Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Tidur dalam keadaan yakin lebih baik daripada beribadah dalam keadaan ragu.”
Apakah kita boleh belajar dari berbagai orang yang berbeda keyakinannya?
Mari kita bertanya, mengapa Rasulullah lebih meminta kita memilih mendatangi majelis ilmu dibandingkan majelis ibadah?
Karena bisa jadi kumpulan orang-orang beribadah itu ingin menipu kita. Kita tidak tahu motif mereka beribadah. Orang beribadah bisa jadi niatnya riya. Contoh orang yang beribadah dengan dasar riya telah disampaikan oleh Alquran dan hadis.[1]
Tapi kita bisa menilai ilmu yang disampaikan orang meskipun niatnya riya. Ini karena ilmu merupakan sesuatu yang bisa diverifikasi. Orang bisa mengetahui ilmu dan bukan ilmu, sesuatu yang berdasarkan ilmu atau tidak, memiliki rujukan fakta atau bohong.
Setiap orang bisa membuktikan, menimbang, dan menilai dengan akal. Ilmu tidak akan tertipu oleh mata karena memiliki alat verifikasi dalam diri setiap manusia. Itulah keutamaan akal yang Allah berikan kepada kita. Selain itu, ilmu dapat mengantarkan manusia kepada ibadah yang lebih baik.
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra mengatakan, “Tidur dalam keadaan yakin lebih baik daripada beribadah dalam keadaan ragu.”
Jika orang beribadah dalam keadaan ragu, dia tak bisa mengisi nilai ibadahnya. Nilai ibadahnya terombang-ambing dalam keraguannya. Apakah salatnya diterima oleh Allah? Apakah salatnya bermanfaat? Mengapa dia diminta salat? Dia ragu dalam salatnya.
Padahal dia lebih baik memahami dasar-dasar keilmuannya sebelum salat. Dengan begitu, dia dapat memahami dan mencintai salatnya. Salat dalam keadaan ragu seperti orang yang menyetir mobil dalam keadaan tidur. Perbuatannya menyetir mobil tak ada manfaatnya bahkan berbahaya.
Lalu bagaimana seharusnya kita mencarinya?
Tidak bisa setiap orang mengklaim memiliki ilmu. Ilmu memiliki pokok, sumber, sanad, guru, dan metodenya.[2]
Jadi ilmu bisa diambil dari orang yang berbeda keyakinan? Bagaimana kedudukan ilmu yang tidak berhubungan langsung dengan mengenal Allah?
Tentu boleh, yang jelas ilmu yang paling berguna ialah ilmu yang tujuannya adalah Allah. Bukan berarti belajar ilmu lain terlarang, tapi ilmu yang paling mulia ialah ilmu tentang Allah, tentang jiwa manusia, tentang hakikat manusia.
Pada perkembangannya pun, ilmu fisika dapat berguna ketika kita juga mengetahui ilmu sosial. Ini agar ilmu fisika dalam penerapannya tidak menyalahi konteks yang justru menghancurkan masyarakat.
Ilmu eksakta itu penting, tapi pada keserasiannya, ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan lebih tinggi. Ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang bisa menilai apakah ilmu eksakta itu berguna atau tidak pada penerapannya.
Apakah itu berarti ilmu mengenal Allah merupakan prioritas utama yang harus kita cari dibandingkan ilmu lain?
Ilmu yang paling bermanfaat, paling penting dan menjadi prioritas utama bagi manusia ialah ilmu tentang Allah. Apakah ilmu ini datang dari perenungan ke dalam diri atau datang setelah menyaksikan keindahan alam semesta sehingga kita menemukan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Setelah ilmu mengenal Allah, barulah beranjak pada prioritas berikutnya, yaitu ilmu kejiwaan, ilmu tentang manusia. Dalam ilmu jiwa terdapat ilmu akhlak yang juga sangat penting. Jika dia tidak mengenal dirinya, dia tidak akan berguna bagi dirinya, bahkan bisa berbahaya bagi dirinya dan orang lain.
Bagaimana dengan ilmu yang bertentangan dengan nilai-nilai ukhrowi?
Itu bukan ilmu. Tidak ada ilmu yang bertentangan dengan nilai-nilai ukhrowi. Tiada ilmu yang bertentangan dengan pada kenyataan bahwa manusia itu harus ingat adanya perjalanan abadi. Jika itu ada, bisa jadi kebodohan yang menyerupai ilmu.
Klaim iblis contohnya, itu bukan ilmu. Iblis mengklaim dirinya lebih baik dari Adam. Ia beralasan bahwa api lebih baik dari tanah. Tapi atas dasar apa ia mengklaim api lebih baik dari tanah? Inilah yang disebut klaim, bukan ilmu.
Apa batasan ilmu agama yang harus dipelajari oleh semua orang?
Ilmu agama itu luas dan mempelajarinya bukan pekerjaan semua orang. Sedemikian luasnya, tak ada orang yang bisa mengklaim dapat menguasai ilmu agama. Lalu batasannya apa? Yang penting mengingat Allah, jangan lupa bahwa ada Allah. Seminimal itu.
Jika kita mengingat bahwa ada Allah yang menciptakan kita dan mengawasi kita, ilmu tentang adanya Allah ini akan menjadi modal kita untuk mengenal Allah lebih jauh. Tapi jika modal dasar ini tidak diamalkan, maka tidak ada harapan untuk melangkah ke tahapan berikutnya.
Karena Allah Mahamutlak, mengenal-Nya merupakan perjalanan sepanjang hayat. (MK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Baca juga refleksi Cak Nun tentang sejarah Nabi Muhammad membakar masjid. Lihat: Emha Ainun Najib, Jejak Tinju Pak Kiai (Jakarta: Kompas, 2008), hlm 175.
[2] Mengenai sumber, alat dan metode pengetahuan, selengkapnya baca: Murtadha Muthahhari, Mengenal Epistemologi (Lentera: Jakarta, 2008) hlm 99.