Sebagian suksesi elit di Pakistan berlangsung konstitusional, namun tidak sedikit pula yang dilakukan melalui kudeta. Bahkan yang mencengangkan, di antara beberapa elitnya ada yang dihukum gantung, mengalami kecelakaan, dan dibunuh.
Pada masa kepemimpinan Muhammad Ayub Khan, polemik dan kompromi yang kurang memuaskan perihal pengartikulasian Al-Qur’an dan Hadits dalam konteks kenegaraan menimbulkan krisis, sehingga terjadi penjarahan, pembakaran, terorisme, dan pembunuhan.[1] Lalu setelah pemerintahan diganti Zulfikar Ali Bhutto, dia membawa penafsiran dan tawaran baru bagi pengembangan Pakistan. Dia memadukan konsep Islam dengan Sosialisme, terutama dalam tema keadilan sosial.
Pada masa pemerintahannya, Pemilu diselenggarakan pada 1977. Sebelumnya menjelang Pemilu ini, ia mendatangkan imam Masjid Nabawi dan imam Masjid al-Haram ke Pakistan. Tidak hanya itu, dia juga mewajibkan setiap hotel kelas satu untuk meletakkan Al-Qur’an di tiap kamar dan memberantas berbagai penyakit masyarakat, seperti memerintahkan untuk menutup klub malam dan tempat judi, dan melarang penjualan alkohol.
Namun, Pemilu ini melahirkan ketidakpuasan partai oposisi. Penyebabnya, partai pendukung Zulfikar Ali Bhutto memperoleh 155 dari 200 kursi yang diperebutkan untuk menjadi anggota Dewan Rakyat yang seluruhnya berjumlah 216 anggota. Ketidakpuasan tersebut akhirnya menimbulkan protes yang berkepanjangan, sehingga untuk kepentingan menjaga stabilitas pemerintahan, Zulfikar Ali Bhutto mengeluarkan undang-undang darurat dan menjalankan pemerintahan secara otoriter.[2]
Demi mengatasi kekacauan, pihak militer angkatan darat di bawah komando Jenderal Muhammad Zia-ul-Haq menggulingkan pemerintahan ini dan mengambil alih kekuasaan pada 1977. Lantaran Zulfikar Ali Bhutto dituduh membunuh lawan politiknya pada 1974, maka pada 4 April 1979, Muhammad Zia-ul-Haq menyeretnya ke tiang gantungan.
Sebagai pribadi, Muhammad Zia-ul-Haq dikenal sebagai muslim yang taat. Dalam pemerintahan, dia memperkenalkan Nizam al-Islam (Peraturan Islam) atau islamisasi Pakistan. Bulan Februari 1979, dia mengumumkan berlakunya hukum Islam. Kemudian dia juga membentuk suatu institusi yang memberi cara mendapatkan keadilan dengan mudah kepada perorangan yang mempunyai keluhan terhadap tindakan pejabat pemerintahan federal.
Institusi tersebut didirikan pada 24 Januari 1983 dengan nama Perintah Wafiki Mohtasib (Federal Ombudsman). Dalam dua tahun saja sejak dibentuk, institusi ini telah menyelesaikan sebanyak 94.500 dari 105.500 bentuk keluhan.[3] Selain itu, institusi ini pun banyak melontarkan gagasan tentang transformasi struktur sosial, ekonomi, dan politik yang disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam.
Namun, di sela-sela itu, Muhammad Zia-ul-Haq pun dipandang sebagai pemimpin diktator. Sebab, disamping menghukum gantung Zulfikar Ali Bhutto, dia pun memenjarakan pendukung Zulfikar Ali Bhutto, bahkan memenjarakan Benazir Ali Bhutto – puteri Zulfikar Ali Bhutto – dan mengusirnya pada 1982. Tidak seberapa lama, Benazir Ali Bhutto berangkat ke London dan menyusun kekuatan.
Pada 1986, Benazir Ali Bhutto kembali dari pengasingannya.[4] Pada 17 Agustus 1988, Muhammad Zia-ul-Haq tewas akibat pesawat C-130 yang ditumpanginya meledak di Pakistan Tengah. Masih di tahun yang sama, akhirnya Benazir Bhutto naik tahta. Artinya jika sebelumnya menolak atau mengharamkan kepala negara yang berjenis kelamin perempuan, maka dengan munculnya Benazir Bhutto, penolakan atau pengharaman itu tidak berpengaruh sama sekali.
Dalam sejarah dunia Islam modern, munculnya Benazir Bhutto sebagai Perdana Menteri Pakistan merupakan terobosan baru. Sebab, puteri Zulfikar Ali Bhutto ini menjadi Perdana Menteri perempuan pertama.
Namun, pada 1990, Benazir Bhutto dijatuhkan dari tampuk kekuasaan dengan tuduhan korupsi. Lalu Nawaz Sharif – pengagum Muhammad Zia-ul-Haq – muncul menggantikannya. Singkat cerita, Nawaz Sharif mengakhiri kepemimpinannya usai dikudeta Perves Musharraf pada 1999. Pada 2001, Perves Musharraf pun menyatakan diri sebagai Presiden Pakistan.[5] Adapun Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif diusir dari Pakistan.
Namun, tahun 2007, para pemimpin oposisi dalam sebuah konferensi yang dihadiri 38 perwakilan partai mendesaknya untuk mengundurkan diri. Sebab, Peraturan Militer darinya terbukti telah membawa Pakistan ke jurang kehancuran, perpecahan, dan kerusuhan. Meski sistem yang dianut adalah sistem parlementer, tetapi waktu itu parlemen tampak tidak memiliki kekuatan lagi.
Akhirnya, konferensi pun mendesak pemerintah untuk mengizinkan Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif kembali ke Pakistan. Namun, saat berkampanye pada 27 Desember 2007, Benazir Bhutto – tokoh perempuan Pakistan yang dikenal sebagai pengusung rasionalisme, toleransi, dan progresivisme tersebut – meninggal dunia secara tragis, bersimbah darah.
Selain akibat konsolidasi demokrasi di internal Pakistan sendiri yang kedodoran, tampaknya sejarah kelam di level elit Pakistan itu pun diakibatkan turut sertanya Amerika Serikat (AS) dalam pemerintahan di negara tersebut. AS adalah negara yang harus dikenakan tanggung jawab atas munculnya kediktatoran di kawasan itu. Kenapa?
Sebab, selain Pemerintah Negeri Paman Sam seolah-olah ‘memegang mandat’ dari Barat untuk mengatur Pakistan pasca Inggris hengkang, dalam praktiknya pemerintah AS pun tampak cenderung lebih mendukung pemerintah diktator di Pakistan. Untuk apa? Demi dijadikan kepanjangan tangan AS secara militer dalam mengeliminir pengaruh Uni Soviet di Afghanistan.[6] (MDK)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Munawir Sadzali. 1993. Islam dan Tata Negara: Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hlm 228.
[2] Dewan Redaksi. 1997. Ensiklopedi Islam Jilid IV. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. Hlm 40.
[3] Op.Cit., Munawai Sadzali…, hlm 230.
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif. “Benazir Bhutto Tentang Dunia Islam” dalam Muhammadiyah Online. Diakses di Cianjur, 29 Desember 2018.
[5] Op.Cit., Dewan Redaksi…
[6] “Jejak Pakistan” dalam https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180721/281479277199912. Diakses di Cianjur, 10 Januari 2019.