bawa pulang malam ini, dan apa yang harus aku katakan kepada istriku?”

Dan dia merenungkan ini dalam-dalam. Langsung saja Allah Yang Mahakuasa mengirim seorang pengangkut barang ke depan pintu rumahnya dengan membawa begitu banyak tepung gandum, yang lainnya membawa daging domba yang telah dikuliti, dan yang lainnya lagi membawa minyak, madu, rempah-rempah, dan bumbu-bumbuan.

Para tukang angkut memuat semua barang-barang ini. Seorang pemuda tampan menemani mereka, membawa dompet berisi tiga ratus dirham perak. Datang ke rumah Habib, dia mengetuk pintu.

“Ada perlu apa?” tanya istri Habib, membuka pintu.

“Tuan kami telah mengirim semua ini,” jawab pemuda tampan itu. “Katakan pada Habib, ‘Engkau tingkatkan kerjamu, dan kami akan meningkatkan upahmu.’.”

Setelah berkata demikian, dia pergi. Saat malam tiba, Habib melanjutkan perjalanan pulang, dengan merasa malu dan muram. Ketika dia mendekati rumahnya, aroma roti dan masakan menusuk lubang hidungnya. Istrinya berlari untuk menyambutnya dan menyeka wajahnya dan bersikap lembut padanya, sesuatu yang belum pernah dilakukannya sebelumnya.

“Suamiku,” dia menangis, “orang yang engkau bekerja untuknya adalah orang yang sangat baik, murah hati, dan penuh cinta kasih. Lihat apa yang dia kirimkan dengan tangan seorang pemuda tampan! Dan pemuda itu berkata, ‘Ketika Habib pulang, katakan padanya, ‘Engkau tingkatkan kerjamu, dan kami akan meningkatkan upahmu.’.”

Habib terkagum-kagum.

“Luar biasa!” serunya. “Aku bekerja selama sepuluh hari, dan dia memberi semua kebaikan untukku. Jika aku bekerja lebih keras, siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan?”

Dan dia memalingkan wajahnya sepenuhnya dari hal-hal duniawi dan menyerahkan diri untuk mengabdi kepada Allah.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumya:

Catatan Kaki:


[1] Pakaian bagian luar wanita. Biasa digunakan oleh wanita-wanita Persia.

[2] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 20-23.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*