Mozaik Peradaban Islam

Mengenal Allah (7): Tanya Jawab (2): Ilmu dan Harta

in Tasawuf

Last updated on October 13th, 2020 01:01 pm

Sayidina Ali mengatakan, “Apabila ingin mencari dunia, engkau memerlukan ilmu. Jika ingin mencari akhirat, engkau juga membutuhkan ilmu.”

Foto ilustrasi: The Daily Reckoning Australia

Bagaimana kita mengamalkan zikir secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari?

Mengingat Allah itu harus dengan segenap dimensi kita. Tidak boleh kita hanya berzikir dengan mulut tapi kenyataanya hati kita lalai. Demikian juga sebaliknya, ketika hati mengingat Allah tapi mulut kita mengucapkan kata-kata buruk.

Mengapa bisa terjadi demikian?

Karena kita adalah makhluk yang selalu memiliki lahir dan batin. Kita bukan makhluk gaib. Sebagai makhluk material, kita mesti merealisasikan apa yang ada dalam hati ke alam fisik. Tetapi harus diingat, hanya dengan mengucapkan zikir itu bukanlah berzikir.

Apakah seseorang yang sedang lapar akan kenyang hanya dengan mengucapkan “saya makan” ribuan kali? Tidak. Kita harus bergerak ke dapur dan memasak. Jadi kenyang itu terwujud setelah serangkaian perbuatan, demikian juga zikir.

Apakah seseorang pantas disebut “sedang mengingat Allah” ketika mulutnya mengucapkan nama Allah tapi hatinya memikirkan urusan dunia? Oleh karena itu, hubungan antara fisik dan hati mestinya terjalin. Inilah makna kehadiran qalbu yang disampaikan oleh para ahli suluk.

Mengapa sebagian orang beragama berdasarkan dogma bukan argumen logis?

Ilmu itu ada yang bersifat nukilan dan rasional. Keduanya ilmu, tapi ilmu rasional bisa dimiliki manusia sebagai pribadi yang punya potensi pemahaman rasional.

Contohnya matematika. Seseorang dapat memahami penjumlahan satu tambah satu sama dengan dua bukan karena hafal rumusnya. Dia dapat memahaminya karena memang logis. Ilmu mengenal Allah itu juga termasuk ilmu rasional. Meskipun di dalamnya terkandung ilmu nukilan seperti bahasa dan syariat.

Secara syariat, kita diperintahkan mendahulukan tangan kanan dibandingkan tangan kiri dalam wudhu. Mengapa mesti demikian? Alasannya tidak bisa dirasionalisasikan. Menjalankan syariat adalah bagian dari ta’abbud (penghambaan).

Meski demikian, tahapan penghambaan ini dilakukan setelah kita memahami secara rasional bahwa Allah adalah Pencipta kita. Setelah memahami itu, kita dapat menerima secara rasional bahwa Dia memiliki hak untuk ditaati.

Nah, hak ketaatan itu dapat dipahami secara rasional tapi apa yang Dia perintahkan kepada kita tidak bisa dirasionalisasikan alasannya. Dengan demikian, dalam agama ini terkandung dogma dan ilmu rasional. Tidak bisa semua dogmatis. Tanpa argumen logis, manusia tak akan bisa menerima agama ini. 

Sebelumnya telah disebutkan bahwa proses mengenal Allah tidak hanya berhenti di dunia ini, tapi nanti akan berlanjut di alam kubur dan alam-alam selanjutnya. Bagaimana penjelasannya?

Proses mengenal Allah tidak akan pernah selesai. Di sisi lain, manusia pada hakikatnya merupakan makhluk pembelajar.

Ahli hikmah, matematikawan, dan astronom, Syekh Hasan Zadeh Amuli, yang menghasilkan karya-karya unik di bidangnya pernah menulis buku tentang seribu argumen immaterialitas jiwa. Kini dia masih hidup meski telah sangat sepuh.

Seorang muridnya pernah bertanya kepadanya, “Anda telah melahirkan banyak karya dalam berbagai bidang ilmu. Karya-karya Anda mungkin akan dikaji oleh manusia hingga ratusan tahun mendatang. Jika boleh tahu, apa keinginan Anda ketika Allah membangkitkan Anda nanti di akhirat?”

Syekh Hasan berkata, “Saya ingin belajar Nahjul Balaghah[1] dari Sayidina Ali bin Abi Thalib. Saya ingin mengetahui makna-makna Nahjul Balaghah langsung dari penuturnya.”  

Inilah contoh makhluk pembelajar yang selalu haus ilmu. Seperti mencari harta, orang juga haus mencari ilmu. Tak akan ada habisnya kehausan tersebut. Tapi, harta pasti habis. Harta hanya berguna di dunia. Setelah itu tidak ada lagi manfaatnya.

Musababnya, harta benda merupakan konstruksi sosial budaya. Hanya berguna kalau ada masyarakat. Jika ada orang memiliki uang 300 triliun tapi hidup sendiri di bumi ini, uangnya tak akan berguna.

Berbeda dengan ilmu yang berguna meskipun seseorang hanya hidup sendiri di dunia ini. Tidak hanya berguna di dunia ini, tapi juga di alam kubur, dan alam-alam selanjutnya.

Itulah mengapa ilmu ini dipuji oleh Sayidina Ali dengan mengatakan, “Orang yang mencari ilmu, maka ilmu yang akan menjaganya. Sementara orang yang mencari harta, maka dia yang akan menjaga hartanya.”

Jadi sebenarnya, semua pencari harta itu adalah budak harta. Sementara pencari ilmu adalah rajanya ilmu. Ilmu menjadikannya tuan. Para ahli hikmah pun berpendapat, tak ada sarana hidup di dunia dan di akhirat yang lebih baik daripada ilmu.

Sayidina Ali mengatakan, “Apabila ingin mencari dunia, engkau memerlukan ilmu. Jika ingin mencari akhirat, engkau juga membutuhkan ilmu.”

Jadi, ilmu merupakan “asupan” bagi diri yang membuat orang tidak bisa mengatakan, “Ini sudah cukup”. Jika ada orang yang mengatakan demikian, dia termasuk orang yang jahil murakkab. (MK)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Kitab yang berisi untaian ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang telah dipilih dan dirangkum. Kitab ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Albaqir dengan judul Mutiara Nahjul Balaghah, diterbitkan oleh Mizan (2001).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*