Soleymon Mustafa, dia belajar tentang Islam sendirian, dan masuk Islam sendirian juga. Dia bercerita, “Saya pikir saya gila, karena saya pikir tidak ada orang lain yang Muslim.”
Selain persoalan gaya hidup masyarakat Kuba yang gemar mengkonsumsi alkohol dan daging babi, beberapa mualaf juga mengalami persoalan tekanan sosial ketika menjadi Muslim. Isqura Arudin, 34, misalnya, mengalami kesulitan di tempat kerjanya. Isqura yang memiliki profesi sebagai guru diberitahu oleh pihak sekolahnya, bahwa dia dilarang mengenakan hijab ketika mengajar.
“Suatu hari mereka mengatakan kepada saya bahwa saya harus meninggalkan (pekerjaan), dan saya bertanya, ‘Tetapi mengapa?’ Dan mereka berkata, ‘Anda seorang Muslim dan dengan hal itu di kepala Anda (jilbab), Anda tidak dapat bekerja di Kuba.’ Dan saya harus meninggalkan pekerjaan saya,” ujar wanita yang masuk Islam pada tahun 2016 ini.
Meski demikian, Isqura akhirnya tetap dapat bekerja setelah mengancam pihak sekolah bahwa dia akan membawa kasusnya ke pengadilan.
Ada juga kisah unik, jika mualaf lainnya di Kuba masuk Islam karena pernah bertemu dengan Muslim, lain halnya dengan Soleymon Mustafa, dia belajar tentang Islam sendirian, dan masuk Islam sendirian juga. [1]
Hal yang dialami oleh Soleymon memang memungkinkan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Joan Alvado, seorang jurnalis foto asal Barcelona, Spanyol, yang semenjak tahun 2014 telah memotret kehidupan Muslim Kuba, terutama di ibu kota Havana dan sekitarnya, “Tidak ada seorang pun di Havana, bahkan teman-teman Kuba saya, yang tahu bahwa ada Muslim di sana,” ujar Alvado mengisahkan pengalamannya.[2]
Soleymon, yang telah mempraktekkan ajaran Islam sejak tahun 2013, mengenang masa-masa ketika dia merasa bahwa dia adalah satu-satunya Muslim di Havana. “Saya pikir saya gila, karena saya pikir tidak ada orang lain yang Muslim, dan saya mempraktikannya sendirian di rumah saya,” ujar Soleymon.
“Suatu hari, saya sedang berjalan di jalan dan saya melihat salah satu saudara yang ada di sini (Masjid Abdallah) hari ini. Dan dia hanyalah seorang lelaki berjanggut putih panjang dan saya bertanya kepadanya, ‘Apakah Anda Muslim?’ Itulah bagaimana awalnya saya mengetahui tentang komunitas (Muslim) ini karena saya tidak menyangka ada komunitas sebelumnya.”[3]
Zakina, seorang mualaf Kuba lainnya, Muslimah Syiah,[4] yang biasa belajar dan mendalami Islam di Fatima Zahra Center, pusat perkumpulan Syiah di Kuba, namun dia juga terbiasa salat di Masjid Abdallah, yang mana dikelola oleh Muslim Suni, menceritakan pengalamannya, “Kadang-kadang orang memandangi kami di jalan seolah-olah kami ini aneh,” kata Zakina. “Atau mereka mengejek kita karena mengenakan kerudung di kepala kita di tengah udara yang panas ini. Itu tidak mudah.”[5]
Begitulah kehidupan Muslim Kuba, di tengah derasnya pemberitaan negatif dari berbagai media, mereka menghadapi banyak kesalahpahaman dan stereotip. Yusuf Ali, 27, mualaf Kuba lainnya menceritakan pengalamannya pada saat awal-awal dia masuk Islam dan memberitahu teman-temanya.
