Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Hud (2): Hud Si Orang Gila

in Studi Islam

Last updated on September 5th, 2019 12:45 pm

“Wahai Hud! Engkau tidak memberikan bukti yang jelas kepada kami dan kami tidak akan meninggalkan tuhan kami atas perintahmu. Kami tidak percaya kepadamu. Kami hanya percaya bahwa salah satu dari tuhan kami telah merasukimu dengan cara yang buruk.”

Foto Iustrasi: JW

Setelah Nabi Hud AS diutus oleh Allah untuk memberi peringatan kepada Kaum Ad, dia berbicara kepada mereka. Dalam versi Ibnu Katsir dialognya berjalan seperti ini:

Hud mengutuk penyembahan berhala dan memperingatkan umatnya. “Wahai umatku, apa manfaat dari batu-batu ini yang kalian pahat dengan tanganmu sendiri dan kemudian disembah? Pada kenyataannya ini adalah penghinaan terhadap akal. Hanya ada satu Tuhan yang layak disembah dan itu adalah Allah. Sembahlah Dia dan hanya kepada Dia saja, adalah kewajiban bagi kalian.

“Dialah yang menciptakan kalian, Dia menyediakan (kebutuhan-kebutuhan) kalian dan Dialah yang akan menyebabkan kalian mati. Dia memberi kalian tubuh yang indah dan memberkati kalian dalam banyak hal. Jadi berimanlah kepada-Nya dan janganlah buta terhadap kebaikan-Nya, atau nasib yang sama, yang membinasakan umat Nuh, akan menimpa kalian.”

Dengan penjelasan-penjelasannya, Hud berharap dapat menanamkan keimanan pada mereka, tetapi mereka menolak untuk menerima pesannya. Umatnya bertanya kepadanya, “Apakah engkau berhasrat untuk menjadi tuan kami dengan seruanmu? Upah apa yang engkau inginkan?”

Hud berusaha membuat mereka mengerti bahwa dia akan menerima upah (pahala) dari Allah, dia tidak menuntut apa pun dari mereka, kecuali bahwa mereka dapat menerima cahaya kebenaran yang menyentuh pikiran dan hati mereka.[1]

Sementara itu, dalam versi Al-Tabari, dialognya berlangsung seperti ini:

Hud menyeru mereka untuk mengakui keesaan Tuhan dan hanya menyembah Dia dan tidak yang lain, dan (meminta mereka) untuk meninggalkan perlakuan tidak adil terhadap orang-orang, tetapi mereka tidak percaya kepadanya. Mereka berkata, “Siapa yang lebih kuat dari kita?” Dan hanya sedikit dari mereka yang percaya kepada Hud.

Ketika mereka bertahan dalam kekeraskepalaan mereka, Hud menasihati mereka, mengatakan kepada mereka, “Apakah kalian membangun pada setiap tempat yang tinggi sebuah monumen untuk kesenangan yang sia-sia? Dan apakah kalian membangun benteng, supaya kalian dapat bertahan selamanya? Dan jika kalian menaklukkan dengan kekuatan, bukankah kalian menaklukkan sebagai tiran?

“Sebaliknya, lakukan tugasmu kepada Allah dan taatilah aku. Pertahankan tugasmu kepada-Nya yang telah memberimu apa yang kamu tahu, (yakni) telah memberimu ternak, dan anak laki-laki, dan taman, dan mata air. Aku khawatir untuk kalian ketika pembalasan dari hari yang mengerikan akan datang.”

Jawaban mereka kepadanya adalah dengan mengatakan, “Semua kembali kepada kami, terlepas apakah engkau memberi peringatan atau bukan seseorang yang memberi peringatan.”

Mereka berkata kepadanya, “Wahai Hud! Engkau tidak memberikan bukti yang jelas kepada kami dan kami tidak akan meninggalkan tuhan kami atas perintahmu. Kami tidak percaya kepadamu. Kami hanya percaya bahwa salah satu dari tuhan kami telah merasukimu dengan cara yang buruk.”[2]

Dialog antara Nabi Hud dengan Kaum Ad di atas, diabadikan di dalam Alquran:

Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja. Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu memikirkan(nya)?”

Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.”

Kaum ‘Ad berkata: “Hai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” (Q.S 11: 50-54)

Ibnu Katsir kemudian menggambarkan dialog mereka selanjutnya:

Hud berusaha untuk berbicara kepada mereka dan menjelaskan tentang berkah Allah, yaitu bagaimana Allah Yang Mahakuasa telah menjadikan mereka penerus Nuh, bagaimana Dia telah memberi mereka kekuatan dan kekuasaan, dan bagaimana Dia mengirimkan hujan kepada mereka untuk menyuburkan kembali tanah.

Umat Hud menilai diri mereka sebagai umat yang terkuat di dunia, sehingga mereka menjadi lebih sombong dan keras kepala. Kemudian mereka memperdebatkan banyak hal dengan Hud. Mereka bertanya, “Wahai Hud! Apakah engkau berkata bahwa ketika kami mati dan berubah menjadi debu, kami akan dibangkitkan?”

Dia menjawab, “Ya, kalian akan kembali pada Hari Kebangkitan dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawabannya tentang apa yang telah kalian lakukan.”

Suara riuh tawa terdengar setelah mereka menyimak pernyataan terakhir Hud. “Betapa anehnya klaim Hud!” Orang-orang kafir bergumam di antara mereka sendiri. Mereka percaya bahwa ketika manusia mati, tubuhnya akan membusuk dan berubah menjadi debu, yang tersapu oleh angin. Bagaimana itu bisa kembali ke keadaan semula? Lalu apa pentingnya Hari Kebangkitan? Mengapa orang mati hidup kembali?[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Hud.

[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 29.

[3] Ibnu Katsir, Loc. Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*