Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Nuh (9): Banjir Besar (1)

in Studi Islam

Last updated on August 30th, 2019 01:26 pm

Ibnu Katsir menggambarkan, “Air naik dari retakan di bumi, tidak ada celah dari mana air tidak naik. Hujan turun dari langit dalam jumlah yang belum pernah terlihat sebelumnya di bumi. Bagian dalam bumi bergerak, dan dasar samudera terangkat tiba-tiba, membanjiri tanah yang kering.”

Foto Ilustrasi: Creation

Setelah selama 400 tahun membangun bahtera yang sangat besar (menurut riwayat Salman Al-Farisi),[1] Nabi Nuh duduk diam menunggu perintah dari Allah SWT. Nuh kemudian mendapatkan wahyu dari Allah, yang mengatakan kepadanya, jika air secara tiba-tiba menyembur dari tungku di dapur di rumahnya, maka itu adalah sebuah tanda bahwa banjir besar akan segera dimulai, dan Nuh mesti bergegas.[2]

Hari yang mengerikan itu akhirnya tiba, ketika tungku di rumah Nuh menyemburkan air. Nuh bergegas untuk mempersiapkan bahtera dan memanggil orang-orang beriman yang menjadi pengikutnya. Dia juga membawa sepasang, jantan dan betina, dari setiap jenis hewan, burung, dan serangga. Melihat Nuh membawa hewan-hewan ini ke dalam bahtera, orang-orang menertawakannya dengan terbahak-bahak. “Nuh pasti sudah gila! Apa yang akan dia lakukan dengan hewan-hewan itu?” ujar mereka.[3]

Ada beberapa pendapat terkait di mana tungku di dapur rumah Nuh mulai memancarkan air. Ibnu Abbas mengatakan bahwa itu terjadi di India. Sementara itu Mujahid bin Jabir dan al-Sari bin Ismail mengatakan itu ada di wilayah Kufah (sekarang di Irak). Orang pertama yang menyaksikan menyemburnya air dari tungku adalah istri Nabi Nuh, dan dia kemudian memberi tahu Nabi Nuh.[4] Menurut Ibnu Abbas dan Hasan al-Basri, tungku batu milik Nuh dulunya adalah milik Hawa, istri Nabi Adam, dan menurut Ibnu Abbas, Adam sendirilah yang membuatkan tungku tersebut untuk istrinya.[5]

Setelah tungku itu menyemburkan air, Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Nuh bergegas membawa ketiga putranya, Sem, Ham, dan Yafet, dan istri-istri mereka, serta enam orang yang beriman kepadanya. Kemudian dia membawa hewan-hewan, sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadanya. Putranya, Yam, yang tidak beriman, tidak ingin ikut dengannya.[6]

Menurut Ibnu Katsir, Yam telah lama berpura-pura di hadapan ayahnya, memperlihatkan bahwa dia termasuk orang yang beriman. Namun sebenarnya, di dalam hatinya dia tidak pernah percaya kepada ayahnya. Anggota keluarga Nuh yang lain, yang tidak ingin ikut, adalah istri Nuh.[7]

Ibnu Katsir menggambarkan peristiwa selanjutnya, “Air naik dari retakan di bumi, tidak ada celah dari mana air tidak naik. Hujan turun dari langit dalam jumlah yang belum pernah terlihat sebelumnya di bumi. Air terus turun dari langit, naik dari retakan, jam demi jam terus meninggi. Lautan dan ombak menyergap daratan. Bagian dalam bumi bergerak dengan cara yang aneh, dan dasar samudera terangkat tiba-tiba, membanjiri tanah yang kering. Bumi, untuk pertama kalinya terendam.”[8]

Dalam sebuah riwayat yang cukup panjang, Ibnu Abbas menggambarkan bagaimana seluruh proses itu terjadi:

Hewan pertama yang dinaikkan adalah semut, dan yang terakhir adalah keledai. Ketika Nuh membawa keledai itu dan separuh badannya ada di dalam, Iblis – semoga Tuhan mengutuknya! – menempelkan dirinya ke ekornya, sehingga ia tidak bisa melangkahkan kakinya.

Nuh mulai berkata, “Celakalah kamu! Masuk!” Sang keledai mencoba bangkit tetapi tidak dapat (melanjutkan).

Akhirnya, Nuh berkata, “Celakalah kamu! Masuklah, bahkan jika Setan ada bersamamu!” Itu adalah keceplosan lidah, namun ketika Nuh mengatakannya, Setan membiarkan keledai berjalan. Ia masuk, dan Setan masuk dengannya.

Nuh berkata kepadanya, “Bagaimana engkau bisa sampai di sini bersamaku, musuh Allah?”

Setan menjawab, “Bukankah engkau berkata, ‘Masuklah, bahkan jika Setan ada bersamamu!?’.”

Nuh berkata, “Keluar dan tinggalkan aku, musuh Allah!”

Setan menjawab, “Engkau tidak dapat menghalangi diriku untuk ikut.” Semestinya Setan kemudian menempati bagian belakang (zahr) bahtera.

Kini, Nuh duduk dengan tenang di dalam bahtera, setelah membawa semua orang yang beriman kepadanya. (Peristiwa) itu (terjadi) pada bulan ke-17 sejak usia Nuh mencapai 600 tahun,[9] di mana dia memasuki bahtera. Ketika dia, serta semua yang dibawa olehnya telah masuk, mata air dari kedalaman yang amat sangat (ghawt) digerakkan, dan gerbang Surga dibuka.

Seperti yang Allah katakan kepada Nabi-Nya, “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (Q.S 54: 11-12)

Nuh dan orang-orang yang bersamanya masuk ke dalam bahtera, yang melindungi dia dan orang-orang yang bersamanya pada salah satu lantai (yang beratap). Waktu antara Allah menurunkan air sampai bahtera mulai mengarunginya adalah 40 hari dan 40 malam. Seperti yang diasumsikan oleh Ahli Kitab Taurat, bahtera mengambang di atas air yang terus naik dan semakin tinggi.[10] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State University of New York Press: New York, 1989), hlm 356.

[2] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 3, Prophet Nuh (Noah).

[3] Ibid.

[4] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 364.

[5] Ibid., hlm 297 dan 363.

[6] Ibid., hlm 360.

[7] Ibnu Katsir, Loc.Cit.

[8] Ibid.

[9] Terkait perbedaan versi usia, silahkan baca artikel-artikel sebelumnya.

[10] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 360-361.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*