“Mereka bertanya apakah saya telah hilang akal? Apakah saya akan mulai mengenakan bom? Dan lain sebagainya. Mereka melihatnya bagaikan suatu kisah Jules Verne: fiksi murni. Ketika Anda memberi tahu orang-orang bahwa Anda adalah Muslim, semua orang terkejut, itu normal, terutama di negara ini,” kata Yusuf.[6]
Yusuf, yang bekerja sebagai petugas peroboh bangunan, juga mengalami diskriminasi di tempat kerjanya, “Jika saya sedang bekerja (merobohkan) bangunan, sering kali, itu dimulai dengan makanan,” kata Yusuf.
“Mereka akan menawariku babi, aku akan mengatakan tidak. Mereka akan bertanya apakah itu karena penyakit? Dan saya akan mengatakan bahwa itu karena keyakinan saya, saya seorang Muslim. Mereka akan berkonfrontasi dengan saya dan bertanya, ‘Oh, bukankah Muslim itu menyukai kekerasan? Bukankah mereka teroris?”[7]
Meski demikian Yusuf menanggapi hal-hal seperti itu dengan ringan, “Banyak orang mengatakan ini sangat sulit, tapi saya rasa tidak. Itu adalah sesuatu yang berada di dalam diri Anda dan itu tidak sulit, selama Anda bersedia untuk mengabaikan hal-hal sepele pada satu sisi.”[8]
Meski menghadapi beberapa hal buruk sebagai Muslim di Kuba, namun baik Yusuf maupun Isqura meyakini bahwa beberapa sikap buruk dari beberapa warga Kuba tidak mewakili gambaran masyarakat Kuba secara keseluruhan. Mereka meyakini bahwa sebagian besar masyarakat Kuba dapat menerima Muslim.
Leonel Diez Sterling, 78, warga Kuba keturunan Yaman, seorang Muslim Kuba generasi ketiga, mengatakan dia yakin bahwa masyarakat Kuba telah berkembang untuk dapat menerima populasi agama yang beragam.
“Mungkin sesekali, akan ada individu yang ingin melakukan diskriminasi, tetapi itu bukan masalah sosial,” ujar Leonel. “Jika Anda ingin mempraktikkan Islam, silakan. Jika Anda ingin mempraktikkan Katolik, silakan. Bahkan jika Anda mempraktikkan Santeria, Anda dapat mempraktikkan Santeria. Ini urusanmu masing-masing.”[9] (PH)
Seri Islam di Kuba selesai.
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Irvin Zhang, “Cuba’s emerging Muslim community adds to religious diversity”, dari laman https://thegroundtruthproject.org/cubas-emerging-muslim-community-adds-religious-diversity/, diakses 20 Juni 2019.
[2] Lucy Westcott, “Why Cuba’s Muslim Population Is Growing”, dari laman https://www.newsweek.com/2017/01/06/why-cubas-muslim-population-growing-535773.html, diakses 1 Mei 2019.
[3] Irvin Zhang, Loc.Cit.
[4] Pembahasan lebih lengkap tentang keharmonisan Suni-Syiah di Kuba sudah pernah dibahas dalam seri artikel sebelumnya: Islam di Kuba (7): Suni-Syiah di Kuba, dalam laman https://ganaislamika.com/%EF%BB%BFislam-di-kuba-7-suni-syiah-di-kuba/
[5] Vincent Jolly, “A Saudi Hand Guides Quiet Rise Of Islam In Cuba”, dari laman https://www.worldcrunch.com/culture-society/a-saudi-hand-guides-quiet-rise-of-islam-in-cuba, diakses 13 Juni 2019.
[6] Giovanni Jaramillo Rojas, “Yusuf, on Being a Muslim in Cuba”, dari laman https://havanatimes.org/interviews/yusuf-on-being-a-muslim-in-cuba/, diakses 20 Juni 2019.
[7] Irvin Zhang, Loc.Cit.
[8] Giovanni Jaramillo Rojas, Loc.Cit.
[9] Irvin Zhang, Loc.Cit.