Seseorang berkata kepada Hudzaifah, “Demi Allah! Seandainya kami hidup di zaman Rasulullah, kami tidak akan membiarkan dia berjalan di muka bumi, melainkan kita akan menggendongnya di atas bahu kita.” Hudzaifah meragukannya, seraya berkata, “Benarkah itu yang akan engkau lakukan?”
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah masuk Islam. Sementara kaumku tidak mengetahui tentang keislamanku ini. Maka perintahkanlah kepadaku apapun yang engkau kehendaki!” kata Nuaim bin Masud RA kepada Rasulullah SAW.
“Engkau adalah satu-satunya (dari kaumnya-pen),” jawab Rasulullah, “berilah pertolongan kepada kami menurut kesanggupanmu. Karena peperangan itu adalah tipu muslihat.”
Selanjutnya Nuaim pergi menemui pihak musuh, menemui kaum Yahudi Bani Quraizhah dan para pemimpin pasukan sekutu, yang mana masih menganggap Nuaim sebagai kawan, mereka tidak tahu bahwa Nuaim sudah masuk Islam dan berpihak kepada Rasulullah.
Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dalam Sirah Nabawiyah menggambarkan percakapan dan lobi yang cukup panjang dalam usaha Nuaim untuk melancarkan “tipu muslihat”-nya terhadap pihak-pihak yang dimaksud. Namun apabila hendak diringkas, kurang lebih jalannya seperti ini:
Pertama, dia menemui para pemimpin Bani Quraizhah yang merupakan sahabat-sahabat lamanya sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Dia memperingatkan mereka, bahwa jika mereka membantu pasukan sekutu, tidak ada kepastian bahwa pasukan sekutu akan menang. Pasukan sekutu jika kalah akan pulang tanpa beban apapun, sebaliknya, mereka akan berada di bawah kekuasaan Muhammad yang akan menuntut balas atas pengkhianatan mereka.
“Kalian tidak perlu berperang bersama mereka (pasukan sekutu-pen) kecuali setelah mereka memberi sandera (sebagai jaminan bahwa mereka tidak akan ditinggalkan oleh pasukan sekutu-pen) kepada kalian,” kata Nuaim. Orang-orang Yahudi sependapat dengan Nuaim, dia berhasil menyentuh titik kekhawatiran mereka.
Selanjutnya Nuaim pergi menemui Abu Sufyan, pemimpin pasukan sekutu, memberitahunya bahwa Bani Quraizhah telah membelot ke Muhammad. Dia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi itu bermaksud meminta sandera sebagai jaminan atas persekutuan mereka, namun mereka sesungguhnya hendak menyerahkan sandera itu kepada Muhammad.
Dengan demikian, dia menyarankan agar jangan pernah memberikan sandera kepada Bani Quraizhah. Nuaim juga menyampaikan hal yang sama terhadap kabilah-kabilah lainnya yang tergabung dalam pasukan sekutu.
Kemudian pada hari Sabtu, bukan Syawal 5 H, pasukan sekutu mengirimkan utusannya menemui Bani Quraizhah, meminta mereka untuk bangkit bersama melawan Muhammad. Bani Quraizhah memberikan jawaban, “Hari ini adalah hari Sabtu (Sabtu adalah hari yang sakral bagi orang-orang Yahudi-pen). Kalian sudah tahu akibat yang menimpa orang-orang sebelum kami karena mereka berperang pada hari ini. Di samping itu, kami tidak mau berperang bersama kalian kecuali setelah kalian memberikan sandera kepada kami.”
Pasukan sekutu memberikan balasan, “Demi Allah, kami tidak akan mengirimkan seorangpun sandera kepada kalian. Bergabunglah bersama kami untuk menghabisi Muhammad.”
Usai kejadian ini, baik Bani Quraizhah maupun Pasukan Sekutu sama-sama berkata di antara mereka sendiri, “Demi Allah, benar apa yang dikatakan Nuaim kepada kalian!”
Nuaim berhasil, kedua belah pihak telah diperdayai olehnya, sehingga tercipta perpecahan di barisan musuh. Semangat perang mereka juga menjadi turun drastis. Dalam situasi seperti ini, Rasulullah lalu berdoa, “Ya Allah Yang menurunkan al-Kitab dan yang cepat hisab-Nya, kalahkanlah pasukan musuh. Ya Allah, kalahkanlah dan guncangkanlah mereka.”
Tidak lama setelah Nabi Muhammad berdoa, datanglah badai yang memporak-porandakan tenda-tenda musuh. Tidak ada sesuatu yang tegak namun pasti ambruk, tidak ada yang tertancap melainkan pasti tercabut, dan tidak ada seorangpun yang dapat berdiri tegak di tempatnya.[1]
Mulai dari sini, barulah Hudzaifah bin al-Yaman memainkan perannya yang berani dan beresiko tinggi dalam Perang Khandaq. Jauh hari kemudian, setelah Rasulullah wafat, adalah Hudzaifah sendiri yang menceritakannya saat dia sedang berada di Kufah, Irak. Kisahnya, diceritakan kembali oleh Muhammad bin Kaab al-Quradhi:
Seseorang dari Kufah suatu waktu bertanya kepada Hudzaifah, “Wahai Abu Abdallah (nama panggilan Hudzaifah-pen)! Apakah kalian melihat (langsung-pen) Rasulullah dan bergaul dengannya?”
“Ya, keponakanku tersayang,” jawab Hudzaifah.
Orang itu kemudian bertanya lagi, “Apa yang biasanya kalian lakukan?”
Hudzaifah menjawab, “Demi Allah! Kami biasa mengerahkan diri kami (untuk membantu Rasulullah-pen) dengan amat sangat.”
Orang itu kemudian berkata, “Demi Allah! Seandainya kami berada di zaman Rasulullah, kami tidak akan membiarkan dia berjalan di muka bumi, melainkan kami akan menggendongnya di atas bahu kita.”
Hudzaifah menjawab, “Keponakanku tersayang! Aku bersumpah demi Allah bahwa aku bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq….” Dia kemudian melanjutkan ceritanya tentang ketakutan, kelaparan, dan dingin yang amat sangat yang harus mereka tanggung.
Riwayat lainnya dari Muslim mengatakan bahwa Hudzaifah bertanya kepada orang itu, “Benarkah itu yang akan engkau lakukan? Aku bersama dengan Rasulullah pada malam Perang Ahzab ketika berhembus angin yang sangat ganas dan dingin.” Dia kemudian melanjutkan menceritakan seluruh kejadiannya.
Riwayat lainnya dari Hakim dan Bayhaqi mengatakan bahwa Hudzaifah lalu berkata kepada orang itu, “Jangan pernah mengharapkan hal seperti itu.”[2]
Detail peristiwa selanjutnya akan diceritakan dalam sambungan artikel ini. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Lebih lengkap tentang Perang Khandaq, lihat Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), bab Perang Ahzab atau Khandaq.
[2] Lihat Ibnu Ishak, al-Sira, dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 276.