Mozaik Peradaban Islam

Kitab Al-Luma’ fi At-Tashawwuf Karya Abu Nasr as-Sarraj (14): Bab 18, Bagaimana Mengenal Allah?

in Pustaka

Last updated on September 7th, 2019 03:56 pm

Akal itu sangat lemah dan hanya akan mampu menunjukkan pada sesuatu yang lemah pula seperti dirinya. Ketika Allah menciptakan akal, Dia bertanya kepadanya, ‘Siapakah Aku?’ Tapi akal terdiam, tak bisa menjawab.

Foto Ilustrasi: Vida/Tumblr

Bab 18:

Tentang Pertanyaan: “Bagaimana Anda Mengenal Allah?” dan Perbedaan Antara Mukmin dan Arif

Seseorang bertanya pada Abu Al-Husain Al-Nuri, semoga Allah merahmatinya, “Bagaimana caramu mengenal Allah?” Dia menjawab, “Melalui Allah.” Dia ditanya lagi “Lalu apa peran akal?” Dia menjawab, “Akal itu sangat lemah dan hanya akan mampu menunjukkan pada sesuatu yang lemah pula seperti dirinya. Ketika Allah menciptakan akal, Dia bertanya kepadanya, ‘Siapakah Aku?Tapi akal terdiam, tak bisa menjawab. Lalu Allah memberinya celak dari cahaya keesaan Ilahi, barulah ia menjawab, ‘Engkau adalah Allah.’ Maka jelas, akal tidak akan mampu mengenal Allah kecuali dengan Allah.”

Seseorang juga bertanya kepadanya ihwal kewajiban pertama yang Allah perintahkan kepada para hamba-Nya. Dia menjawabnya, “Makrifat (mengenal)-Nya. Sebab Allah berfirman, Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah (mengenal)-Ku’.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Ibn Abbas,[1] semoga Allah merahmatinya, memberikan penafsiran kata untuk menyembah-Ku dalam ayat tersebut dengan kata agar mereka mengenal-Ku.

Kaum Sufi lain ditanya, “Apakah makrifat itu?” Dia menjawab, “Aktualisasi hati nurani dengan menetapkan keesaan Ilahi (wahdaniyyah)-Nya melalui kemahasempurnaan semua Sifat dan Nama-Nya. Sebab, Dialah satu-satunya Zat Yang berhak menyandang kemuliaan, kekuatan, kekuasaan, keagungan, Mahahidup lagi Mahaabadi, dimana “tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syura [42]: 11), yang tidak mungkin dikondisikan dalam bentuk apapun,[2] tidak ada yang menyerupai dan menyamai-Nya dengan menafikan segala bentuk persamaan, menghapuskan dari dalam hati segala sekutu dan sarana (sebab).”[3]

Seseorang berkata, “Akar makrifat adalah anugerah. Makrifat adalah api, sedangkan iman adalah cahaya; makrifat adalah sesuatu yang ditemukan setelah pencarian, sedangkan iman sesuatu yang diberikan tanpa usaha.”

Perbedaan antara Mukmin dan Arif ialah bahwa Mukmin melihat dengan cahaya Allah, sedangkan orang Arif melihat Allah Azza wa Jalla secara langsung. Orang Mukmin memiliki hati, sedangkan orang Arif tidak memilikinya. Hati orang mukmin akan tenang dengan mengingat Allah, sedangkan Arif tidak akan tenang kecuali dengan-Nya.”

Makrifat itu ada dalam tiga bentuk: (1) makrifat ikrar (pengakuan), (2) makrifat hakikat, dan (3) makrifat penyaksian. Makrifat penyaksian mencakup pemahaman mendalam, ilmu, ungkapan, dan pembicaraan. Banyak petunjuk dan cara yang menguraikan makrifat, namun sedikit yang telah diungkapkan di sini kiranya cukup bagi mereka yang ingin mencari petunjuk dan nasihat. Dan pada Allah semua keberhasilan.

Hasan bin Ali bin Hannuya Al-Damaghani berkata bahwa seseorang bertanya pada Abu Bakr az-Zahirabadi tentang makrifat. Dia menjawab, “Makrifat adalah istilah yang merujuk pada hadirnya pengagungan Tuhan dalam hati yang mencegahmu untuk melakukan penyerupaan Tuhan dengan manusia ataupun peniadaan semua Sifat-Nya.”[4]

Dalam tiga puluh tiga bab ringkas selanjutnya, Sarraj memetakan berbagai aspek perkembangan spiritual. Semua ini meliputi, yang terpenting, analisisnya atas berbagai maqam dan keadaan spiritual. Selanjutnya dia beralih pada suatu paparan ihwal bagaimana kaum Sufi mendasarkan pendekatan mereka pada hal-hal mendasar. Pertama, Sarraj menganalisis hermeneutika Al-Quran; lalu dia mencurahkan empat bab berikut cara kaum Sufi menafsirkan kehidupan dan pengertian Nabi Muhammad dan mengejawantahkan nilai-nilai profetis dalam kehidupan mereka. Dalam dua bab di bawah ini, Sarraj kembali membahas bagaimana “penafsiran lebih mendalam” (mustanbatah) kaum Sufi menggambarkan suatu pertumbuhan autentik yang khas, dapat dipercaya, dan bertanggung jawab dalam epistemologi mistis. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Abdullah bin Abbas (wafat 68/687) adalah seorang sahabat sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW. Dia juga dikenal sebagai periwayat hadis dan penafsir Alquran yang dapat dipercaya.

[2] Ungkapan teologis mazhab Asyariyah, yang lebih memilih bersikap diam ketimbang menanyakan sesuatu yang tidak dapat diketahui sepenuhnya tentang misteri Tuhan.

[3] Pernyataan-pernyataan ini adalah keyakinan yang sudah ada sejak pada masa awal Islam, dan Sarraj secara hati-hati menyebutkannya di sini, sehingga pembaca tidak memiliki alasan untuk mencurigai bahwa kaum Sufi telah meninggalkan ajaran utama.

[4] Di sini konsep operatifnya adalah tasybih, antropomorfisme, dan kebalikannya, thatil, yaitu, mengklaim bahwa sifat-sifat ilahi tidak menyatu dengan esensi ilahi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*