Mozaik Peradaban Islam

Habib al-Ajami (3): Karamah Habib

in Tasawuf

Last updated on January 30th, 2020 12:36 pm

Suatu waktu Hasan al-Basri sedang menunggu perahu yang terlambat. Habib lalu datang, dan mempertanyakan mengapa Hasan mesti menunggu. Habib berjalan di atas air dan pergi. Melihatnya, Hasan pingsan.

Foto ilustrasi: daylekinney

Doa yang Dikabulkan

Suatu hari, seorang wanita tua datang menemui Habib dan, terjatuh di kakinya, menangis dengan sedih.

“Aku memiliki seorang putra yang sudah lama tidak kutemui. Aku tidak tahan lagi terpisah darinya. Sampaikan lah doa kepada Allah,” dia memohon kepada Habib. “Mungkin dengan berkah doamu Allah akan mengirimnya kembali kepadaku.”

“Apakah engkau memiliki uang?” tanya Habib padanya. “Ya, dua dirham,” jawabnya.

“Bawalah uang itu, dan berikan kepada orang miskin.”

Dan Habib pun mengucapkan doa, lalu dia berkata kepada wanita tua itu, “Pergilah. Putramu telah kembali kepadamu.”

Wanita tua itu belum juga sampai ke depan pintu rumahnya, dia telah melihat putranya.

“Bagaimana bisa, ini dia putraku!” teriaknya, dan dia membawanya ke Habib.

“Apa yang terjadi?” tanya Habib kepada putra wanita tua itu.

“Aku sedang berada di Kerman,” jawab putranya. “Guruku menyuruhku untuk mencari beberapa daging. Aku mendapatkan dagingnya dan baru saja hendak kembali kepadanya, saat itulah angin menahanku. Aku mendengar suara berkata,

“‘Angin, bawalah dia pulang ke rumahnya, dengan berkah dari doa Habib dan dua dirham yang diberikan untuk sedekah.’.”

Berpindah Tempat dalam Waktu Singkat

Suatu tahun, pada tanggal 8 Zulhijah Habib terlihat di Basrah (Irak), dan pada tanggal 9-nya sudah berada di Arafah (Makkah).

Dompet yang Terisi dengan Sendirinya

Suatu waktu pernah terjadi kelaparan di Basrah. Habib membeli banyak bahan makanan secara berutang dan membagikannya secara cuma-cuma sebagai sedekah. Dia mengikat dompetnya dan meletakkannya di bawah bantalnya. Ketika pedagang itu datang untuk meminta pembayaran, dia akan mengambil dompetnya dan itu telah penuh dengan dirham, yang jumlahnya sebanyak utangnya.

Allah-lah yang Mengawasi

Habib memiliki sebuah rumah di Basrah, di sebuah persimpangan jalan. Dia juga memiliki mantel bulu yang dia kenakan baik pada musim panas maupun musim dingin. Suatu kali, karena perlu melakukan ritual mandi, dia bangkit dan meninggalkan mantelnya di tanah. Hasan al-Basri, yang muncul di tempat kejadian, menyangka mantel itu diletakkan begitu saja di jalan.

“Orang ‘Barbar’ ini tidak tahu nilainya,” komentarnya.[1] “Mantel bulu ini seharusnya tidak ditinggalkan di sini. Ia bisa saja hilang.”

Jadi dia berdiri di sana mengawasinya. Tidak lama kemudian Habib kembali.

“Wahai Imam umat Muslim,” serunya setelah memberi hormat kepada Hasan, “mengapa engkau berdiri di situ?”

“Apakah engkau tidak tahu,” jawab Hasan, “bahwa mantel ini tidak boleh ditinggalkan di sini? Mungkin saja ia bisa hilang. Katakanlah, dititipkan kepada siapa ketika engkau meninggalkannya?”

“Kepada-Nya,” jawab Habib, “yang  telah menunjukmu untuk mengawasinya.”

Pengetahuan Harus Disertai dengan Keyakinan

Suatu hari Hasan datang bertamu ke Habib. Habib menyodorkan dua potong roti gandum dan sedikit garam di hadapan Hasan. Hasan mulai makan. Seorang pengemis datang ke pintu, dan Habib mengambil dua potong roti dan garam itu dan memberikannya kepadanya.

