Abu Said berkata kepada para putranya, “Ketika aku datang kembali kepada kalian, kalian tidak akan mengenaliku. Tandanya adalah kalian menebas leherku dengan pedangku. Jika itu aku, aku akan segera hidup kembali.”
Tidak ada masjid untuk salat Jumat di Lahsa, dan khutbah dan salat berjamaah tidak diadakan. Seorang pria Persia, bernama Ali bin Ahmad, yang mana adalah seorang Muslim, seorang peziarah dan sangat kaya, membangun sebuah masjid dalam rangka untuk menyediakannya bagi para peziarah yang tiba di kota (untuk mereka salat)….
Mereka tidak melarang siapa pun untuk melaksanakan salat, meskipun mereka sendiri tidak salat. Para penguasa menjawab dengan sangat sopan dan rendah hati kepada siapa pun yang berbicara kepada mereka, dan anggur (minuman beralkohol dari fermentasi anggur-pen) tidak dikeluarkan.
Seekor kuda yang diperlengkapi dengan kalung dan mahkota selalu disiapkan dan diikat di dekat makam Abu Said, dan pengawasan terus dilakukan sepanjang siang dan malam jika suatu waktu dia akan bangkit kembali dan menaiki kuda.
Abu Said pernah berkata kepada para putranya, “Ketika aku datang kembali kepada kalian, kalian tidak akan mengenaliku. Tandanya adalah kalian menebas leherku dengan pedangku. Jika itu aku, aku akan segera hidup kembali.” Dia membuat ketentuan ini sehingga tidak ada orang lain yang bisa mengaku-ngaku sebagai dirinya.
(Sekilas tentang sejarah Lahsa atau al-Hasa, pada kenyataannya penduduk kota ini tidak pernah mengalami stagnasi keyakinan, mazhab yang dianut oleh mereka terus berubah-ubah, baik pada masa sebelum maupun sesudah kedatangan Naser-e Khosraw ke sana pada abad ke-11.
Populasi penduduk Lahsa secara mengakar pernah terbagi hampir secara merata antara mazhab Suni dengan Syiah Dua Belas Imam. Selain itu, Lahsa juga pernah menjadi pusat penting pembelajaran mazhab Maliki.
Pada awal abad ke-4 H / 10 M, gerakan politik Qaramitah, salah satu sekte dalam Syiah Ismailiyah, pernah menjadikan Lahsa sebagai ibukotanya. Lahsa awalnya adalah sebuah benteng di dalam wilayah bersejarah Bahrain, yang tidak jauh dari al-Hajar, ibukota kuno di distrik ini.
Pemimpin Qaramitah, Abu Tahir al-Janabi, mendirikannya pada tahun 314 H / 926 M. Dia menyebut tempat itu dengan al-Muminiya, tetapi baik kota maupun distriknya tetap dikenal dengan nama lamanya, yaitu al-Ahsa. Pada masa kini, ibukota Lahsa dikenal dengan nama al-Hufuf walaupun nama kunonya, al-Ahsa, masih tetap digunakan.
Dari abad ke-4 hingga 8 H / 11 – 16 M, dinasti yang berdasarkan kesukuan setempat sempat mendominasi Lahsa. Dinasti Ustmaniyah (Ottoman) juga pernah memerintah wilayah itu dari pertengahan abad ke-16 sampai mereka digantikan oleh Bani Khalid pada tahun 1670 M.
Pada periode kebangkitan Dinasti Saudi dan ekspansi yang mereka lakukan, Lahsa berada di bawah pendudukan mereka pada tahun 1793 M dan tetap menjadi wilayah Saudi hingga tahun 1818 M. Antara tahun 1818 hingga 1844 M, Saudi bersaing dengan pasukan Mesir Bani Khalid untuk memperebutkan supremasi.
