“Sekte Maulawiyyah Jalaluddin Rumi telah dilarang sejak Kemal Attaturk berkuasa. Para darwish dianggap ancaman bagi republik baru Turki, dan mereka terpaksa menjalankan aktivitasnya secara rahasia.”
–O–
Alasan para pengunjung mendatangi Konya adalah untuk melihat bangunan yang dulunya merupakan Tekke, atau pemondokkan Maulawi (pengikut Rumi), sekarang statusnya merupakan “museum” milik pemerintah Turki, meskipun istilah itu agak kurang tepat. Meskipun sekte Maulawiyyah telah dilarang, namun Tekke masih benar-benar seperti kuil sebuah sekte, di ruangan utamanya terdapat Türbe, atau makam, dari Sang Maulana (Rumi). Makam tersebut ditutupi dengan beludru besar bersulam emas. Di sampingnya terdapat makam ayah Rumi, yang mana sarkopagusnya berdiri tegak, itu karena legenda mengatakan bahwa ketika Rumi dimakamkan, makam ayahnya “bangkit dan menunduk hormat.”[1]
Makam Rumi seolah memancarkan cahaya kedamaian dan kasih. Dinding-dinding di sekitarnya berhiaskan bordiran kaligrafi, dan pada langit-langitnya terdapat kaleidoskop khas Arab yang indah. Beberapa peziarah akan membaca al-Quran di sana, dan sementara yang lainnya membaca syair-syair Rumi. Sebagian besar peziarah mengambil foto, meskipun ini dilarang keras. Ada berbagai macam ekspresi di sana, ada orang-orang yang menangis dengan pelan, dan malah ada yang tertawa dengan keras; ada orang-orang yang bermeditasi berjam-jam, dan ada orang-orang yang bergegas melewatinya. Semua merasa tergerak, dan apapun ekspresinya, konon itu semua karena cinta.[2]
Di dalam museum ada jubah-jubah dan alat musik, serta benda-benda keramat peninggalan masa lalu, dan di sana ada potongan janggut yang konon merupakan potongan janggut milik Nabi Muhammad SAW. Bangunan di sebelahnya adalah Masjid Selim II, namanya diambil dari salah satu nama Sultan Ustmaniyah (Ottoman). Masjid itu dianggap sebagai bagian dari rangkaian objek ziarah, yang telah menarik lebih dari satu juta Muslim setiap tahunnya. Selain kompleks Maulawiyyah, masjid dan monumen-monumen Muslim lainnya sangat banyak ditemukan di Konya.[3]
Kebijakan Kemal Attaturk, pahlawan nasional dan presiden pertama Turki, setelah berakhirnya Perang Dunia I adalah menjadikan Turki sebagai negara sekular.[4] Selama periode Ottoman, para darwish telah memiliki pengaruh di lingkungan istana kesultanan. Sebagai contoh, Sultan Selim III (berkuasa 1789- 1807) diketahui memiliki keterikatan dengan para darwish dari sekte Maulawiyyah, dari mereka, sultan merasa mendapatkan ketentraman ruhaniyah.[5]
Sebagaimana sultan-sultan sebelumnya, Selim III menempatkan penasihat spiritualnya ke dalam lingkaran kekuasaan dan juga populasi yang lebih luas ke dalam posisi yang sangat berpengaruh. Adalah Sheikh Galib, seorang penyair mistis, yang mendukung dan turut menyebarkan cita-cita reformasi Selim III. Pada tahun 1791, Galib diangkat menjadi Sheikh dari sekte Maulawiyyah di Galata, dan sultan secara rutin mengunjunginya. Sultan membantu meningkatkan keterkenalan dan pengaruh sekte dengan cara mendukung kegiatan-kegiatan Maulawiyyah di seluruh wilayah kesultanan dan memperbaiki makam Maulana Jalaluddin Rumi di Konya.[6]
Namun sejak Ottoman runtuh, dan Kemal Attaturk berkuasa, sekte Maulawiyyah dianggap sebagai kelompok reaksioner dan membahayakan bagi republik baru Turki. Pada tahun 1925 Maulawiyyah dijadikan sekte terlarang dan properti mereka disita. Meskipun demikian, beberapa anggotanya masih menjalankan aktivitas mereka secara rahasia. Hingga sampai tahun 1953, barulah para darwish mulai diizinkan untuk melakukan kembali ritual-ritual mereka secara terbuka.[7]
Di Konya, para darwish hanya diperbolehkan melaksanakan dua festival tahunan; yang utama diselenggaran setiap tanggal 17 Desember. Meskipun mereka secara resmi hanya sebuah asosiasi kebudayaan, namun para darwish tetap melanjutkan tradisi mereka, merekrut anggota baru, dan meneruskan tradisi Maulawiyyah. Saat ini, ketika kelompok keagamaan di seluruh dunia Islam seringkali dijadikan kendaraan bagi kelompok fundamentalisme, para darwish di Turki menunjukkan kembali geliatnya, dan oleh pemerintah sekular Turki, dalam tahap tertentu mereka masih dianggap berpotensi sebagai ancaman.[8]
Meskipun demikian, pada kenyataannya Rumi sekarang adalah salah seorang penyair yang karyanya paling banyak dibaca di dunia, syair-syair Rumi telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa. Sosok Rumi populer dan dipuja-puja. Di Konya, souvenir-souvenir tentang Rumi – lukisan-lukisan dan syair-syairnya — dapat banyak ditemui. Di tengah kota, terdapat auditorium baru besar di mana ritual sema ditampilkan, yang mana sekarang mungkin lebih dianggap sebagai tarian tradisional ketimbang sebagai sesuatu yang bernuansa spiritual. Dan jika anda datang ke toko-toko permadani, kafe, dan bazaar abad pertengahan, akan banyak ditemukan “sufi” mistik bermata indah yang mengajak anda untuk berdzikir. Para darwish berputar ini sekarang menjadi simbol kampanye pariwisata Turki. Dalam setiap tahunnya, Konya dikunjungi sekitar dua juta turis, kebanyakan orang-orang Turki, meskipun banyak juga orang-orang Iran (yang mengklaim bahwa Rumi adalah milik mereka, sebab dia menulis dalam bahasa Persia dan dilahirkan di Persia) yang juga berziarah.[9] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Norbert C. Brockman, Encyclopedia of Sacred Places: Volume 1 (ABC-CLIO, LLC, 2011), hlm 281.
[2] Kevin Gould, “Konya, in a whirl of its own”, dari laman https://www.theguardian.com/travel/2010/apr/10/konya-turkey-jelaluddin-rumi-dervish, diakses 4 Oktober 2018.
[3] Norbert C. Brockman, Loc.Cit.
[4] “Kemal Atatürk”, dari laman https://www.history.com/topics/kemal-ataturk, diakses 6 Mei 2018.
[5] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 209.
[6] Ibid., hlm 209-210.
[7] Norbert C. Brockman, Loc.Cit.
[8] Ibid., hlm 281-282.
[9] Kevin Gould, Ibid.