“Habib,” kata Hasan keheranan, “engkau orang baik. Jika saja engkau memiliki pengetahuan, itu akan lebih baik lagi. Engkau mengambil roti dari bawah hidung tamumu dan memberikan semuanya kepada pengemis. Engkau seharusnya memberikan sebagian kepada pengemis dan sebagian untuk tamu.”

Habib tidak berkata apa pun. Tidak lama kemudian seorang budak masuk dengan membawa nampan di kepalanya. Domba panggang berada di atas nampan, bersama dengan manisan dan roti halus, dan lima ratus dirham perak. Dia mengatur nampannya di hadapan Habib. Habib memberikan uangnya kepada orang miskin, dan meletakkan nampannya di hadapan Hasan.

“Guru,” katanya ketika Hasan sudah  memakan beberapa daging panggang, “engkau orang baik. Jika saja engkau memiliki sedikit keyakinan, itu akan lebih baik lagi. Pengetahuan harus disertai dengan keyakinan.”

Berjalan di Atas Air

Suatu waktu Hasan ingin pergi ke suatu tempat. Dia turun ke tepi Sungai Tigris, dan sedang memikirkan sesuatu bagi dirinya sendiri ketika Habib tiba di sana.

“Imam, mengapa engkau berdiri di sini?” tanyanya.

“Aku ingin pergi ke suatu tempat. Perahunya terlambat,” jawab Hasan.

“Guru, apa yang terjadi padamu?” tanya Habib. “Aku belajar semua yang aku tahu darimu. Usir dari hatimu semua rasa iri terhadap orang lain. Tutuplah hatimu terhadap hal-hal duniawi. Ketahuilah bahwa penderitaan adalah hadiah yang berharga, dan pastikan bahwa semua urusan berasal dari Allah. Kemudian jejakkan kaki di atas air dan berjalan.”

Setelah berkata demikian Habib melangkah ke atas air dan pergi. Hasan pingsan. Ketika dia pulih, orang-orang bertanya kepadanya, “Imam umat Muslim, apa yang terjadi kepadamu?”

“Muridku, Habib, baru saja menegurku,” jawabnya. “Lalu dia melangkah ke atas air dan pergi, sementara aku tertinggal tidak berdaya. Jika besok terdengar tuntutan, ‘Lewatilah jalan yang membara’ — jika aku tetap tidak berdaya seperti ini, apa yang bisa aku lakukan?”

“Habib,” Hasan bertanya kemudian, “bagaimana engkau mendapatkan kekuatan ini?”

“Karena aku membuat hatiku putih, sedangkan engkau membuat kertas hitam,” jawab Habib.

“Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain,” komentar Hasan.[2]


Menyimak kisah-kisah di atas, terutama tentang interaksi-interaksi Habib dengan gurunya, Hasan al-Basri, sepintas Habib terlihat telah melampaui Hasan. Namun menurut John Renard, penulis buku  Friends of God: Islamic Images of Piety, sesungguhnya tidak demikian. Menafsirkan pemikiran Farid al-Din Attar, Renard mengatakan bahwa tingkatan Habib tetap masih di bawah Hasan.

Renard menjelaskan, bahwa menurut Farid al-Din Attar karamah (kejadian luar biasa/kejaiban) nilainya masih di bawah pengetahuan. Karamah hanya membutuhkan tingkat kesalehan lebih lanjut, tetapi tidak halnya dalam pengetahuan, ia membutuhkan perenungan yang jauh lebih mendalam.

Farid al-Din Attar menekankan bahwa pengetahuan Hasan begitu tinggi sehingga dia diumpakan seperti hubungan Nabi Musa terhadap Nabi Sulaiman. Sulaiman memang memiliki banyak mukjizat, tetapi Musa, dengan pengetahuannya mampu melakukan sesuatu yang lebih besar ketimbang dari sekedar mukjizat.[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Silakan lihat seri artikel sebelumnya, di sana ada penjelasan mengapa Habib dijuluki “si Barbar”.

[2] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 24-28.

[3] John Renard, Friends of God: Islamic Images of Piety, Commitment, and Servanthood (University of California Press, 2008), hlm 26.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*