Pada tahun 1844 M, kekuasaan Saudi ditegakkan kembali di Lahsa, tetapi mereka terdesak kembali oleh Dinasti Ustmaniyah pada tahun 1871 M. Pada tahun 1913, Saudi merebut kembali Lahsa dan sejak itu hingga sekarang, ia menjadi bagian dari kerajaan Arab Saudi-pen.)[1]
Pada masa khalifah di Baghdad, salah satu penguasa (Lahsa) pernah menyerang Makkah dan membunuh sejumlah orang yang bertawaf di Kabah pada saat itu. Mereka mengambil Hajar Aswad dari tempatnya dan membawanya ke Lahsa.
Mereka mengatakan bahwa Batu itu adalah “magnet manusia” yang menarik orang-orang, tanpa mengetahui bahwa itu adalah (karena) kemuliaan dan keagungan Muhammad yang menarik orang-orang ke sana, karena Batu itu telah tergeletak di sana untuk waktu yang lama tanpa ada yang menaruh perhatian khusus padanya. Pada akhirnya, Hajar Aswad ditebus dan dikembalikan ke tempatnya.
Tujuh parasang[2] (sekitar 40 km-pen) di sebelah timur Lahsa adalah laut. Di laut ini terdapat pulau Bahrain, yang panjangnya lima belas parasang (sekitar 85 km-pen). Ada sebuah kota besar di sana dan terdapat banyak kebun kurma. Mutiara ditemukan di sekitar lautan, dan setengah dari (mutiara yang didapat) penyelam itu diserahkan dan menjadi milik Sultan Lahsa.
Di sebelah selatan Lahsa adalah Oman, yang berada di Semenanjung Arab, tetapi tiga sisinya menghadap gurun yang tidak mungkin untuk dilintasi. Wilayah Oman adalah delapan puluh parasang persegi (sekitar 450 km2) dan (beriklim) tropis; di sana mereka menanam kelapa, yang mereka sebut dengan nargil. Tepat di timur Oman di seberang lautnya adalah Kish dan Mokran. Di sebelah selatan Oman adalah Aden, sementara di arah lainnya adalah provinsi Fars (sekarang di Iran-pen).
Ada begitu banyak kurma di Lahsa sehingga hewan-hewan digemukkan olehnya, dan kadang-kadang lebih dari seribu maund[3] (sekitar 1.500 kg-pen) dijual hanya seharga satu dinar. Tujuh parasang (sekitar 40 km-pen) di utara Lahsa adalah sebuah wilayah yang disebut Qatif, yang mana juga terdapat sebuah kota besar dan banyak pohon kurma.
Seorang Amir Arab dari sana (Qatif) pernah menyerang Lahsa, di mana dia mempertahankan pengepungan selama setahun. Salah satu benteng dia duduki dan menghasilkan banyak kekacauan, meskipun dia tidak mendapatkan banyak.
Ketika dia melihatku, dia bertanya apakah ada pada bintang-bintang atau tidak dia menduduki Lahsa, karena mereka (orang-orang Lahsa) tidak beragama (mungkin karena Amir tersebut mengetahui bahwa Naser-e Khosraw adalah orang yang berilmu dan menguasai ilmu-ilmu astronomi-pen).
Aku mengatakan kepadanya apa yang perlu (bagiku untuk mengatakannya), karena, menurut pendapatku juga, baik orang-orang Badui maupun Lahsa sangat mirip dengan siapapun yang dianggap tidak beragama, di sana terdapat orang-orang yang, dari satu tahun ke tahun berikutnya, tidak pernah melakukan ritual penyucian (berwhudu).
Apa yang aku catat di sini diketahui berdasarkan pengalamanku sendiri dan bukan dari desas-desus palsu, karena aku berada di antara mereka selama sembilan bulan berturut-turut, dan tidak terputus-putus (rentang waktunya)…. (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] “The Safar-nama of Nasir Khusraw”, dari laman http://nasirkhusraw.iis.ac.uk/content/lahsa, diakses 5 November 2019. (PH)
[2] Satu parasang setara dengan 3,5 mil. (Michael Wolfe)
[3] Satu maund kira-kira setara dengan 3,5 pon. (Michael Wolfe)