Mozaik Peradaban Islam

Islam di Kuba (11): Sulitnya Menjadi Muslim (1)

in Lifestyle

Last updated on June 21st, 2019 05:55 am


Muslim Kuba adalah Muslim yang sebenarnya, karena jauh lebih sulit untuk menjalani ajaran Islam di sini. Rum sudah seperti minuman wajib bagi orang Kuba, bagi mualaf ini bukan hal yang mudah.

Rum, minuman beralkohol di Kuba yang merupakan favorit masyarakat, harganya sangat murah. Foto: Getty

Budaya masyarakat Kuba hari ini bukanlah sesuatu yang mudah bagi para Muslim di negara itu. Salah satu contohnya adalah rum (salah satu jenis minuman beralkohol), ini adalah salah satu yang paling banyak dijual di kafe-kafe di Kuba. Minuman ini sangat populer, paling tidak karena memang harganya jauh lebih murah ketimbang minuman bersoda.

Selain alkohol, daging babi juga merupakan menu favorit bagi masyarakat Kuba – ini adalah daging yang dipakai dalam masakan pada setiap hari perayaan. Pada tahun 2016, supermarket di Kuba mulai mengimpor daging ayam halal dari Brazil, namun harganya tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Kuba sekalipun.

Dan untuk pakaian, kendatipun bukan sesuatu yang wajib secara syariat (dalam artian modelnya), seperti gamis atau jilbab, itu tidak dapat ditemukan di Kuba. Pakaian-pakaian semacam itu biasanya mereka dapatkan dari orang Muslim asing yang datang ke Kuba dan meninggalkannya sebagai hadiah.

“Banyak saudara dari negara lain mengatakan kepada saya, bahwa kami, Muslim Kuba, adalah Muslim yang sebenarnya, karena jauh lebih sulit untuk menjalani (ajaran Islam) di sini daripada di negara di mana banyak orang memiliki kepercayaan dan praktik yang sama,” ujar Haji Isa, salah seorang mualaf di Kuba.

Hassan Jan, mualaf Kuba lainnya, mengalami masa-masa sulit di awal perpindahannya ke Islam. “Makanan sulit karena semuanya terlarang. Daging yang paling banyak kita makan adalah daging babi, yang dilarang (dalam Islam)…. Dan sungguh ada banyak godaan di jalan. Sejujurnya, ini agak sulit, tetapi Allah memberimu kekuatan untuk meneruskan,” katanya.

Sejak masuk Islam, gaya hidup Hassan dan juga Shabana, istrinya, telah berubah total. Kini kehidupan mereka terpusat pada waktu-waktu yang dihabiskan di rumah. Hassan menjalankan bisnis kecil di rumahnya.

Shabana Jan dan putrinya Aina di Santa Clara. Bagi mereka, berhijab adalah sesuatu yang sulit. Foto: Carlo Bevilacqua/Parallelozero

“Saya sangat bahagia di dalam rumah, saya tenang. Saya tidak banyak keluar,” kata Shabana. “Saya pergi keluar hanya jika saya perlu mendapatkan sesuatu, atau pergi ke dokter, tetapi bukan karena saya ingin berada di jalan,” katanya.

Persepsi tentang Islam

Para mualaf Kuba juga menghadapi tantangan yang berasal dari kurangnya pemahaman yang dimiliki masyarakat Kuba tentang Islam. Laporan dari berbagai media tentang serangan teroris dan konflik di Timur Tengah telah membentuk persepsi masyarakat Kuba tentang Islam.

Hal seperti inilah yang ingin diubah oleh Haji Jamal. Seperti banyak mualaf Kuba lainnya, dia tadinya dibesarkan sebagai orang Kristen. Untuk kesehariannya, Haji Jamal mencari nafkah sebagai sopir taksi di Santiago. “Saya adalah anggota gereja Baptis. Saya tahu banyak tentang agama Kristen, tetapi saya tidak pernah bisa benar-benar memahami konsep Tritunggal Suci,” ujarnya mengisahkan.

“Kemudian saya bertemu dengan seorang Muslim Kuba yang telah menjadi Muslim selama bertahun-tahun, dan mulai berbicara dengannya tentang Islam. Dia memberi saya sebuah Alquran dan berkata, ‘Baca ini.’,” kata Haji Jamal.

