Mozaik Peradaban Islam

Naser-e Khosraw (8): Di Istana Kekhalifahan Fatimiyah (2)

in Tokoh

Last updated on November 12th, 2019 07:13 am

Pawai diikuti oleh ratusan orang, didahului oleh trompet, genderang, dan klarinet dan diikuti oleh batalion tentara, dari Gerbang Harem hingga ujung kanal. Di kejauhan, datanglah Sultan, dia adalah pemuda yang bertubuh tegap, bercukur rapi dengan rambut cepak, keturunan Husain bin Ali.

Foto ilustrasi, seorang pria Arab, lukisan karya Louise De Hem (1866–1922). Sumber: Stedelijk Museum Ieper (Belgium)

Rokub Fath al-Khalij

Ketika air Sungai Nil naik,…. dengan ketinggian yang naik sebanyak delapan belas ell[1] (sekitar 8 meter-pen) dibandingkan dengan ketinggian pada saat musim dingin, ujung kanal dan salurannya yang mengalir ke seluruh negeri ditutup.

Kemudian sebuah kanal yang disebut al-Khalij, yang dimulai dari Kairo Lama dan melintas melalui Kairo Baru, yang mana merupakan properti pribadi Sultan, dibuka dengan dihadiri oleh Sultan.[2] Setelahnya, seluruh kanal dan saluran lainnya yang mengalir ke penjuru negeri dibuka. Hari ini adalah salah satu festival terbesar pada tahun ini yang disebut dengan Rokub Fath al-Khalij (Mengendarai Kuda untuk Membuka al-Khalij).

Ketika musim (air Sungai Nil naik) mendekat, sebuah paviliun besar yang terbuat dari brokat Bizantium yang dipintal dengan emas dan ditata dengan permata, cukup besar untuk menampung seratus penunggang kuda di bawahnya, dibangun dengan rumit di ujung kanal untuk sultan.

Di hadapan kanopi ini didirikan tenda bergaris dan paviliun besar lainnya. Tiga hari sebelum acara Rokub, genderang ditabuh dan trompet dibunyikan di istal kerajaan sehingga kuda-kuda akan terbiasa dengan suaranya.

Ketika Sultan menaiki kuda, sepuluh ribu kuda dengan pelana dan topi emas, serta tali kekang yang bertatahkan permata, berjajar di belakangnya, seluruhnya mengenakan kain pelana dari brokat Bizantium dan buqalamun yang dirajut sesuai dengan pesanan. Pada tepian kainnya terdapat tulisan tenunan yang bertuliskan nama Sultan Mesir.

Setiap kuda membawa tombak atau jubah besi dan helm di punggunnya, bersama dengan berbagai jenis senjata lainnya. Lalu ada juga begitu banyak unta dan bagal dengan keranjang dan tandunya yang indah, seluruhnya bertatahkan emas dan permata. Penutupnya dijahit dengan mutiara.

Jika aku menggambarkan segala sesuatu tentang hari (pembukaan) kanal ini, itu akan memakan waktu terlalu lama …. Pada pagi hari, ketika Sultan pergi untuk seremoni, sepuluh ribu orang dipekerjakan untuk menunggang kuda seperti yang telah kita gambarkan.

Pawai ini diikuti oleh ratusan orang, didahului oleh trompet, genderang, dan klarinet dan diikuti oleh batalion tentara, dari Gerbang Harem hingga ujung kanal. Masing-masing orang yang dipekerjakan untuk menunggang kuda diberi tiga dirham. Berikutnya datang kuda-kuda dan unta-unta yang dilengkapi dengan keranjang dan perhiasan, dan yang menyusulnya adalah unta-unta yang membawa tandu.

Di kejauhan, di belakang semua ini, datanglah Sultan, dia adalah pemuda yang bertubuh tegap, bercukur rapi dengan rambut cepak, keturunan Husain bin Ali.

Dia menaiki unta dengan dengan pelana dan tali kekang yang polos, tanpa emas atau perak, dan mengenakan pakaian berwarna putih, seperti kebiasaan di negara-negara Arab, dengan ikat pinggang yang lebar…. Harga untuk ini[3] saja sendiri, dikatakan sepuluh ribu dinar. Di kepalanya dia mengenakan serban dengan warna yang sama, dan di tangannya dia memegang cambuk besar yang sangat mahal.

Di hadapannya berjalan tiga ratus orang-orang Daylam[4] yang mengenakan pakaian dengan pintalan emas Bizantium dengan ikat pinggang dan lengan baju yang lebar, sebagaimana halnya mode yang sedang tren di Mesir. Mereka semua membawa tombak dan panah dan mengenakan celana ketat.

Di samping Sultan para pengendara yang membawa payung mengenakan serban emas berhiaskan permata dan setelan pakaian mereka senilai sepuluh ribu dinar. Payung yang dipegangnya penuh dengan perhiasan dan bertatahkan permata dan mutiara. Tidak ada pengendara lainnya lagi yang mendampingi Sultan, tetapi dia didahului oleh orang-orang Daylam.

Di sebelah kiri dan kanannya para pembawa dupa membakar batu ambar dan lidah buaya. Berdasarkan adat istiadat di sini, orang-orang diharuskan membungkuk dan mendoakannya ketika Sultan lewat. Setelah Sultan tiba, Perdana Menteri bersama Ketua Mahkamah Agung dan sejumlah besar pejabat agama dan pemerintahan (mengikuti).

Sultan melanjutkan ke ujung kanal, di mana singgasana telah dipersiapkan, dan tetap dipasang di bawah paviliun untuk sementara waktu. Dia kemudian menerima tombak, yang dia lemparkan ke bendungan. Orang-orang dengan cepat mulai bekerja, menggunakan beliung dan sekop untuk menghancurkan bendungan, dan air, yang telah terbendung di sisi lain, menerobos dan membanjiri kanal.

Pada hari ini, seluruh penduduk Kairo Lama dan Baru datang untuk menyaksikan pertunjukkan besar pembukaan kanal dan untuk melihat semua jenis acara parade yang menakjubkan. Perahu pertama yang berlayar ke kanal dipenuhi dengan orang-orang tuli dan bisu, yang mana mereka anggap dapat mendatangkan kebaikkan. Pada hari itu Sultan membagikan sedekah kepada orang-orang ini.

Ada dua puluh satu kapal milik Sultan, yang biasanya diikat seperti binatang di dalam kandang, di sebuah danau buatan seukuran dua atau tiga lapangan bermain di sebelah istana Sultan; setiap kapal memiliki panjang 45 meter dan lebar 18 meter, dan (masing-masing) dihiasi dengan banyak emas, perak, permata, dan brokat, yang mana jika aku menggambarkannya akan terlalu mengisi banyak halaman. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Satu ell kira-kira satu setengah kaki. (Michael Wolfe)

[2] Al-Mustansir (berkuasa 1036–1094). (Michael Wolfe)

[3] Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “ini” oleh Naser-e Khosraw, mungkin salah satu benda yang digunakan oleh sultan. (PH)

[4] Orang-orang Persia yang berasal dari daerah pegunungan Daylaman. Daylaman pada masa kini berada di Iran. (PH)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*