Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Hud (3): Kemarau Tiga Tahun

in Studi Islam

Last updated on September 6th, 2019 01:03 pm

Hud berdoa, “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku.” Allah menjawab, “Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal.” Kaum Ad lalu ditimpa kemarau tiga tahun. Namun mereka belum patah semangat.

Foto Iustrasi kemarau panjang. Foto: PTI Photo (PTI5_7_2017_000154B)

Nabi Hud terus menjawab semua pertanyaan dari Kaum Ad dengan sabar. Dia kemudian menjelaskan tentang Hari Perhitungan, yaitu hari ketika seluruh manusia dibangkitkan dan dihitung segala amalnya. Dia mengatakan bahwa keimanan terhadapnya merupakan hal yang sangat penting bagi konsep keadilan Allah. Dia juga memberi tahu mereka, bahwa setiap nabi mengajarkan hal ini kepada umatnya.

Hud menjelaskan bahwa keadilan melahirkan konsekuensi adanya Hari Penghitungan, karena kebaikan tidak selalu menang dalam kehidupan. Terkadang kejahatan dapat mengalahkan kebaikan. Apakah kejahatan seperti itu tidak akan dihukum? Jika kita mengira tidak ada Hari Penghitungan, maka ketidakadilan yang besar akan menang, tetapi Allah tidak berkehendak mendatangkan ketidakadilan, baik oleh diri-Nya sendiri maupun oleh siapapun umat-Nya. 

Karena itu, keberadaan Hari Penghitungan, hari pertanggungjawaban atas perbuatan kita, yang mana setiap orang akan ditentukan untuk mendapatkan pahala atau hukuman, menyingkap perluasan keadilan Allah. Hud berbicara kepada mereka tentang semua hal ini. Mereka mendengarkan tetapi tidak mempercayainya.

Setelah mendengarkan penjelasan Hud, para pemuka Kaum Ad berkata kepada kaumnya sendiri, menurut Ibnu Katsir, inilah yang dikatakan mereka sebagaimana tercatat di dalam Alquran:

Dan berkatalah pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia: “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.

“Dan sesungguhnya jika kamu sekalian mentaati manusia yang seperti kamu, niscaya bila demikian, kamu benar-benar (menjadi) orang-orang yang merugi. Apakah ia menjanjikan kepada kamu sekalian, bahwa bila kamu telah mati dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, kamu sesungguhnya akan dikeluarkan (dari kuburmu)?

“Jauh, jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu itu, kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi, Ia tidak lain hanyalah seorang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah, dan kami sekali-kali tidak akan beriman kepadanya.” (Q.S 23: 33-38)

Para pemuka Kaum Ad kemudian bertanya kembali kepada Hud, dialog ini digambarkan oleh Ibnu Katsir:

“Tidakkah aneh jika Allah memilih salah satu dari kita untuk menyampaikan pesan-Nya?” ujar pemuka Kaum Ad.

Hud menjawab, “Apa yang aneh dengan hal itu? Allah ingin membimbing kalian ke jalan hidup yang benar, jadi Dia mengutusku untuk memperingatkan kalian. Banjir Nuh dan kisahnya tidak jauh (belum lama) dari kalian, jadi jangan lupakan apa yang telah terjadi. Semua orang-orang kafir dihancurkan, tidak peduli seberapa kuat mereka.”

“Siapa yang akan menghancurkan kita, Hud?” tanya para pemuka.

“Allah,” jawab Hud.

Mereka kemudian berkata kepada orang-orang mereka sendiri, “Kita akan diselamatkan oleh tuhan-tuhan kita.”

Hud menjelaskan kepada mereka bahwa tuhan-tuhan yang mereka sembah justru akan menjadi alasan bagi kehancuran mereka, bahwa hanya Allah sajalah yang dapat menyelamatkan manusia, dan bahwa tidak ada kekuatan lain di muka bumi yang dapat memberi manfaat atau mendatangkan kerugian bagi siapa pun selain Allah.

Konflik antara Hud dan Kaum Ad terus berlanjut. Tahun-tahun berlalu, dan Kaum Ad malah menjadi semakin sombong, keras kepala, dan tiran. Mereka juga menjadi semakin berani untuk menentang pesan nabi mereka.

Lebih jauh, mereka mulai menuduh Hud sebagai orang gila. Suatu hari mereka berkata kepadanya, “Kami sekarang mengerti rahasia kegilaanmu, engkau menghina tuhan-tuhan kami dan mereka sekarang menyakitimu, itu sebabnya engkau menjadi gila.”

Atas pernyataan ini, Allah mengulang kembali pernyataan mereka di dalam Alquran:

 “Hai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu. Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” (Q.S 11: 53-54)

Hud harus mengembalikan tantangan mereka. Dia tidak punya cara lain selain kembali kepada Allah sendiri, dan tidak ada alternatif lain selain memberi mereka peringataan terakhir. Hud berkata kepada mereka, sebagaimana tercatat di dalam Alquran:

 “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.

“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.

“Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu apa (amanat) yang aku diutus (untuk menyampaikan)nya kepadamu. Dan Tuhanku akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain (dari) kamu; dan kamu tidak dapat membuat mudharat kepada-Nya sedikitpun. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Q.S 11: 54-57)

Demikianlah, Hud berlepas dari mereka dan tuhan-tuhan mereka, dan menegaskan ketergantungannya kepada Allah yang telah menciptakannya. Hud menyadari bahwa hukuman akan dijatuhkan kepada orang-orang kafir di antara bangsanya. Itu adalah salah satu hukum kehidupan. Allah akan menghukum orang-orang kafir, tidak peduli seberapa kaya, tiran, atau hebatnya mereka.[1]

Di dalam Alquran, Hud kemudian digambarkan berdoa, dan doanya dijawab oleh Allah:

Rasul itu berdoa: “Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakanku.”

Allah berfirman: “Dalam sedikit waktu lagi pasti mereka akan menjadi orang-orang yang menyesal.” (Q.S 23: 39-40)

Setelahnya, sebelum datangnya azab, menurut Al-Tabari, Allah membuat tanah mereka kering dengan membuat hujan tidak turun ke tempat mereka selama tiga tahun. Karena hal ini, Kaum Ad mulai menderita, dan akhirnya mereka mengirimkan para utusan mereka ke suatu tempat untuk berdoa agar hujan turun.[2] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 4, Prophet Hud.

[2] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 29.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*