Pada saat Muhammad berusia 35 tahun, Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul-Haram. Akibatnya, Kabah menjadi rapuh dan sangat rentan untuk runtuh.
Tiga manusia suci tempat Abu Bakar belajar, Qus bin Saidah al-Iyyadi, Zaid bin Amr bin Nufail, dan Waraqah bin Naufal, meskipun mereka menentang adat istiadat Kaum Quraisy, tidak dimusuhi dan dianiaya sebagaimana yang terjadi terhadap Nabi Muhammad SAW kelak.
Sejarawan Khalid Muhammad Khalid menjelaskan, hal itu dapat terjadi karena pertama, kegiatan tiga orang ini terbatas dan tidak menyebarkan dakwah secara teratur. Kedua, mereka tidak membawa agama baru yang akan mengancam adat istiadat Quraisy. Ketiga, tokoh-tokoh ini sudah berusia lanjut dan kehidupan mereka sudah mendekati masa akhir.[1]
Hingga pada waktunya, ketiga orang ini wafat tanpa sempat bertemu dengan sosok yang mereka tunggu-tunggu, yaitu Nabi yang membawa risalah agama Ibrahim AS (meskipun terjadi perdebatan di antara kalangan sejarawan, bahwa dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Waraqah bin Naufal sempat bertemu Nabi Muhammad, sementara yang lainnya meragukan riwayat tersebut).[2]
Persahabatan dengan Muhammad sebelum masa Kenabian
Sebagaimana sempat kita bahas dalam seri-seri sebelumnya, informasi masa kecil dan masa muda Abu Bakar sebelum masa kenabian begitu terbatas, sehingga banyak kisah tentang ini diriwayatkan hanya berdasarkan perkiraan, demikian sebagaimana disampaikan oleh sejarawan Muhammad Husain Haekal.
Ada dua anggapan tentang persahabatan Abu Bakar dengan Muhammad sebelum masa Kenabian. Pertama, mereka adalah sahabat dan karib yang akrab, dan yang kedua, mereka hanya sebatas saling mengenal dan saling tahu saja tanpa suatu jenis persahabatan atau kekariban tertentu.
Bagi yang mendukung pendapat pertama, alasannya adalah karena usia Abu Bakar dan Muhammad hampir sama. Mereka adalah dua orang lelaki yang sebaya, sehingga besar kemungkinannya mereka bersahabat.
Selain itu, Abu Bakar tinggal di kampung yang sama dengan Khadijah binti Khuwailid, istri Muhammad. Di kampung itu tinggal para saudagar terkemuka yang biasa membawa barang dagangan mereka ke Syam dan Yaman, baik pada musim dingin maupun musim panas. Hal lainnya adalah, baik Abu Bakar maupun Muhammad, sama-sama seorang pedagang yang sukses.
Sementara itu, bagi yang mendukung pendapat kedua, alasannya adalah bahwa sebelum diangkat menjadi nabi, secara pergaulan Muhammad lebih suka menyendiri dalam perenungan. Dan selama bertahun-tahun sebelum masa kenabian, beliau menjauhi orang banyak. Jadi mereka hanya sebatas saling mengenal karena hidup bertetangga tanpa suatu keakraban tertentu.[3]
Makkah Kebanjiran
Sebelum kita mengenal Kabah dalam bentuknya yang sekarang, bangunan itu hanya berupa susunan batu-batu yang tingginya sekitar dua kali badan manusia, tepatnya sekitar sembilan hasta, atau sekitar empat meter.
Kabah telah dibangun sejak masa Nabi Ismail AS, tanpa atap, sehingga banyak pencuri yang suka mengambil barang-barang berharga yang tersimpan di dalamnya. Karena usianya yang sudah sangat tua, bangunan itu telah menjadi rapuh dan dindingnya pun sudah pecah-pecah.[4]
Terakhir kali Kabah direnovasi, adalah pada masa Qushay bin Kilab, nenek moyang Muhammad sekitar 200 tahun sebelum kelahirannya. Dia meruntuhkan bangunan itu dan membangunnya kembali dengan fondasi yang kukuh dan untuk pertama kalinya membuat atap dengan batang dan pelepah kurma.[5]
Hingga ketika Muhammad berusia 35 tahun, Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul-Haram. Akibatnya, Kabah menjadi rapuh dan sangat rentan untuk runtuh. Sementara itu orang-orang Quraisy dihinggapi perasaan bimbang antara merenovasi Kabah atau membiarkannya sebagaimana adanya.
Namun pada akhirnya mereka sepakat untuk melakukan perbaikan Kabah, dengan syarat menggunakan bahan-bahan bangunan dari sumber yang baik-baik saja. Mereka sepakat untuk tidak menerima sumbangan dari maskawin para pelacur, dari hasil jual beli secara riba, dan dari harta rampasan.
Meski demikian, mereka semua merasa takut untuk merobohkan bangunan lama Kabah. Akhirnya ada seseorang yang berani, dia adalah al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi. Al-Walid mengawali perobohan Kabah, dan setelah yang lain menunggu, dan yakin tidak ada suatu hal buruk apapun terjadi kepada al-Walid, mereka beramai-ramai merobohkannya.
Mereka terus bekerja merobohkan setiap sudut bangunan Kabah hingga sampai ke rukun Ibrahim. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk membangunnya kembali.[6] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf (CV. Diponegoro: Bandung, 1984), hlm 25.
[2] Tentang riwayat yang dimaksud, lihat Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 6, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh W. Montgomery Watt dan M. V. McDonald (State University of New York Press: New York, 1988), hlm 71-73.
[3] Muhammad Husain Haekal, Abu Bakar As-Siddiq: Sebuah Biografi, diterjemahkan dari Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia oleh Ali Audah (Litera Antar Nusa: Jakarta, 2003, Cet. Ketiga), hlm 4-5.
[4] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm 84.
[5] O. Hashem, Muhammad Sang Nabi: Penelusuran Sejarah Nabi Muhammad Secara Detail (Ufuk Press: Jakarta, 2007), hlm 29-30.
[6] Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Loc.Cit.