“Butuh beberapa saat, tetapi kemudian akhirnya saya membacanya dan saya bisa melihat logika di sana, ini tampak sangat tulus, sangat nyata, dan inilah yang membuat saya tertarik kepada Islam.”

Haji Jamal akhirnya masuk Islam pada tahun 2009. Ibunya, bagaimanapun, terkejut dengan keputusannya dan ingin Jamal pergi meninggalkan rumah. Namun dia berubah pikiran, dia tetap mengizinkan Jamal tetap di rumah asalkan tidak membawa teman Muslimnya ke rumah.

Suatu waktu, dia melihat Jamal dan teman-temannya di luar rumah, mereka berdiri di bawah sinar matahari yang terik. Hatinya melunak, akhirnya dia malah mengajak mereka semua untuk makan di rumah.

“Dia masih tidak menerima Islam, tetapi ya, dia tahu tentang Muslim. Dia menerima mereka, menyiapkan makanan, semuanya,” kata Haji Jamal menceritakan tentang ibunya.

Haji Jamal kini menjadi perwakilan informal dari komunitas Muslim Santiago yang terdiri dari sekitar 30 orang Kuba dan 90 mahasiswa asing. Dia bekerja dengan pihak berwenang, yang kehadirannya tersebar luas dengan lebih dari 70 persen populasi bekerja untuk negara, untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang Islam.

“Kami berusaha memberikan contoh terbaik tentang Islam, karena saat ini ada banyak pesan negatif di media. Orang-orang menggeneralisir, berpikir, ‘Jika Anda seorang Muslim, Anda pastilah seorang teroris.’.”

Haji Jamal melanjutkan, “Banyak yang membelokkan citra Islam. Islam adalah perdamaian. Jadi itulah pesan yang kami sampaikan. Bukan karena kami mengharapkan orang-orang masuk Islam, tetapi agar mereka dapat hidup nyaman bersama dengan Muslim.”

Haji Jamal mengatakan bahwa kebebasan beragama dihormati di bawah hukum Kuba. “(Masalah datang) biasanya dari pihak berwenang di tempat-tempat kecil yang menafsirkan hukum dengan cara mereka sendiri. Karena hukum itu sendiri jelas – orang tidak dapat didiskriminasi oleh ras, agama, atau warna kulitnya,” katanya.

Lázara Molina, 55, tinggal bersama dua putrinya di daerah Alamar di La Habana. Molina pindah agama dari Kristen ke Islam pada tahun 2014, dan salah seorang putrinya mengikutinya, sementara yang lain lebih suka tetap dengan agama Afro-Kuba. Foto: Joan Alvado

Beberapa wanita mualaf Kuba yang mengenakan jilbab telah menghadapi perlakuan buruk dan diskriminasi dari pihak berwenang di tempat kerja atau universitas mereka. Menurut Haji Isa, situasi seperti itu biasanya dapat diselesaikan melalui diskusi dan penjelasan mengenai apa itu Islam.

Shabana, bagaimanapun, mengatakan bahwa baginya hal itu terlalu sulit, dan dia lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaannya. Dia sekarang menyediakan tempat penitipan anak di rumahnya, khusus untuk anak-anak para pelajar Muslim.

Aminah, lahir dan besar di Kuba, masuk Islam beberapa tahun lalu. Dia adalah satu dari sedikit wanita di pulau itu yang memakai niqab. Foto: Ura Iturralde / Al Jazeera

Shabana tidak ingin berbicara lebih jauh tentang apa yang dia alami di tempat kerjanya terdahulu. Dia hanya mengatakan, “Itu hanya karena ketidaktahuan.” Shabana, seperti sejumlah mualaf Kuba lainnya, merasa harus ada peran aktif dari Muslim untuk meningkatkan pemahaman di antara warga Kuba lainnya tentang apa itu Islam.

“Ketika saya pergi keluar itu juga bagus, (karena) orang selalu bertanya tentang jilbab dan ketika menjawab pertanyaan mereka, mereka belajar sesuatu tentang Islam, dan dengan cara itu orang mulai beradaptasi. Sehingga mereka tahu apa itu Islam, bahwa itu bukan seperti apa yang orang katakan,” pungkas Shabana.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Sylvia Hines, “The Muslims of Cuba”, dari laman https://www.aljazeera.com/indepth/features/2016/09/muslims-cuba-160914095930726.html, diakses 19 Juni 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*